Spesies belida lopis yang dinyatakan punah oleh IUCN karena tidak ditemukan jejaknya sejak 1851, kembali didapati di alam liar jelang akhir 2023.
Garis khatulistiwa yang melintasi Indonesia telah menjadi rumah nyaman bagi aneka satwa. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat beragam satwa dengan kategori endemik atau tidak ditemukan di luar Indonesia. Ada sekitar 270 spesies mamalia, 386 spesies burung, 328 spesies reptil, 204 spesies amfibi, dan 280 spesies ikan hidup di Nusantara. Sebagian besar spesies tadi dikategorikan sebagai hewan dilindungi oleh negara.
Salah satunya adalah belida. Masyarakat Sumatra Selatan sangat mengenal makhluk bersirip ini dengan menyebutnya sebagai ikan belido. Ikan ini menjadi bahan baku makanan khas daerah tersebut yakni pempek dan kerupuk kemplang. Bahkan sebuah tugu didirikan di tepi Sungai Musi, tepatnya di Plaza Benteng Kuto Besak, Palembang. Tingginya mencapai 6 meter dengan panjang patung belida mencapai 12 meter.
Secara morfologi, ikan belida masuk dalam genus Chitala dari keluarga Notopteridae. Genus ikan ini terdiri dari enam spesies dengan bentuk fisik pipih panjang berperut lebar dan punggung meninggi seperti pisau. Sehingga di beberapa daerah dikenal juga sebagai ikan pisau atau ikan bulu karena sepintas seperti bulu hewan unggas.
Menurut Jurnal Fishbase edisi Mei 2014 berjudul Species of Chitala, keenam spesies tersebut adalah Chitala blanci, Chitala borneensis, Chitala chitala, Chitala hypselonotus, Chitala lopis, dan Chitala ornata. Pakar ikan atau iktiolog berkebangsaan Belanda, Pieter Bleeker, tercatat sebagai orang pertama yang memublikasikan jenis-jenis ikan yang hidup di Nusantara termasuk belida.
Ia berhasil mengidentifikasi belida yang hidup di Sumatra (Chitala hypselonotus) dan Kalimantan (Chitala borneensis). Sedangkan di Pulau Jawa spesies Chitala lopis atau belida lopis berdampingan dengan belida jawa (Notopterus notopterus). Temuan itu berdasarkan ekspedisi pada tahun 1851 sampai 1852. Belida sumatra masih bisa ditemukan di sungai dan rawa Sumsel meskipun populasinya makin berkurang di alam liar karena maraknya penangkapan oleh nelayan.
Iktiolog Arif Wibowo dalam Jurnal Bawal Volume 1 nomor 1 April 2006 berjudul Karakteristik Habitat Ikan Belida, mengidentifikasi bahwa Sungai Musi dan Pangkalan Lampam masih menjadi habitat belida sumatra. Begitu pula Sungai Ogan dan Lematang. Bahkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir ada sungai yang senama dengan ikan ini, yaitu Sungai Belido.
Arif yang juga Kepala Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Alam Laut dan Perairan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menulis, dalam jumlah lebih terbatas, ikan yang berat tubuhnya dapat mencapai 7 kilogram dan panjang 1,5 meter itu masih dapat dijumpai. Misalnya di aliran sungai seperti Kampar (Riau), Batanghari (Jambi), dan Bawang (Lampung).
Sedangkan di Kalimantan, belida masih bisa dijumpai di Sungai Kapuas. Jika dilihat dari habitatnya, hewan ini masuk ke dalam kelompok ikan hitam karena hidupnya banyak berada di perairan rawa seperti halnya gabus, toman, dan lele.
Sempat Punah
Jika spesies belida lainnya masih dapat dijumpai di habitatnya, maka lain ceritanya dengan Chitala lopis. Lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN), menyatakan di awal 2021 bahwa ikan pisau yang berhabitat mayoritas di Pulau Jawa tersebut sudah dinyatakan dalam status Punah (Extinct/EX). Ini didasarkan pada lapaoran penelitian ahli biologi asal Singapura, Heok Hee Ng.
Menurutnya, belida lopis sudah tidak pernah lagi terlihat sejak spesimennya dikoleksi oleh Bleeker pada 1851 silam. Terlebih, selama periode ratusan tahun tadi, laporan penelitian atas keberadaan belida lopis masih minim meski pengambilan sampel dilakukan secara ekstensif.
“Spesies ini hanya diketahui dari aliran sungai di Jawa bagian barat dan tengah. Belum pernah tercatat dari wilayah ini selama lebih dari 160 tahun, meskipun ada survei ekstensif sejak koleksi pertama. Chitala lopis dinilai sebagai spesies yang punah,” tulis pernyataan IUCN seperti dikutip dari Mongabay.
Sebetulnya pakar lingkungan asal Amerika Serikat, Robert Treat Paine III telah mengendus indikasi kepunahan belida lopis itu sejak era 1980-an. Hal itu ia tuangkan di dalam karya ilmiahnya berjudul The freshwater fishes of Java, as observed by Kuhl and van Hasselt in 1820-23 yang terbit di Jurnal Zoologische Verhandelingen edisi 285 pada 1993.
Ia menyebut, ikan ini sudah tidak ditemukan lagi di habitatnya dan kemungkinan punah. Dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 1 tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi, belida lopis masuk di nomor urut ketujuh.
Ditemukan Kembali
Sebuah kabar gembira menyeruak jelang tutup tahun 2023 ketika belida lopis dinyatakan masih ada. Hal itu merupakan buah dari penelitian gabungan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Badan Pangan Dunia (FAO), Yayasan Selaras Hijau Indonesia, Universitas Jambi, Charles Sturt University Australia, Museum Vienna, Austria dan Universite Montpellier, Prancis.
Penemuan kembali belida lopis berasal dari koleksi yang telah dikumpulkan sejak November 2015 sampai September 2023 di 34 lokasi di Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Kepastian bahwa spesimen ikan yang ditangkap adalah belida lopis dilakukan melakukan perbandingan data hasil sekuensing Deoxyribonucleic Acid (DNA) barcoding dengan data genetik global Barcode of Life Data (BOLD).
Ini juga ditentukan lewat karakterisasi morfologi yang dibandingkan dengan koleksi spesies sejenis di Museum Sejarah Alam (Natural History Museum), Kota London, Inggris. Keabsahannya telah dirilis melalui jurnal Q1 di Jerman, Journal of Endangered Species Research Volume 52, November 2023 atau dapat dikunjungi di https://doi.org/10.3354/esr01281.
Arif yang turut di dalam penelitian gabungan itu menerangkan bahwa evolusi belida lopis diperkirakan terjadi pada 1.200 tahun lampau. Melalui penelitian itu juga terungkap bahwa mulai sulit menemukan belida sumatra di alam liar. Kebanyakan yang ditemui di pasar merupakan hasil budi daya dan konservasi di waduk dan bendungan kawasan Sumatra. Misalnya, di Waduk Riam Kanan, Koto Panjang, dan Mandiangin.
Para peneliti berharap, melalui hasil penelitian tersebut dapat menjadi masukan bagi IUCN untuk merevisi status belida lopis dari awalnya dinyatakan punah. Sebab, satwa ini tidak hanya ditemukan di Jawa, melainkan dijumpai pula di wilayah lain Indonesia. Mereka juga meminta IUCN untuk memasukkan belida sumatra dan belida kalimantan ke dalam status Kritis (Critically Endangered) dari awalnya Least Concern. Ini lantaran makin terbatasnya populasi dan persebarannya di alam.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari