Indonesia.go.id - Ekonomi Sirkular, Solusi untuk Bumi yang Berkelanjutan

Ekonomi Sirkular, Solusi untuk Bumi yang Berkelanjutan

  • Administrator
  • Rabu, 25 Mei 2022 | 06:00 WIB
G20
  Pengelolaan sampah yamg dikelola remaja di Gampong Alue Deah Teungoh Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Pemkot Aceh.
Pemerintah gencar menerapkan sistem ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah, limbah, serta bahan berbahaya dan beracun (B3). Salah satu implementasinya, yaitu dengan mendorong sampah dan limbah B3 didaur ulang.

Peran anak muda dalam mendorong dan terlibat dalam ekonomi sirkular semakin dibutuhkan. Tujuannya, agar di masa depan penduduk dunia dapat menikmati bumi yang berkelanjutan dan layak huni.

Isu mengenai ekonomi sirkular tersebut menjadi agenda yang dibahas dalam Pra-KTT Ketiga Y20 Indonesia 2022 yang berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (22/5/2022).

Seiring dengan konsep ekonomi linier, pada umumnya masyarakat mengambil sumber daya alam untuk memproduksi barang yang pada akhirnya akan dibuang. Pola buat-gunakan-buang (produce-use-dump) ini hanya memicu konsumsi berlebih dan produksi limbah yang berlebihan. Sudah waktunya masyarakat mengubah pola itu dengan menerapkan ekonomi sirkular berbasis produksi dan konsumsi berkelanjutan.

Pra-KTT Ketiga Y20 Indonesia kali ini menghadirkan talk show ekonomi sirkular. Harapannya, wawasan yang diberikan dapat membantu para delegasi muda dalam menyusun rekomendasi kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan kepada pemimpin G20.

Talkshow itu menghadirkan Alesya Krit (Center of Competence for Climate Change, Environment and Noise Protection di Aviation Hessen), Joi Danielson (Partner di Systemiq), Ke Wang (Program Lead di Platform for Accelerating Circular Economy), serta Mohammad Bijaksana Junerosano (CEO dan Founder Waste4Change), dengan ekonom lingkungan Andhyta F Utami sebagai moderator.

Alesya mengingatkan, pentingnya berpikir secara lokal dalam upaya mendorong konsumsi berkelanjutan. "Kita harus berpikir lokal dan menyesuaikan (solusi tersebut) dengan wilayah tujuan, serta cocok dengan dimensi sosial dan budaya setempat. Kemudian, bentuklah perspektif normatif dan ajaklah pekerja, teman, atau warga, untuk mengenal mindset baru. Misalnya, lewat TikTok challenge," ungkap Alesya pada talkshow Pra-KTT Ketiga Y20 Indonesia.

Joi Danielson mengatakan, sebelum masuk ke pembahasan ekonomi sirkular, manusia perlu memerhatikan pola konsumsi. Menurutnya, manusia cenderung takut akan kelangkaan, sehingga kita cenderung mengonsumsi lebih dari apa yang dibutuhkan. Di sebuah ekonomi yang berbasis konsumsi, lanjutnya, semakin banyak yang dikonsumsi, semakin tinggi produk domestik bruto (PDB).

“Jadi sistem kita mengandalkan konsumsi berlebihan. Jika kita bisa membantu orang merasa bahwa apa yang mereka miliki sudah cukup, kita bisa meyakinkan mereka untuk hanya mengonsumsi yang dibutuhkan. Dengan ini, kita bisa mulai memutus siklus konsumsi tersebut,” jelas Joi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ke Wang. Menurutnya, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ekonomi sirkular tidak hanya bisa mengakibatkan perubahan kebiasaan, tetapi juga perubahan kebijakan. Bagaimana anak muda memainkan perannya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim. Dengan begitu, dampaknya akan memengaruhi para pengambil kebijakan di masing-masing negara.

Junerosano menjelaskan, populasi dunia saat ini telah mencapai 7,9 miliar jiwa. Jika kita ingin adanya perubahan tanpa adanya peperangan, anak muda negara-negara G20 sebagai pelopor harus meyakinkan empat persen dari sebuah populasi. Berarti di Indonesia, sedikitnya ada 10 juta orang yang harus diyakinkan tentang ekonomi sirkular.

Capaian Ekonomi Sirkular

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) gencar menerapkan sistem ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah, limbah, serta bahan berbahaya dan beracun (B3). Salah satu implementasinya, yaitu dengan mendorong sampah dan limbah B3 didaur ulang atau dimanfaatkan menjadi sumber daya proses produksi, baik bahan baku atau energi.

Sistem ekonomi sirkular dipandang lebih berkelanjutan karena dapat mengurangi beban lingkungan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Selain lebih ramah lingkungan, sirkular ekonomi juga mampu memberikan nilai tambah ekonomi, menyediakan lapangan kerja, berkontribusi pada pembangunan, sekaligus upaya mengatasi perubahan iklim.

Menjelang akhir 2021, KLHK meraih sejumlah capaian kinerja ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah, limbah B3, dan limbah non-B3. Capaian kinerja ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah meliputi bagian hulu, dan bagian hilir, serta di tingkat komunitas, wilayah, hingga nasional.

Sementara itu, capaian kinerja ekonomi sirkular dalam pengelolaan limbah B3 dan limbah non-B3 meliputi beberapa aspek, yaitu pelayanan perizinan, implementasi pemanfaatan limbah B3, pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3, dan pemanfaatan limbah non-B3.

Di sektor hulu, penerapan ekonomi sirkular dilakukan melalui pengurangan sampah oleh produsen. Jenis produsennya meliputi manufaktur, ritel, serta jasa makanan dan minuman. Target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen pada akhir 2029.

Dengan potensi timbulan nasional sekitar 100 ribu ton/hari, sampah organik juga menjanjikan potensi nilai ekonomi tinggi, khususnya menggunakan metode lalat Black Soldier Fly (BSF). Metode ini menghasilkan maggot yang menyerap sampah organik.

Dari metode tersebut potensi sampah yang dikelola bisa mencapai 15 ribu ton/hari, dan potensi nilai ekonomi per hari sekitar Rp225 miliar–Rp300 miliar. Selain maggot, metode ini menghasilkan pupuk cair dengan potensi sampah terkelola 30 ribu ton/hari, dan potensi nilai ekonomi per hari sekitar Rp15 miliar.

“Sirkular ekonomi juga menumbuhkan socialpreneur dalam pengelolaan sampah. Saat ini ada 28 socialpreneur. Biasanya terdiri dari anak muda. Mereka membuat aplikasi untuk menjemput sampah terpilah dari rumah, dan mereka membelinya,” tutur Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati, seperti dikutip dari laman menlhk.go.id.

Potensi tersebut belum termasuk pengelolaan limbah B3 dan non-B3 dari manufaktur, pertambangan, migas, agroindustri, dan sarana. Limbah dari sektor tersebut, antara lain, dapat dimanfaatkan sebagai produk daur ulang maupun sumber energi terbarukan. 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari