Dalam tempo 9 jam (J+9), satu Kompi Marinir sudah bergabung dengan satu kru kesehatan TNI-Angkatan Laut (AL) di atas KRI dr Soeharso di Pelabuhan Makassar. Dini hari, 29 September lalu itu, kapal yang berfungsi sebagai rumah sakit terapung ini meluncur cepat ke Kota Palu, menjadi satuan awal Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (PRC-PB), yang akan membantu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) di lapangan.
Medan tugasnya Palu dan wilayah sekitarnya, yang pada Jumat (28/10/2018) pukul 18.02 WIT, diguncang gempa bermagnitudo 7,4 skala Richter dan disertai tsunami setinggi 3 meter.
Pada J+17, pukul 10 WIB, 51 Prajurit Marinir terbang dengan Hercules C-130 dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Sebuah mobil ambulans, sepeda motor, perlengkapan rumah sakit lapangan, tenda-tenda, velbed, genset, obat-obatan dan bahan makanan pun memenuhi kabin Hercules.
Tiga jam berikutnya, sebuah Hercules lain melesat dari Pangkalan Udara Juanda Surabaya, mengangkut satu kompi (100 orang) Marinir lainnya, juga dengan tujuan Palu.
Pada saat yang bersamaan, sejumlah prajurit TNI-Angkatan Darat (AD) dan TNI-Angkatan Udara (AU) pun digerakkan ke Palu, melalui jalur udara, darat, maupun laut. Prajurit Yonif 714 Raksatama Gorontalo dan Yonif 711-Suntuwu Maroso dari Poso pun dapat cepat merapat.
Pada hari H+2, 850 personel TNI sudah tiba di Palu. Mereka semua bagian dari misi khas TNI yakni Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Kekuatan TNI ini didatangkan untuk membantu aksi Tanggap Darurat Bencana yang digelar BNPB. Sebagaimana dimaksud UU 24/2007, tanggap darurat bencana itu ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadi bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
Kegiatannya meliputi penyelematan dan evakuasi korban, menjaga harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, mengurus pengungsi, serta pemulihan sarana publik.
Sampai H+4, sekitar 3.200 prajurit TNI sudah mendarat di Palu, Donggala dan Sigi, wilayah yang terluka karena gempa. Mereka menjalankan tugas lapangan membantu tim besar BNPB yang melibatkan pula petugas SAR, kesehatan, POLRI, pekerjaan umum, PLN, Telkom, dan sebagainya.
TNI mengerahkan pesawat terbang angkut, helikopter, kapal-kapal pengangkut personel, truk, alat berat dan perkakas lainnya. Di beberapa lokasi muncul scene yang epik, prajurit TNI itu merelakan lauk-pauk mereka untuk warga yang dianggap lebih memerlukan. Mereka makan siang hanya nasi berlauk mie instan.
Pada H+20 saat petugas lain sudah meninggalkan Palu-Donggala-Sigi, sekitar 2.500 prajurit TNI masih di lokasi. Mereka membantu proses awal rekonstruksi dan rehabilitasi (rekon dan rehab) di kawasan yang porak peranda itu.
Penanganan bencana itu menjadi salah satu tugas TNI, bagian dari military operation other than war alias operasi militer selain perang (OMSP). Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI, mengatakan bahwa OMSP itu, antara lain, menyangkut tugas (1) mengatasi gerakan separatisme bersenjata; (2) mengatasi pemberontakan bersenjata; (3) mengatasi aksi terorisme; (4) mengamankan perbatasan; (5) mengamankan objek vital strategis; (6) membantu POLRI dalam tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; (7) membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; (13) membantu tugas (search and rescue); dan seterusnya.
Khusus untuk situasi bencana, UU 24/007 menyatakan, BNPB bisa mengerahkan instansi lain termasuk TNI. Lebih jauh, Peraturan Pemerintah (PP) 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pun menyebutkan pelibatan TNI. Meski segala peraturan itu tidak secara jelas dan rinci menyebut urusan pembiayaannya, itu tidak menghalangi gerak cepat TNI.
Begitu ada perintah, prajurit TNI langsung bergerak. Tak heran bila sosok Prajurit TNI selalu hadir di lokasi bencana. Baik bencana alam maupun bencana nonalam seperti pada kecelakaan pesawat terbang atau kapal laut.
Ketika Sumatra Barat diterjang gempa bermagnitudo 7,6 pada skala Richter, 30 September 2009, menjelang petang, TNI menjadi komponen bantuan yang paling cepat tiba di lokasi, terutama ke tempat yang paling parah kerusakannya, yakni Kota Padang, Pariaman, dan sekitarnya. Jumlahnya mencapai sedikitnya 2.600 prajurit.
Ada jugaratusan personel lainnya yang diterjunkan ke Bukittinggi, Padangpanjang, Solok, Agam, dan beberapa tempat lainnya. Sebagian dari 1.214 korban tewas dievakuasi oleh tentara. Tak sedikit korban cidera dirawat di rumah sakit tenda yang dioperasikan satuan kesehatan TNI.
Begitu halnya ketika Sesar Flores berulah dan menimbulkan gempa bermagnitudo 7,0 skala Richter yang mengguncang Lombok dan Sumbawa Barat, 5 Agustus lalu. Ratusan desa rusak berat, dan mengakibatkan 555 orang tewas. Sekitar 2,600 prajurit TNI diterjunkan ke lokasi bencana untuk membantu warga.
Belum sempat kembali ke rumah, sebanyak 200 prajurit yang masih bertugas di Lombok itu, menerima penugasan baru untuk bergeser ke Palu-Donggala. Dengan dua kapal cepat mereka berlayar ke lokasi penugasan yang baru.
Pelibatan TNI ini pun terlihat ketika terjadi musibah Pesawat Airbus A-320 - QZ8501 AirAsia yang jatuh di Selat Karimata, 28 Desember 2014 pagi, yang menewaskan 7 kru dan 155 penumpang. Bersama Tim BNPB dan SAR, pasukan TNI berhasil menemukan reruntuhan badan pesawat beserta kotak hitamnya. Sebelumnya, Mei 2012, satuan TNI juga berperan dalam operasi pencarian korban musibah pesawat Sukhoi Superjet-100 yang menabrak tebing Gunung Salak di Bogor.
Bencana memerlukan penanganan segera. Kehadiran satuan TNI selalu diperlukan, karena mereka terorganisir baik di bawah satu komando, memiliki alat transportasi sendiri, dapat bergerak cepat, disiplin, dan terlatih bekerja di medan yang sulit.
.