Setelah pada tulisan sebelumnya Kronik Sejarah Kota Pelabuhan Sunda Kelapa telah diulas perihal sejarah bandar tua, Sunda Kelapa, berjarak 9 kilometer ke arah timur di sana juga ditemukan sebuah pelabuhan tua yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tanjung Priok, demikianlah nama pelabuhan baru tersebut. Seiring dengan dibukanya Terusan Suez (The Suez Canal) pada 1869, pelabuhan baru sengaja dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda karena bandar sebelumnya sudah dirasakan tidak layak menjadi pelabuhan antarbangsa.
Seperti diketahui, dibukanya Terusan Sues membuat transportasi pelayaran dari Benua Eropa ke Asia menjadi nisbi jauh lebih singkat karena tanpa harus terlebih dahulu mengelilingi Tanjung Harapan di Benua Afrika Selatan. Adanya jarak yang semakin bertambah dekat juga membuat waktu tempuh bertambah singkat. Hal ini membuat lalu lintas pelayaran dan perdagangan dari Eropa ke Asia atau sebaliknya, termasuk di dalamnya ialah pelayaran ke Asia Tenggara dan Hindia Belanda, bukan saja jadi semakin intensif melainkan juga semakin bertambah ramai.
Merujuk Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia suntingan Endjat Djaenuderajat (2015), ide pembangunan pelabuhan ini dimotori kalangan swasta pemilik modal di negeri Belanda. Pembangunan bandar ini dimulai pada Mei 1877 dan selesai pada 1886. Pembangunan dimulai saat Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881) berkuasa, dan selesai di masa Gubernur Jenderal Otto van Rees (1884-1888) di tahun 1886.
Lokasi tempat dibangunnya areal pelabuhan berada di atas tanah-tanah partikelir milik para tuan tanah seperti Hana bin Sech Sleman Daud, Oeij Tek Tjiang, Said Alowi bin Abdullah Atas, Ko Siong Thaij, Gouw Kimmin, dan Pattan. Awalnya tanah-tanah partikelir ini berupa areal perkebunan kelapa. Kemudian semua tanah itu diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda untuk disewakan kepada KPM (Koninklijk Paketvaar Maatschappij) selama 75 tahun, terhitung sejak 1877.
Oleh pemerintah Hindia Belanda, KPM ditugaskan untuk membangun, mengoperasikan, dan mengelola pelabuhan baru tersebut nantinya. Selain membangun Pelabuhan Tanjung Priok, KPM juga membangun Pelabuhan Teluk Bayur-Padang (Port Van der Capellen) pada tahun 1886 dan Pelabuhan Belawan Deli tahun 1891.
KPM sendiri ialah sebuah Perusahaan Pelayaran Kerajaan milik Belanda. Memiliki kedudukan hukum di Amsterdam, namun berkantor pusat di Batavia atau Jakarta kini. Dalam mengerjakan pelabuhan Tanjung Priok, KPM lantas bermitra dengan Perusahaan Burn Philip Lina, Rotterdamsche Loyd Ocean, dan Nederlandsche Loyd Ocean.
Masih merujuk buku suntingan Endjat Djaenuderajat (2015), disebutkan arsitek atau desainer pembangunan pelabuhan adalah JAA Waldrop, seorang insiyur Belanda. Sedangkan pimpinan proyek pelaksananya ialah JA de Gelder, juga seorang insinyur Belanda yang bekerja di Departemen BOW (Burgerlijke Openbare Werken) atau Departemen Pekerjaan Umum sekarang.
Dengan diresmikannya pelabuhan baru itu, maka semua kegiatan bongkar muat yang pada awalnya berada di sekitar muara sungai Ciliwung di sekitar Kasteel Batavia, lantas dialihkan ke sana di tahun 1886. Tak hanya itu, beberapa fasilitas pun dibangun untuk mendukung fungsi pelabuhan baru, seperti antara lain Stasiun Tanjung Priok yang selesai pada 1914.
Sedangkan pelabuhan lama yang berada di sekitar muara kali Ciliwung itu lantas menjadi lebih dikenal sebagai Pelabuhan Pasar Ikan. Setelah Indonesia merdeka kelak, berdasarkan SK Ditjen Perhubungan Laut No. BTU 1/12/19 tanggal 1 April tahun 1974 nama Pelabuhan Pasar Ikan itu diubah kembali menjadi Pelabuhan Sunda Kelapa.
Asal Usul Nama
Nama Tanjung Priok sendiri berasal dari kata ‘tanjung’ dan ‘priok’. Zaenuddin HM, dalam bukunya “212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe,” menjelaskan asal-usul nama Tanjung Priok. Berasal dari kata “tanjung” yang artinya daratan yang menjorok ke laut, dan priok berasal dari “periuk”, yaitu semacam wadah untuk masak yang dibuat dari tembikar yang merupakan komoditas perdagangan sejak zaman dahulu kala.
Versi lain menyatakan, nama daerah itu bermula dari nama pohon tanjung (mimusops elengi) yang tumbuh menandai makam Mbah Priok. Konon, dikisahkan Mbah Priok yang biasa dipanggil Habib, adalah seorang ulama kelahiran Palembang pada 1727. Datang ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Bersama pengikutnya, Habib berlayar menuju Batavia selama dua bulan. Lolos dari kejaran perahu Belanda, kapalnya digulung ombak besar. Sehingga semua perlengkapan di dalam kapal hanya di bawah gelombang. Akibatnya, yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan. Habib ditemukan tewas di sebuah semenanjung yang saat itu belum punya nama. Di samping jenazahnya ditemukan periuk dan sebuah dayung.
