Desa Pinggan masuk dalam kecamatan Kintamani, Bangli, dapat ditempuh setelah 1,5 jam jika kita berkendara dari Denpasar. Letaknya 9 kilometer dari Danau Batur menuju Singaraja arah timur laut. Jika ke sana awalnya mungkin terlihat biasa saja seperti daerah pertanian di dataran tinggi lainnya dimana tanaman kol dan sawi berjejer rapih. Di kejauhan ada pohon pinus menyejukkan mata.
Namun semakin dekat dengan Desa Pinggan, kita akan terpesona karena disuguhi pemandangan yang sangat indah. Desa Pinggan yang berada di 1.300 mdpl seakan berada di atas awan dan berlatar gunung Batur, dan Gunung Penulisan.
Jika berjalan pelan kita akan bertemu dengan para bocah bertipikal sama; muka bulat, mata sipit, berkulit sawo matang. Mereka seperti berdarah Tionghoa tapi berkulit coklat matang. Mereka terlihat berjalan berkelompok menuju sekolah atau terlihat ikut bersama ayah ibunya bertani di kebun mereka. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah petani.
Desa Pinggan bertetangga dengan beberapa desa yang namanya mirip-mirip nama Tionghoa yaitu desa Songan dan desa Lampu. Songan konon berasal dari kata Song- Ahn dan Lampu berasal dari marga Lam dan Pho.
Beberapa prasasti menyebut bahwa pada abad ke 12, para pendatang Tiongkok masuk ke Bali melalui Buleleng (Singaraja), Tejakula, lalu mengarah ke selatan yaitu Gunung Penulisan dan sampai di daerah gunung Batur. Mereka menempati beberapa desa Bali kuno (Bali Aga) yang disebut Songan dan Pinggan. Di wilayah Pinggan ada pura bersejarah dan menjadi simbol akulturasi Tionghoa di Bali yaitu Pura Dalem Balingkang.
Putri Kang Cing Wie dan Raja Sri Jaya Pangus
Pada abad ke 12 wilayah Bali dipimpin oleh Raja Sri Jaya Pangus Harkajalancana. Prasasti menyebutkan bahwa Jaya Pangus adalah keturunan penguasa terkenal Airlangga dan masuk dinasti Warmadewa. Pada masa pemerintahan Jaya Pangus, agama Hindu berkembang pesat dan hari raya Galungan pertama dilaksanakan setelah mendapat wahyu untuk melakukan upacara agama.
Saat itu juga terjadi asimilasi kebudayaan Bali dan Tionghoa, seperti adaptasi kisah-kisah rakyat Tionghoa seperti Sam Pek – Eng Tay, ilmu silat dan beberapa tarian yang merupakan perpaduan dua budaya itu. Pada masa ini juga diyakini mulainya uang kepeng Tiongkok sebagai alat pembayaran resmi masyarakat Bali.
Seperti diungkap di atas, banyak pendatang datang ke Bali dari utara yaitu Buleleng. Diantara mereka ada keluarga pedagang Tionghoa bemarga Kang yang datang ke Bali dengan maksud berdagang. Keluarga ini punya anak perempuan bernama Putri Kang Cing Wie yang digambarkan sangat cantik.
Raja Sri Jaya Pangus terpesona pada Putri Kang tersebut dan mempersuntingnya. Pernikahan ini sempat ditentang oleh salah satu patih Sri Jaya Pangus tapi sang raja tidak mengindahkannya. Saat pernikahan sempat terjadi bencana alam di sekitar wilayah itu.
Setelah menikah sekian lama, mereka belum dikaruniai anak. Karena itu Raja Jaya Pangus ingin bersemedi di sekitar alas (hutan) Batur untuk minta petunjuk dari para dewa agar mendapatkan keturunan dan meninggalkan Putri Kang di Pinggan. Sampai di Batur, Sri Jaya Pangus bertemu dengan penunggu Batur bernama Dewi Danu. Karena tercekat kecantikannya, Sri Jaya Pangus menikahi Dewi Danu dan memiliki satu orang anak lelaki.
Sekian lama Putri Kang Cing Wie menunggu suaminya tak kunjung datang, menyusullah dia ke Batur dan mendapati keluarga kecil Sri Jaya Pangus. Melihat itu semua, Dewi Danu yang secara naluri merasa terancam, menyerang sehingga Putri Kang terluka. Raja Sri Jaya Pangus yang tidak tega terhadap istri pertamanya itu menghampiri dan menolongnya.
Melihat keributan itu, Bhatari Batur yang merupakan ibu dari Dewi Danu sangat marah. Sri Jaya Pangus dan Putri Kang dimusnahkannya. Lalu atas permintaan penduduk, dua orang itu diwujudkan kembali dalam bentuk patung. Pasangan patung itu di kemudian hari dikenal sebagai Barong Landung sang penolak bala. Sosok pasangan Barong Landung muncul saat piodalan pura dan kesenian gambuh.
Menyadari kesalahannya, Dewi Danu dan putranya pergi dari Gunung Batur ke desa Pinggan, tempat tinggal Putri Kang. Di desa itu lalu dibangunlah Pura Dalem Balingkang yang merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat. Balingkang sendiri diyakini berasal dari kata Bali, Ing dan Kang.
Pada Pura itu terdapat Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar (nama Bali orangtua Putri Kang) yang merupakan banguan suci untuk memuliakan Putri Kang Cing Wie. Palinggih adalah tempat bersemayam dewa.
Struktur palinggih berbentuk gedong dan beratap rendah, tidak seperti palinggih kebanyakan di Bali. Kekhasan Pura Dalem Balingkang adalah adanya ornamen dan beberapa interiornya berciri Tionghoa seperti dominasi warna merah dan kuning yang merupakan warna khas kelenteng atau wihara.
Selain di wilayah Bali Aga, ada beberapa komunitas Tionghoa-Bali yang menunjukkan tanda benderang tentang akulturasi Bali dan Tionghoa. Mereka bisa kita jumpai di Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Gumicik- Sukawati, Blahbatuh-Gianyar, Renon dan Sanur, serta Menanga.
Umumnya mereka bermukim di dekat dan bekerja di pasar tradisional sebagai pedagang dan hidup dengan damai dengan penduduk lokal. Komunitas Tionghoa di Bali sebagian terasimiliasi dengan baik dengan memakai nama Bali, yaitu Putu, Made, Nyoman, dan Ketut. Mereka juga memakai bahasa Bali sebagai bahasa ibu dan bukan bahasa Tionghoa.
Di Pabean, Sangsit (Buleleng), Pesanggaran (Denpasar), Abiansemal (Badung), tempat ibadah umat Khonghucu berdampingan dengan pura. Uang kepeng kini masih dipakai untuk kelengkapan upacara adat. (K-CD)