Indonesia.go.id - Jolenan Sebuah Pesta Kecil untuk Rakyat Kecil

Jolenan Sebuah Pesta Kecil untuk Rakyat Kecil

  • Administrator
  • Jumat, 18 Oktober 2019 | 03:34 WIB
SENI BUDAYA
  Tradisi Jolenan. Foto: Istimewa/Winarno

Setiap dua tahun sekali di bulan Sapar kalender Jawa, Jolenan digelar di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Sebuah pesta sebagai pesan kerukunan dan kebersamaan menikmati berkah dari yang maha kuasa.

Somongari, nama sebuah desa di kawasan  Perbukitan Menoreh. Desa ini masuk wilayah Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letaknya hanya 12 KM dari pusat Kota Purworejo ke arah timur. Bila Anda naik pesawat maka ambil tujuan Jogjakarta. Dari bandara baru Jogjakarta ke lokasi hanya sekitar 15 km. Atau tak lebih dari 30 menit. Atau Anda naik kereta, maka bisa turun di Stasiun Kutoarjo. Dari Kutoarjo ke Somongari juga hanya sekitar 16 KM.

Setiap dua tahun sekali di desa Kelahiran WR Supratman ini digelar Merti Desa. Ada catatan sejarah bahwa Pencipta Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya“ Wage Rudolf Soepratman lahir di Dukuh Trembelang, Desa Somongari ini. Di Kampung Trembelang ini sekarang diabadikan rumah mbok Senen sebagai tempat lahir WR Supratman. Di kawasan persempatan Pantok Kota Purworejo dibangun pula patung WR Supratman lengkap dengan biolanya.

Merti Desa adalah sebuah acara kenduri massal masyarakat Desa Somongari untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan untuk hasil panenannya. Acara diadakan setiap Selasa Wage pada bulan Sapar di kalender Jawa. Maka hajatan ini pun terkenal juga dengan istilah Saparan.  Selain Saparan, hajatan ini juga dinamakan Jolenan.

Kenapa dinamakan Jolenan? Karena dalam Saparan ini ada pawai Jolen dan kesenian lokal sepanjang jalan desa yang berjarak sekitar 4 km dari ujung Timur menuju ke batas desa paling Barat, Kampung Kedung Kacang atau Kedung Tileng. Setelah sampai Wates Kedung Tileng, batas Desa Somongari dengan Desa Kemanukan, pawai kembali menuju ke pendopo desa yang berada di Kampung Sawahan. Di sinilah akhir arak-arakan Jolenan.

Jolenan berasal dari akronim Jawa 'ojo klalen' atau jangan lupa terhadap Sang Pencipta yang telah memberikan kesuburan dan curahan hasil yang melimpah. Seperti diketahui, Desa Somongari selama ini dikenal sebagai sentra penghasil manggis dan durian yang cukup bagus di Purworejo.

Jolen, berupa gunungan, dibuat anyaman daun aren atau enau dengan rangka bambu dan gedebok pisang. Di sisi luar jolen dihiasi bermacam makanan ringan yang digantung di bilah bambu yang ditancapkan di dalam kedebog yang dipasang dalam dan di kerangka gunungan. Makanan kecil itu, antara lain, rengginang dari beras ketan, ledre/opak, binggel dari ketela dan makanan lainnya.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1571369728_n.jpg" style="height:960px; width:720px" />

Tradisi Jolenan. Foto: Istimewa/Winarno

Di puncak gunungan jolen biasa dihiasi gagar mayang, wayang golek, dan buah-buahan lokal seperti durian, manggis, langsap, dan sebagainya. Di dalam jolen diisi dengan nasi tumpeng lengkap dengan perangkatnya seperti ayam panggang, sayuran matang, serta buah-buah. Semuanya mengandung maksud sebuah perwujudan atau gambaran bahwa daerah pegunungan Somongari kaya akan hasil bumi, baik dari hutannya maupun lain-lainnya.

