Indonesia.go.id - Jejak Ketauladanan Panglima Besar Soedirman

Jejak Ketauladanan Panglima Besar Soedirman

  • Administrator
  • Senin, 14 Oktober 2019 | 08:18 WIB
KEPAHLAWANAN
  Monumen Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman. Foto: Dok. TNI AU

Apresiasi terhadap nilai-nilai kejuangan dan sejarah perjuangan Soedirman bahkan juga diakui oleh Jepang, selaku mantan negara penjajah.

Nilai kepahlawanan Panglima Besar Jenderal Soedirman laksana mata air “moralitas” yang jernih dan tak pernah surut. Pancaran pribadi dan jejak catatan hidupnya jadi pancaran api abadi yang memberi suluh, bukan hanya bagi langkah TNI secara khusus, juga bagi seluruh bangsa Indonesia.

69 tahun lebih setelah kematiannya pada 29 Januari 1950, keberadaannya bukan saja masih dikenang melainkan juga bahkan terus diinternalisasi kuat di dalam batin TNI. Fenomena ini masih menggejala kuat. Seperti belum lama berselang, pada Senin 7 Oktober 2019, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meresmikan Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Dalam momen peresmian itu, Hadi mengatakan bahwa sosok Soedirman bukan hanya panglima besar melainkan juga Bapak TNI, yang merupakan peletak nilai-nilai dasar TNI dan menjiwai setiap pelaksanaan tugas TNI.

"Nilai-nilai kepemimpinan dan keprajuritan beliau menjadi suri tauladan tidak hanya bagi seluruh prajurit TNI, tapi juga bangsa Indonesia secara keseluruhan," ujar Hadi.

Lebih jauh menurut Hadi, Soedirman merupakan sumber inspirasi dan motivasi karena telah berjuang mempertahankan kemerdekaan. Soedirman juga menunjukkan bukti kemanunggalan TNI dan rakyat sebagai kekuatan.

"Kita semua sebagai generasi penerus perjuangan beliau serta pahlawan-pahlawan bangsa harus dapat meneladani Jenderal Besar Soedirman dalam setiap pelaksanaan tugas," katanya.

Merujuk sumber laman TNI, monumen Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman ini terbuat dari bahan tembaga. Memiliki ukuran tinggi patung 6,3 meter, tinggi landasan patung 4 meter, memiliki total tinggi mencapai 10,3 meter, dengan berat 2 ton, dibuat oleh seorang seniman berasal dari Yogyakarta, bernama Dunadi dari Studio Satiaji Sculpture & Artwork.

Monumen-monumen Kepahlawanan

Menarik dicatat. Di Indonesia sendiri, opini perihal profil Soedirman cenderung berupa pujian. Ya, Soedirman, bagaimanapun adalah tipe ideal yang menggambarkan seorang tentara rakyat. Bukan saja merepresentasikan wujud kemanunggalan tentara dan rakyat, pada sosok Soedirman ini juga tercermin adanya model kepemimpinan yang teguh, berintegritas tinggi, pribadi yang sederhana dan jujur, serta memiliki sikap tanpa pamrih.

Sanjung puji atas pribadi Soedirman tentu bukan semata tecermin pada pembangunan monumen di Mabes TNI di Cilangkap baru-baru ini saja. Sebut saja masih di seputar Ibu Kota Jakarta, misalnya. Di sana masih ada satu patung Panglima Besar Jenderal Soedirman berukuran 6,5 meter dan penyangganya 5,5 meter sehingga memiliki tinggi keseluruhan 12 meter. Terletak di Jl Jenderal Sudirman juga, patung yang diresmikan pada 2003 ini sempat sohor karena menjadi lokasi syuting film Naga Bonar II. Atau bertandanglah ke Museum Satria Mandala di Jl Gatot Subroto, di sana juga bakalan ditemui ruangan khusus yang didedikasikan buatnya.

Selain Jakarta, monumen berupa patung Panglima Besar Jenderal Soedirman juga muncul di beberapa kota di Indonesia. Sebutlah, misalnya Yogyakarta, Surabaya, Pacitan, Magelang, atau bahkan di Alor NTT.

Di Yogyakarta sendiri setidaknya terdapat tiga patung Soedirman. Pertama, patung Soedirman di halaman depan Gedung DPRD DIY. Berbahan batu andesit dibuat di tahun 1950-an, patung setinggi 3 meter ini merupakan karya seniman Hendra Gunawan dari Sanggar Pelukis Rakyat. Sedangkan dua patung Soedirman lainnya ialah berada di depan Museum Sasmitaloka dan Taman Makam Pahlawan Kusumanegara.

Selain itu, juga terlihat banyak museum sengaja dibangun sebagai dedikasi buatnya. Di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, misalnya, rumah masa kecilnya dahulu kini jadi Museum Soedirman; Museum Sasmitaloka yang telah disebut di atas merupakan rumah dinasnya saat tinggal di Yogyakarta. Masih dari Kota Pelajar, museum lain seperti Monumen Yogya Kembali juga memiliki ruangan khusus buat Soedirman.

Dari Magelang, Jawa Tengah, sebuah kota tempat gladi kemiliteran bagi calon prajurit TNI-AD, pun dibangun Museum Soedirman. Museum ini sengaja dibangun untuk mengenang keberhasilannya memimpin peperangan dan memukul mundur tentara Sekutu dalam momen Palagan Ambarawa di sekitar akhir tahun 1945.

