Hasil program Citarum Harum bisa dicapai lebih cepat dari target. Saat ini indeks mutu air Citarum masuk kategori tercemar ringan. Ikan-ikan endemik kembali bisa ditemukan.
Rehat sejenak dari urusan pandemi Covid-19, Menko Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan melakukan kunjungan ke Bandung, Selasa (7/9/2021). Di depan pers, wajahnya tampak lebih sumringah dari biasanya, ketika dia harus menyampaikan data kondisi epidemiologis.
Kali ini, LBP—begitu Luhut biasa disapa—memantau progres Citarum Harum, program rehabilitasi Sungai Citarum, yang pada 2013 menyandang predikat sebagai satu dari tiga perairan paling tercemar di dunia.
Ditemani oleh Gubernur Jawa Bawat Ridwan Kamil, yang mengemban tugas sebagai Kepala Satgas PPK-DAS (Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum), Menko Luhut mula-mula diajak meninjau pembangunan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST), yang akan menggunakan teknologi refuse derived fuel (RDF), di Cicabe, Bandung Timur.
Instalasi sampah Cicabe itu nantinya akan mengayak dam memisahkan sampah basah (organik dan plastik) dari sampah padat seperti logam dan kaca. Sampah basah dikeringkan dan dibakar dengan suhu tinggi. Panas yang dihasilkan untuk memanaskan air dan tekanan uap airnya akan digunakan memutar turbin listrik. Limbah abunya pun relatif kecil. Sedangkan, sampah padatnya didaur ulang.
TPST Cicabe ini dibangun untuk memberi solusi atas masalah sampah di Bandung. Dengan adanya TPST ini diharapkan sampah yang dibuang ke Citarum dan anak-anak sungainya dapat berkurang. Direncanakan, pembangunan beberapa unit TPST di DAS Citarum Hulu di seputar Bandung.
Usai meninjau Cicabe, Gubernur Ridwan Kamil membawa Menko Luhut ke Command Center PPK-DAS Citarum di sebuah kantor di Jl Dago, Bandung. Di ruang kendali itu dilengkapi layar LCD sebesar 1,5x4 meter. Di layar video wall itu terkoneksi secara online ke pos-pos pemantauan Citarum dan anak-anak sungainya. Kondisi sungai secara real time bisa terlihat di layar. Layar lebar itu juga secara cepat bisa menghadirkan data-data terbaru tentang kualitas air Citarum.
‘’Benang kusut masalah Citarum itu sedikit demi sedikit kini sudah terurai,’’ tutur Gubernur Emil ke tamunya.
Tekanan terhadap Citarum memang tak lepas dari urusan penegakan hukum yang maju mundur, soal sosial ekonomi masyarakat sekitar sungai, penataan lahan kritis di hulu, soal budaya sanitasi, dan sejumlah isu lainnya. “Progresnya lebih cepat dari yang kita rencanakan,” kata Kang Emil, sebutan akrab Gubernur Jawa Barat itu.
Sebagai contoh soal kualitas air. Pada 2018, ketika program rehabilitasi DAS dengan nama “Citarum Harum” itu digelar, indeks kualitas air Citarum di hulu rata-rata ialah 26,3 (dari skala 0–100), dan beringsut dari posisi 33,4 di akhir 2013. “Waktu itu airnya jorok banget,” tutur Kang Emil.
Gerakan pembersihan sungai itu tak sebatas pada merapikan badan sungai, mengangkat sampah, dan menggusur eceng gondok. Lebih jauh ialah mengendalikan cemaran limbah industri. Petugas TNI-Polri terjun merazia ratusan industri yang tak mengoperasikan instalasi pengolahan limbahnya (IPAL) sebagaimana mestinya, dan langsung membuang limbah ke sungai.
Yang bandel ditegur. Bila masih masih bandel, maka saluran limbahnya disumbat dengan campuran semen-beton. Kalaupun masih tidak mau bertanggung jawab atas limbah industrinya, Kang Emil tak segan menyeretnya ke pengadilan. Dalam Satgas Citarum Harum ini ada satuan TNI-Polri dan penyidik dari Kejaksaan.
Kategori Tercemar Ringan
Video-video tentang manuver gerak cepat pasukan TNI-Polri mengangkat ribuan ton sampah dari lingkungan sungai memviral dan menuai banyak dukungan masyarakat dari seluruh penjuru tanah air. Ada pula video gerakan mengangkat lumpur, melebarkan badan sungai, membangun kembali jalan inspeksi di tepian sungai, hingga pasukan TNI-Polri berkolaborasi dengan petani membangun terasering. Semua pun memviral.
Hasilnya membaik. Memasuki 2019, memviral wajah baru Citarum yang bersih berseri. WC umum berderet di tepian Citarum dan anak sungainya, di area pemukiman padat penduduk. Septik tank kolektif dibangun di mana-mana. Tujuannya mencegah limbah domestik itu nyemplung ke badan sungai. Tempat pembuangan sementara (TPS) sampah sementara disediakan di tepian sungai.