Tumpeng sebuah simbol pengharapan segala cita-cita atau maksud dari dasar sampai setinggi mungkin agar dapat terlaksana dengan baik. Makanan dari beras ketan/pulut memberikan gambaran, agar rakyat bersatu padu seia-sekata dalam segala langkah dan cita-cita. Makanan dari ketela pohon, 1. Ledre melambangkan bahwa daerahnya yang terdiri dari pegunungan namun hasilnya dapat mencukupi kebutuhan rakyatnya. 2. Binggelan digambarkan dengan bermacam-macam tiruan hasil buah-buahan yang terdapat di daerah tersebut. 3. Wayang golek melambangkan, agar kita mencari (goleki) arti/maksud sebenarnya. 4. Pisang agung raja adalah buah pisang yang dianggap nomor satu/agung dengan harapan dapat mengagungkan/mengangkat desa tersebut.

Pagi hari pada Selasa Wage bulan Jawa Sapar itu setiap RT di penjuru Desa Somongari mengirim 1-2 jolen. Sehingga rata-rata setiap acara Saparan ada sekitar 50 buah. Sebelum berkeliling desa, jolen-jolen itu dikumpulkan di depan Balai Desa. Begitu pula kesenian lokal ikut berkumpul di tempat yang sama.

Sementara itu pagi-pagi sebelum acara di mulai, secara tradisi setiap rombongan kesenian yang akan ikut pawai tersebut harus melakukan pentas di depan makam leluhur desa yaitu makam Kedono Kedini. Yang berada di dekat Balai Desa. Grup kesenian itu antara lain jaran kepang dari Kedung Tileng, kesenian reog dari Jatirejo, dukuh dan sawahan, kesenian incling dari Krajan dan Glongsorang, ndolalak dari Dukuh Rejo, selawatan dari Krajan, Hadroh Krajan dan kesenian kuda lumping dari Dukuh Rejo.

Setelah semua berkumpul, arak-arakan Jolen dimulai. Berawal dari Pendopo Desa, arak-arakan menuju ke arah timur, ke kampung Dukuh Rejo. Sesampai di Dusun Dukuh Rejo pawai berbalik arah menuju ke barat ke arah batas desa di Kedung Tileng. Pawai didahului oleh rombongan kepala desa beserta stafnya, kemudian jolen-jolen dan rombongan grup-grup kesenian secara berselang-seling.

Seharusnya arak-arakan lengkap sampai di batas desa dan kembali ke balai desa lagi. Namun biasanya, ketika balik dari Dusun Sejanur, dan sampai di Dusun Kramat, hiasan Jolen mulai direbut oleh para pengunjung yang datang dari berbagai penjuru. Hasil rebutan jolen ada yang dimakan di tempat bahkan ada yang dibawa pulang karena diyakini bisa menularkan kesuksesan bertani bagi mereka.

Namun demikian arak-arak tetap sampai batas desa di Kedung Tileng walaupun kondisi jolen sudah gundul. Sekembalinya di balai desa, tumpeng dan ayam panggang, sebagian digunakan selamatan dan dimakan bersama sama. Dan sebagian tumpeng dan ayam panggang dibawa pulang oleh pembawa jolen masing-masing.

Nah setelah itu pesta kesenian di mulai. Semua kesenian tampil. Dan malam harinya   dipentaskan kesenian Tayub dari Gunung Kidul. dana malam berikutnya dihadirkan hiburan rakyat lainnya, misalnya orkes dangdut atau lainnya.

Tayub, dalam  bahasa Jawa sering diterjemahkan sebagai ‘ditata supaya guyub’. Tayub diwujudkan dengan seorang penari yang menari-nari diikuti para pengibing (penonton yang tampil menari bersama penari tayub)  dengan maksud agar masyarakat selalu rukun dan guyub. Sebuah pesan yang  penting untuk zaman yang semakin rentan  terhadap pemecahbelahan. (E-2)

Berita Populer