Indonesia.go.id - Menggalang Kolega Teman Lama

Menggalang Kolega Teman Lama

  • Administrator
  • Rabu, 26 September 2018 | 04:56 WIB
  Sumber foto: Antara Foto

Bank Dunia dan IMF tak lagi bisa mempengarihi kebijakan ekonomi Indonesia. Utang RI ke IMF sudah lama lunas. Bantuan Bank Dunia pun tak sampai lima persen dari pinjaman LN Indonesia. Jejaring bisnis mereka bisa bermanfaat.

Bank Dunia (World Bank) itu teman lama. Betapa tidak, paling kurang Pemerintah Indonesia telah setengah abad menjalin kerjasama intens dengannya dan hingga saat ini dia tetaplah kreditur terbesar untuk pinjaman nonkomersial. IMF (International Monetery Fund) pun kawan juga. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya IMF tetaplah sebagai the last lender resource tatkala ekonomi-moneter Indonesia oleng diterjang badai.

Bahwa Indonesia mau repot jadi tuan rumah menghela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia Grup di Nusa Dua, Bali, 10-12 Oktober 2018 ini, tentu urusannya bukan hanya  sekadar pertemanan. Dengan hadirnya sekitar 28 kepala negara/kepala pemerintaham, 180 orang Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari seluruh dunia, delegasi bisnis, LSM, observer, berikut staf dan eksekutif Bank Dunia-IMF sendiri,  secara keseluruhan hampir 20 ribu jiwa, banyak peluang yang bisa diraih : jejaring bisnis, investasi, paling tidak promosi pariwisata. Para tamu bisa digalang untuk bisnis baru.

Berbagai tema yang akan diusung dalam pertemuan Bank Dunia-IMF di Bali itu menyangkut berbagai hal, mulai dari outlook ekonomi dunia, stabilitasi sistem keuangan global, pemberantasan kemiskinan hingga soal perubahan iklim. Namum, apa pun temanya bagi banyak orang, World Bank Goup (WBG) dan IMF ini tetap saja mengingatkan pada isu utama : hutang Indonesia.

Bank Dunia Group

Pada April 2018, menurut Bank Indonesia (BI), posisi  utang luar negeri  Indonesia mencapai US$ 356,9 M (Miliar), sekitar Rp 5.139 triliun (kurs Rp. 14.400/dolar AS). Porsinya, utang pemerintah US$ 181,14 M, sekitar Rp. 2.535 triliun, dan utang swasta (termasuk BUMN)  US$ 174,05 M,  sekitar Rp2.437 triliun. Utang pemerintah itu sendiri sebagian terbesar ialah  utang komersial. Posisi utang nonkomersial pada Mei 2017 misalnya, dalam catatan BI sebesar Rp. 723,44 Trilyun yang diperoleh dari berbagai sumber seperti  Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Bank Pembangunan Islam, dan skema pinjaman bilateral.

Dari keseluruhan utang nonkomersial itu bagian terbesar kontribusi dari World Bank Group, yakni Rp. 234,68 Trilyun (32,4 persen). Kredit besar berikutnya dari Jepang Rp. 196,9 Trilyun (27,2%), Asian Development Bank (ADB) Rp. 120,9 T (16,5%), Jerman Rp. 24,9 Trilyun (3,3%), Prancis Rp. 24,3 T (3,3%), Korea Rp. 19,5 T, Tiongkok Rp. 13,5 T, Amerika Serikat Rp. 8,3 T dan sejumlah pihak lainnya.

Dalam perjalanan World Bank (WB), Indonesia tercatat sebagai  debitur besar yang kredibel. India, Indonesia dan Turki menjadi penyerap pinjaman terbesar  Bank Dunia, masing-masing dengan US$ 57,3 Milyar untuk India, Indonesia US$ 50,9 Milyar, dan Turki US$ 38,9 Milyar. Tidak kurang dari dua pertiga kredit itu kini sudah terbayar, dan porsi pinjaman Pemerintah ke WB kini tak sampai 5 persen dari keseluruhan pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia.

World Bank  sendiri didirikan oleh PBB satu paket dengan IMF, pada  sidang PBB  di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, Juli 1944. WB barudapat  beroperasi Desember 1945 dan memilih Washington DC sebagai kantor pusatnya. Fokusnya adalah pengentasan kemiskinan untuk negara korban perang dan negara baru yang terbebas dari kolonialisasi dunia Barat. Tak  keran bila slogannya pun Working for a World Free of  Poverty. Untuk operasionalnya, ia membentuk lembaga pelaksana yakni International Bank fo Reconstruction dan Development (IBRD) 1945. IBRD menjadi kaki pertamanya dalam memberikan pinjaman dengan jaminan negara debitur.

Untuk memperluas pelayanan, WB membentuk pula International Finance Corporation (IFC) 1956, yang memberikan bantuan pendanaan bagi swasta dan BUMN tanpa penjaminan pemerintah setempat. Namun, tidak seperti bank swasta, IFC  tetap konsen pada isu kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan dan tidak beroperasi dengan dana yang sepenuhnya komersial. Tidak lama kemudian (1960) Bank Dunia punya kaki ketiga: International Develompen Agency (IDA), yang juga membantu pembiayaan pembangunan tanpa bunga dan hibah.

Kaki keempat World Bank adalah International Center for Settlement of Invesment Disputes (ICSID), lembaga yang membangun kesepakatan untuk mengurangi resiko perjanjian dalam investasi. ICSID ini muncul 1965. Yang kelima (1988) adalah  Multilateral Invesment Guarantee Agency (MIGA), yang memberikan asuransi atas berbagai jenis risiko, termasuk risiko politik. Layanan ini kebanyakan untuk investasi swasta. Lima kaki ini Bersama induknya sering disebut World Bank Goup.

Dengan lima kakinya  itu Bank Dunia pun bergerak menyongsong arus zaman, dan Articles of Agreement Bank Dunia pun berubah sejak Februari 1989. Tanpa mengesampingkan kemiskinan, ada konsen pada sustanainable development, promosi  investasi, kemudahan  perdagangan luar negeri, dan kebebasan arus modal. Sejak itulah bantuan Bank Dunia sering dikaitkan dengan syarat agenda perubahan kebijakan negara debitur untuk lebih ramah pada agenda liberalisasi ekonomi.

Bank Dunia sendiri aktvis di Indonesia sejak 1968, setelah di era sebelumnya Indonesia tidak  ramah dengan bantuan Barat. Sejak itulah ratusan proyek pembangunan dibantu Bank Dunia, mulai dari sarana jalan, pengairan, listrik, air bersih, pengembangan pertanian, kesehatan, pendidikan, dan yang fenomenal ialah trasmigrasi di tahun 1970an. asyarakat bawah.

Bantuan Bank Dunia  itu  bukannya mengalir tanpa kritik. Pada era 1970-1980-an, kritik itu terkait besarnya biaya konsultasi dan supervisi, anggapan mark-up barang modal di proyek-proyek Bank Dunia, tentang infrastruktur jalan dan pelabuhan yang cuma menguntungkan para kontraktor migas asing. Di tahun 1990-2000an kritiknya terkait campur tangannya Bank Dunia pada kebijakan pengurangan subsidi energi (utamanya BBM), privatisasi BUMN dan segala agenda deregulasi yang adalah liberalisasi modal, praktek perbankan serta arus barang.

Toh, program bantuan itu tidak pernah putus. Bahkan pada 2018 ini komitmen kredit lunak US$ 500 juta dari WB hadir lagi untuk penanganan sampah, Dana Desa dan pencegahan balita kerdil (stunting) yang persentasenya masih cukup tinggi di kalangan masyarakat bawah. Secara kuantitatis kontribusi Bank Dunia tidak lagi besar dalam anggaran sehingga kehadirannya tak lagi menonjol.

IMF

Sebagai sebuah  lembaga keuangan, International Monetary Fund (IMF) alias Dana Moneter Internasiona) ini jelas sulit  dicari tandingannya. Pada 2018 ini dana yang dikelola mencapai US$ 692 Milyar, bersumber dari kontribusi ke-189 anggotanya, yang disebut kuota. Adapun kuota itu sendiri mencerminkan posisi suatu negara dalam ekonomi dunia. Di laur itu, ada komitmen tambahan US$ 264 Milyar dari sejumlah anggota dan lembaga keuangan untuk dana cadangan.

Sebagai anggota G-20, Indonesia punya kuota sebesar US$ 6,3 Milyar (nilai kewajiban yang telah dibayar) yang setara dengan 0,9% suara di IMF. Suara terbesar 17,68% ada di tangan Amerika Serikat, lalu Jepang 6,56%, Tiongkok 6,49%, Jerman 5,67% dan seterusnya. Pada waktunya kuota itu bisa dikonversi menjadi SDR (Special Drawing Right), hak untuk menariknya sebagai dana cadangan. Pada tahun 2009, IMF menawarkan SDR senilai US$ 2,7 Milyar kepada RI, di tengah krisis finansial saat itu. Tapi, Indonesia merasa tak perlu menariknya.

Lahir bersama dengan Bank Dunia Juli 1944, pada awalnya IMF dibentuk untuk tujuan yang sederhana : menata ulang sistem pembayaran dan membentuk suatu kerangka kerjasama ekonomi di antara 44 negara anggotnya (waktu itu), guna  menjamin stabilitas sistem moneter internasional, yakni sistem nilai tukar dan pembayaran internasional dan membantu anggotanya yang mengalami kesulitan neraca pembayaran. Para anggota berkewajiban  membayar kuota sebagai dana cadangan yang dapat dipinjam oleh negara-negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran. 

Peran IMF berubah setelah penerapan nilai tukar mengambang 1971. IMF mulai melakukan  evaluasi  kebijakan negara debitur dan memberikan resep baru kebijakan untuk memulihkan kondisi yang terguncang, yang di negara-negara berpendapatan menengah-rendah rentan  mengalami arus capital outflow. IMF mulai menjadi pengawas seluruh kinerja ekonomi makro negara anggotanya.

 Untuk menjaga stabilitas dan mencegah krisis sistem moneter internasional, IMF memantau kebijakan negara anggota serta perkembangan ekonomi dan keuangan nasional, regional, dan global melalui suatu sistem yang disebut surveillance. IMF memberi penilaian berkala prospek global dalam laporan Outlook Ekonomi Dunia, Stabilitas Keuangan Global, review keuangan pemerintah (anggota) dalam Monitor Fiskal dan semacamnya.

Kehadiran IMF di Indonesia baru terasa di tengah Krisis Moneter-Ekonomi 1998. Dimulai dari Krisis Asia, gejala pelemahan rupiah mulai menerpa pertengahan 1997. Memasuki 1998, rupiah kian terpuruk. Pembicaraan yang telah dilakukan antara Pemerintah-RI dan IMF kemudian dilembagakan dalam Letter of Intent (LOI) yang ditandatangi Presiden Soeharto dan Managing Director IMF Michel Camdessus. IMF menyiapkan  paket bantuan US$43 Milyar, yang pemakaiannya langsung  dikaitkan pelaksanaan agenda kebijakan ekonomi sesuai resep IMF.

Ada Sembilan resep IMF yang diberikan ketika itu, antara lain, pencabutan subsidi BBM dan listrik, yang katanya, untuk penguatan fiskal pemerintah. Dana subsidi dialihkan ke sector lain. Lalu ada resep melikuidasi bank bermasalah dan mem-bail-out kewajiban bank ke pihak ketiga. Ada pula resep privatisasi BUMN, membuka pintu selebar mungkin bagi investasi asing, men-set harga-harga sesuai harga pasar internasional, dan seterusnya.

Resep-resep dijalankan. Yang terjadi kemudian, inflasi tak terkendali. Dipresiasi rupiah tidak bisa tercegah dan sempat menyentuh Rp 17 ribu per dollar AS. Kekacauan ekonomi bercampur huru-hara politik. Presiden Soeharo mundur. Presiden BJ. Habibie tampil memimpin pemerintahan, tapi  situasi tak kunjung membaik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 1998 minus 13,7 persen. Komplikasi sosial-politik-ekonomi ini berlangsung sampai beberapa tahun berikutnya. Sementara, bantuan IMF tersendat karena situasi politik di Indonesia tak cukup membuat happy perasaan Gedung Putih.

Tidak banyak publikasi tentang jumlah dana IMF yang disuntikkan ke Indonesia selama krisis 1998. Beberapa sumber menyebut angka US$ 16 Milyar untuk 16 bulan dan itu tak memadai karena cadangan Devisa RI saat itu hanya US$ 20 juta – masih jauh dari kebutuhan mengingat utang swasta (jangka pendek) saja sudah mendekati US% 65 Milyar. Setelah tertunda pada era BJ Habibie dan Gus Dur, IMF baru mencairkan bantuannya lagi di era Presiden Megawati dengan besaran US$ 5 Milyar.

Pada era Presiden SBY, ekonomi Indonesia membaik, berkat kenaikan harga-harga komoditi. Kapasitas fiskal pemerntah menguat dan karenanya utang ke IMF dibayar lunas di tahun  2006. IMF menjadi figur tak popular. Para ekonom, baik pendukung orde baru maupun yang tidak, umumnya sepakat menilai IMF gagal. Selain dianggap salah resep, IMF juga disebut salah dosis.

Ketidakpuasan pada IMF tak hanya terjadi di Indonesia. Tingkat keberhasilan Dana Moneter Internasional itu,  dalam membantu anggotanya yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran, disebut hanya sekitar 30 persen saja. Resep IMF terkenal tidak manjur.

Barangkali pertemuan tahun IMF dan Bank Dunia di Bali bisa memberi inspirasi bahwa dunia sudah berubah. Angggota IMF dan Bank Dunia sudah berbeda dari 74 tahun lalu. Mereka sudah bisa mendiagnosa penyakit yang pada dirinya, maka obat yang diresepkan perlu diracik bersama mereka. Dengan begitu, obatnya bisa lebih cespleng.

Bank Dunia dan IMF adalah teman lama. Sudah saatnya kita berdiri setara.