Indeks kualitas air DAS Citarum di hulu, yakni mulai dari mata airnya hingga ke Waduk Saguling dan Cirata, beranjak naik. Dari 26,3 ke 33,4, naik ke 40-an, dan mencapai 55 pada 2020. Melampaui target. Gubernur tadinya memasang target indeks kualitas air itu masih di sekitar 40-an pada 2020, dengan status tercemar sedang. ‘’Sekarang, pada 2021 ini indeks kualitas airnya sudah ada pada angka 60, masuk kategori tercemar ringan,’’ tambah Kang Emil.
Dari sisi pemanfaatan sebagai air baku, menurut standar internasional, indeks 60 itu masuk kategori sedang, dan tergolong bagus bila mencapai 70. Akselerasi itu, menurut Emil, karena kerja keras aparatur daerah, yang dibantu TNI-Polri, Kejaksaan, para relawan, dan para pemangku kepentingan lainnya.
‘’Istilahnya, kalau sekarang ini ikan-ikan sudah pada bisa kembali berenang,’’ ujar Kang Emil. Sejumlah ikan endemik dilaporkan kembali ditemukan di Citarum. Ia bertekad menjaga agar Citarum tak kembali kotor, menghitam, dan berbau menyengat seperti dulu.
"Kita dulu sempat di-bully (punya) sungai terkotor di dunia, diviralkan sama bule. Sedihlah sebagai anak bangsa. Kita dapat buktikan, kita akan undang lagi mereka. Kita akan viralkan bahwa bangsa Indonesia kalau kompak tidak bisa dikalahkan," paparnya.
Toh, Emil mengaku bahwa urusan sungai itu bisa lebih pelik dari yang terlihat mata, utamanya pada masalah sosial-ekonominya. Sampah domestik, limbah industri serta limbah pertanian-peternakan belum sepenuhnya tertangani. “Soal sampah, kita sedikit di bawah target terkendali 3.100 ton per hari. Kita baru bisa 2.700 ton per hari,”’ ujar Kang Emil.
Untuk industri, dari target 1.100 unit yang harus menjalankan pengelolaan limbah sesuai standar, baru 300 yang benar-benar memenuhi syarat. Secara umum, industri yang belum terbina adalah industri kecil menengah yang sensitif terkait biaya operasi.
Jangan Main-Main
Pemerintah pusat mendukung penuh program Citarum Harum ini. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 15 tahun 2018 memerintahkan banyak kementerian dan lembaga untuk mendukungnya. Dipercaya sebagai koordinator pusat adalah Menko Marinves dan Gubernur Jawa Barat sebagai kepala satgas. Dalam perpres itu, TNI Polri diinstruksikan untuk terlibat. Jajaran Kejaksaaan harus mendukung.
Bahkan, Kepala Satgas Citarum Harum resmi membawahi sembilan Komandan Sektor Militer yang berpangkat kolonel. Sebagai Komandan Satgas, Ridwan Kamil bisa menggerakkan satuan TNI-AD di 9 sektor itu untuk konservasi Citarum. Kementerian PUPR mendukung pengendalian banjir dengan membangun terowongan air di dekat Curug Jompong, Bandung Barat. Terowongan itu diresmikan Presiden Jokowi awal 2020. Sejumlah kolam retensi dibangun Kementerian PUPR di hulu.
Menko Luhut Pandjaitan juga mengingatkan bahwa secara langsung Kali Citarum berpengaruh pada 18 juta penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) yang luasnya mencapai 7.046 km2 itu. DAS Citarum adalah tempat kolam-kolam budi daya ikan air tawar, termasuk ribuan jaring apung di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang menghasilkan ribuan ton ikan per tahunnya.
Maka, Luhut menyatakan, betapa penting perairan Citarum ini terbebas dari pencemaran bahan kimia berbahaya (B3) yang bisa mengakibatkan penyakit degeneratif pada anak-anak. Lewat jalur rantai makanan, zat B3 itu bisa masuk ke tubuh ikan dan pindah ke tubuh orang yang mengomsumsinya. Pesan itu disampaikan Menko Marinves itu kepada pimpinan TNI-Polri di wilayah PPK-DAS Citarum yang mengikuti acara tersebut secara virtual.
‘’Jangan sampai pencemaran itu merusak generasi yang akan datang. Program Citarum Harum ini untuk kemanusiaan. Jadi, Anda bukan bekerja untuk proyek, tapi ini adalah proyek kemanusiaan,” ujar Menko Luhut menegaskan. Ia juga meminta jajaran Panglima Kodam Siliwangi dan komandan sektor membantu komandan satgas mengendalikan pencemaran industri.
“Saya minta pada pada tim komandan sektor, Panglima Kodam, tolong lihat lagi industri-industri itu. Jangan main-main lagi. Mereka jangan membuang limbah ke sungai karena nanti bisa merusak generasi yang akan datang,” jelas Luhut.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari