Sejak reformasi 1998 lalu, Indonesia telah mengalami lima kali pemilu presiden yang berjalan relatif damai. Pergantian kekuasaan mulai dipahami rakyat sebagai hal rutin dan biasa. Ini merupakan buah dari kesiapan masyarakat untuk melaksanakan siatem demokrasi.
Titik tekan reformasi dalam bidang politik adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada dasarnya memberi ruang yang lebih besar kepada rakyat untuk menentukan masa depan politiknya.
Amandeman pertama, misalnya, memfokuskan pada pembatasan masa jabatan presiden dan wapres. Lahirlah keyakinan bahwa presiden dan wapres hanya bisa maksimal dua kali menjalani masa jabatannya. Ini sekaligus memberikan dasar terjadinya sirkulasi elite yang lebih baik.
Pada amandeman kedua terlihat usaha penguatan lembaga demokrasi seperti DPR. Peran DPR yang pada masa sebelum reformasi terbonsai, pada saat ini justru diberikan ruang yang sangat besar. Bahkan pada beberapa kasus terlihat rambahan tangan legislatif terlalu mencengkram sehingga membatasi ruang gerak eksekutif.
Kemudian disepakati juga untuk membatasi peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Wewenang MPR tidak lagi sebagai perwujudan tunggal kedaulatan rakyat seperti sebelumnya. Selain itu juga dibenahi sistem pemilihan presiden dan wapres.
Pembenahan kelembagaan demokrasi juga terus dilakukan. Dibentuknya lembaga independen yang bertugas melaksanakan pemilu yang jujur dan adil merupakan kehendak rakyat untuk menjalankan proses demokrasi yang utuh, terbuka, dan adil. Dengan pelaksana pemilu yang independen prosesi demokrasi bisa lebih dijamin kualitasnya.
Semua proses perbaikan dalam sistem kepemiluan Indonesia diharapkan akan semakin meningkatkan kualitas demokrasi kita. Rakyat sendiri sebetulnya sudah banyak belajar bagaimana menjadi bagian aktif dalam proses demokrasi. Tingkat partisipasi yang tinggi membuktikan bahwa kesadaran hak konstitusional pada diri masyarakat semakin baik.
Tingkat partisipasi yang tinggi ini juga diikuti oleh kesadaran rakyat sipil untuk terlibat aktif dalam proses pemilu. Pada 2014, misalnya, lembaga kajian Internasional IDEA mencatat angka keterlibatan masayarakat sipil secara aktif dalam pilpres mencapai 83%.
Tingginya tingkat partisipasi demokrasi, sebetulnya juga didorong oleh semakin mudahnya masyarakat mengekspresikan sikap politiknya. Perkembangan media sosial yang bebas ikut menjadi pendorong. Tentu saja perkembangan kebebasan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi mampu mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi. Di lain sisi, membuka kerawanan terjadinya gesekan horisontal.
Namun demikian sejarah mencatat Indonesia selalu berhasil melewati masa-masa berat dalam ujian kebangsaannya. Sejak reformasi sudah lima kali pilpres dilakukan, dan semuanya berjalan mulus. Pilpres 2019 ini adalah pemilu presiden keenam.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, bisa dikatakan Indonesia adalah labolatorium demokrasi yang nyata yang mempertautkan semangat keislaman dan demokrasi. Ketika banyak negara berpenduduk Islam masih berkutat dengan perdebatan lama antara nilai keislaman dan demokrasi, Indonesia sudah membuktikan bahwa hal itu bisa dijalankan secara beriringan.
Lihat saja indeks demokrasi kita yang menunjukkan angka lumayan. Pada 2017, indeks demokrasi kita berada pada posisi 72,11. Angka itu meningkat dibanding sebelumnya yang menyentuh 70,09. Angka itu berada dalam rentang skala 0-100.
Artinya secara umum demokrasi Indonesia berjalan dengan baik, yang dalam indeks demokrasi berada pada kisahan 60-80. Tentu saja, kita tidak bisa berpuas diri dengan capaian itu. Namun kemampuan masyarakat mengelola perbedaan merupakan basis dari pencapaian indeks demokrasi yang cukup.
Harus diklakui tidak mudah menjalankan sebuah sistem demokrasi yang sangat terbuka ini di tengah masyarakat yang plural, yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan beragam kepentingan. Apalagi di satu sisi kita menganut sistem multipartai dan di sisi lain sistem kenegaraan kita mengacu presidensial.
Setidaknya Indonesia masih berbangga hati bahwa bangsa ini sudah melewati beberapa kali proses pergantian presiden yang tanpa riak dan gejolak. Pemilu adalah ajang pengejawantahan aspirasi rakyat. Dari sanalah kualitas sistem politik teruji. Pemilu sekaligus juga ajang latihan untuk membiasakan perbedaan pilihan.
Pemilu 2019 ini adalah ajang rutin lima tahunan. Rakyat Indonesia sudah terlatih melewatinya dengan damai.