Kemudian oleh warga setempat, sebagai tanda, makam Habib diberi nisan berupa dayung, sedangkan periuk diletakkan di sisi makam. Konon lagi, dayung itu tumbuh menjadi pohon tanjung. Sedangkan priuknya pernah hanyut terbawa ombak. Tetapi, entah bagaimana ceritanya, empat tahun setelah hilang periuk itu kembali lagi berada di sisi makam Habib.
Sekali lagi, konon, kisah periuk nasi dan dayung yang menjadi pohon tanjung itulah yang kemudian diyakini sebagai asal usul nama Tanjung Priok.
Anggapan nama Tanjung Priok berasal dari tokoh penyebar Islam di masa lalu, yaitu Mbah Priuk, yang memiliki nama asli Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain, sejauh ini masih memantik silang pendapat yang kuat. Menurut Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, asumsi historis itu tidaklah benar. Pasalnya kawasan ini sudah bernama Tanjung Priok jauh hari, sebelum kedatangan Mbah Priuk di tahun 1756.
Pascakemerdekaan
Kini satu abad lebih usia Tanjung Priok, tepatnya bandar itu telah berumur 113 tahun sejak peresmiannya di tahun 1886. Setelah kemerdekaan, merujuk laman Encyclopedia Jakarta Tourism, ditulis bahwa penguasaan Tanjung Priok diambil alih Indonesia. Pada pertengahan September 1945 proses ini dilakukan oleh Badan Keamanan Rakyat Laut Tanjung Priok dengan dibantu para pejuang lain yang umumnya merupakan para buruh pelabuhan.
Namun tak berlangsung lama. Hanya selang dua minggu kemudian pada 29 September 1945, pelabuhan ini sudah direbut kembali oleh tentara NICA-Belanda. Tentara ini masuk ke Indonesia membonceng tentara sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pelabuhan diambil alih kembali oleh NICA berlangsung hingga 27 Desember 1949, saat kesepakatan dua negara yaitu antara Indonesia dan Belanda tercapai melalui KMB (Konferensi Meja Bundar).
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia melalui KMB, maka berdasarkan pada pasal perjanjian itu posisi Tanjung Priok harus dikembalikan kepada KPM (Koninklijk Paketvaar Maatschappij). Pasalnya KPM masih memiliki hak pengelolaan pelabuhan berdasarkan konsesi selama 75 tahun sejak 1877. Ini berarti KPM masih memiliki hak pengelolaan pelabuhan hingga 1952.
Pada 1952, Indonesia melakukan "nasionalisasi" atas bandar yang berdiri di abad ke-19 ini. Pengelolaan pelabuhan diserahkan kepada Kementerian Perhubungan, Djawatan Perhubungan Laut, sedangkan pelaksananya adalah BPP (Badan Pengusahaan Pelabuhan). Namun begitu jika merujuk laman priokport.co.id dikatakan, bahwa pelabuhan ini baru sepenuhnya dikelola oleh Indonesia sejak 1960.
Bicara aspek strategis Tanjung Priok, sejak zaman Hindia-Belanda hingga kini ialah merupakan sebuah pelabuhan utama nasional. Bukan saja jadi pintu gerbang konektivitas ekonomi di tingkat nasional—karena pelabuhan ini berfungsi sebagai penyangga kawasan hinterland di bagian barat Pulau Jawa—namun lebih jauh juga berfungsi sebagai salah satu konektivitas ekonomi Indonesia di tingkat internasional. Bagaimana tidak, sebagai pintu gerbang perekonomian nasional, setidaknya hingga 70% kegiatan bongkar muat ekspor-impor dilakukan melalui pintu pelabuhan ini.
Merujuk tulisan Achmad Ridwan Tentowi dkk (2016) dalam Politik Hukum Tata Kelola Kepelabuhan Nasional—Studi Kasus Dwelling Time di Tanjung Priok – Jakarta, disebutkan bahwa salah satu problem utama yang sering menjadi polemik ialah isu dwelling time. Dwelling time berasal dari bahasa Inggris, dari kata ‘dwell’ yang berarti tunggu atau tinggal, dan ‘time’ adalah waktu. Dengan begitu ‘dwelling time’ berarti waktu tinggal atau waktu tunggu.
Sedangkan merujuk definisi dari World Bank (2011), dwelling time adalah: “Waktu yang dihitung mulai dari petikemas (kontainer) dibongkar/diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama.”
Bagaimana potret kemajuannya? Tahun 2015 masih tercatat dwelling time di Tanjung Priok membutuhkan waktu hingga 5,5 hari. Lamanya waktu tunggu ini merupakan catatan yang terlama di antara pelabuhan-pelabuhan di negara-negara anggota ASEAN. Sebutlah, misalnya Malaysia, pelabuhan mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 4 hari. Singapura, contoh yang lebih baik lagi, hanya berkisar 1-3 hari.
Sepanjang lima tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo upaya berbenah diri telah dilakukan sangat serius, dan naga-naganya kini mulai berbuah positif. Belum lama berselang, 6 Oktober 2019 Kementerian Perhubungan memberikan catatan kemajuan signifikan. Merujuk laman kementerian disebutkan, bahwa proses dwelling time di pelabuhan logistik ini kini telah turun jadi rata-rata hanya 2,4 hari. Sebuah kemajuan yang sangat berarti, tentu saja.
Bicara tantangan ke muka tentu bukanlah bertambah ringan. Pekerjaan rumah lainnya juga masih menunggu. Tantangan terberat ialah bagaimana mewujudkan pelabuhan Tanjung Priok menjadi “international hub port,” di mana kapal-kapal besar bisa langsung bersandar di pelabuhan Indonesia tanpa harus berhenti di negara lain untuk sekadar memindahkan muatan ke kapal-kapal yang lebih kecil. (W-1)