Pun di Pacitan Jawa Timur, jejak perang gerilya Soedirman yang pernah bermarkas di sana selama lebih dari tiga bulan, juga dibuat menjadi museum sejarah. Dua kilometer dari situ, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibangun Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman yang megah, diresmikan pada 15 Desember 2008, saat Hari Juang Kartika atau Hari Hut TNI-AD. Terdapat patung Soedirman berukuran sangat besar, jauh lebih besar ketimbang patung-patung lain di daerah lain. Selain patung, juga terdapat rangkaian diorama yang menceritakan kisah kepahlawanan sosok ini.

Ada kisah menarik terkait pembangunan patung ini. Berawal dari obsesi Roto Suwarno, warga setempat yang pernah menjadi pengawal Soedirman dalam perang gerilya pada tahun 1947. Roto mulai mendirikan patung Soedirman pada 1981. Biaya yang dia habiskan mencapai Rp 2 miliar. Pembangunan dilakukan bertahap selama 13 tahun. Namun karena kesulitan dana pembangunan terhenti. Hingga akhir usianya, Roto tak sanggup melanjutkan pembangunan.

Mengingat arti penting Pacitan sebagai tempat tinggal terlama Soedirman pada momen perang gerilya, Presiden SBY lantas menginisiasi pembangunan monumen megah ini. Selain memugar rumah sederhana yang dulu merupakan tempat tinggal Soedirman, meneruskan pembangunan patung besar yang telah dimulai oleh Roto, dan juga sekaligus menjadikan Kompleks Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman di Desa Pakis Baru di Kabupaten Pacitan itu sebagai Kawasan Wisata Sejarah.

Ya, pengakuan akan jejak kebesaran Soedirman tentu bukanlah baru-baru saja. Jauh sebelumnya di masa awal kemerdekaan, merujuk Ulf Sundhaussen (1986) dalam Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 dikatakan, bahwa Soedirman sebagai “Bapak Tentara” telah menjadi legenda saat masih hidup. Menjadi tak berlebihan jika pada 26 Juni 1945, Presiden Soekarno mengangkat Soedirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang.

Posisi ini bukan hanya menempatkan angkatan darat, begitu juga angkatan laut dan angkatan udara di bawah komando taktis di bawah kepemimpinan Soedirman. Kedudukan Panglima Besar Soedirman ini, belakangan diperkuatkan kembali oleh Presiden Soekarno, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meleburkan TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan organisasi kelaskaran menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada tanggal 5 Mei 1947. Patut digarisbawahi di sini, sejauh ini posisi hirarkis Panglima Besar untuk Soedirman barangkali ialah jabatan yang pertama dan sekaligus terakhir di dalam tubuh TNI.

Masih di era Presiden Soekarno, nama Soedirman juga disematkan sebagai nama sebuah universitas negeri di Purwokerto Jawa Tengah. Dikenal dengan akronim “Unsoed”, universitas ini didirikan pada 1963. Setelah hampir lima belas tahun sejak mangkatnya, pada 10 Desember 1964 Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964 menetapkan Soedirman sebagai Pahlawan Nasional.

Selain itu, pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan secara anumerta, seperti Bintang Sakti, Bintang Gerilya Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Soedirman juga dipromosikan menjadi Jenderal Besar atau Bintang Lima pada tahun 1997.

Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta. Katharine McGregor dalam bukunya History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past bahkan menyatakan, hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan dengan nama Soedirman.

Menurut McGregor, TNI benar-benar menempatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan tentara. Di awal masa Orde Baru, gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas rupiah terbitan 1968. Dalam peringatan duapuluh lima tahun kemerdekaan, tahun 1970, pemerintah juga mengeluarkan uang logam berbalut emas bernilai nominal Rp.25.000 dengan gambar Soedirman.

Tak berhenti di situ, Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film seperti Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982). Terakhir, pada 2015 film berjudul Jenderal Soedirman juga dibuat.

Menariknya lagi, nilai kepahlawanan yang mawujud dalam sosok ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia, melainkan juga diapresiasi oleh bangsa Jepang selaku salah satu negara yang dulu justru pernah menjajah Indonesia. Terletak di depan halaman Kementerian Pertahanan di Tokyo, merujuk laman KBRI untuk Jepang, patung Jenderal Soedirman berbahan perunggu setinggi sekitar empat meter merupakan satu-satunya patung pahlawan asing yang dipajang di Negeri Sakura.

Benar, patung itu ialah hadiah dari Kementerian Pertahanan Indonesia saat dipimpin oleh Menteri Purnomo Yusgiantoro pada Januari 2011. Namun respons Kementerian Pertahanan Jepang menempatkan patung itu di depan kantor mereka tentu saja mencerminkan apresiasi bangsa ini terhadap nilai-nilai kepahlawanan Soedirman. Walaupun di sisi lain mereka pasti juga mencatat, bagaimana kiprah Soedirman, seorang mantan opsir PETA ini, memimpin pelucutan senjata tentara Jepang di daerah Banyumas (Jawa Tengah) sesaat setelah proklamasi kemerdekaan.

Dalam laman Kementerian Pertahanan Jepang dikatakan, “Patung Jenderal (Soedirman) ini merupakan simbolisasi dari perkembangan persahabatan dan kerja sama damai antara Jepang dan Indonesia.”

Tentu, menarik dicatat di sini, apresiasi yang besar terhadap nilai-nilai kejuangan dan sejarah pejuangan Soedirman ternyata merentang dari periode awal sejarah kemerdekaan, dari era Presiden Soekarno hingga sekarang di era Presiden Joko Widodo. Lebih dari itu, apresiasi ini bahkan juga diakui oleh pemerintah Jepang selaku mantan negara penjajah selama 3,5 tahun. (W-1)

Berita Populer