Indonesia.go.id - Barongko Si Manis Lembut dari Bugis

Barongko Si Manis Lembut dari Bugis

  • Administrator
  • Rabu, 31 Juli 2019 | 03:52 WIB
KULINER
  Barongko kuliner khas Bugis. Foto: Pesona Indonesia

Suku Bugis terkenal sebagai pelaut yang ulung. Pena sejarah telah mencatat ketangguhan pelaut Bugis menaklukan samudera. Bahkan sebelum penunggang unta datang ke Australia, nelayan Bugis sudah menginjakan kaki di benua itu.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero, yang masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Yunan. Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat Bugis pun kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan sendiri. Beberapa kerajaan Bugis kuno antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng, dan Rappang.

Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra sangat dikenal. Wilayah jelajah mereka pun sangat luas, mulai dari Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar, hingga Afrika Selatan. Buktinya, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan, terdapat sebuah suburb yang bernama Maccasar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.

Tidak hanya darah pelaut yang diwariskan, pola makan mereka juga khas. Seperti halnya suku lain di Indonesia, masyarakat Bugis juga memiliki makanan dan minuman tradisional yang terus terpelihara hingga kini. Ada banyak makanan dan minuman tradisional yang dimiliki orang Bugis. Selain konro dan coto makassar, Suku Bugis juga memiliki peganan yang khas yaitu barongko pisang.

Pada zaman dahulu barongko pisang tergolong makanan mewah dan hanya khusus disajikan bagi kaum bangsawan dari kerajaan-kerajaan Bugis. Umumnya raja-raja Bugis menikmati panganan yang berbahan pokok pisang ini sebagai makanan penutup. Kudapan ini hanya disajikan pada saat tertentu, seperti pernikahan dan upacara adat.

Barongko berwarna putih kekuningan, berbentuk segitiga dan dikemas secara tradisional dengan menggunakan daun pisang. Seperti bahan dasar sebagain besar kuliner lain di Sulawesi Selatan, bahan utama kue Barongko adalah pisang. Umumnya, pisang yang digunakan adalah jenis pisang kepok yang oleh masyarakat Bugis dikenal sebagai uttti loppo yang berarti pisang besar.

Pisang besar inilah yang kemudian dihaluskan lalu dicampur dengan bahan lainnya antara lain gula pasir, telur, santan kental, vanili, garam dan lainnnya. Setelah itu dibungkus dengan menggunakan daun pisang dengan pola segitiga tiga dimensi dan disemat dengan lidi, lalu dikukus. Setelah masak, ditunggu dulu beberapa saat barulah kue ini disajikan dalam keadaan dingin.

Meski terkesan sederhana dan mudah, namun kue ini jarang ditemui. Barongko baru muncul di acara-acara istimewa seperti sunatan, akikah, mappanre temme, atau pesta pernikahan. Pasalnya, di daerah asalnya pembuatan barongko tidak dilakukan dengan sembarangan. Barongko harus dibuat oleh orang yang sudah berpengalaman,  agar rasa asli barongko tetap terjaga.

Di luar acara-acara istimewa tadi, ada satu momen dimana barongko selalu tersaji di rumah-rumah orang Bugis, yaitu saat bulan Ramadan tiba. Selain rasanya yang manis, lembut dan dingin, barongko juga dianggap aman untuk pencernaan dan menambah stamina. Karenanya tepat bila disajikan sebagai makanan pembuka setelah menjalankan puasa Ramadan sehari penuh. Rasa yang manis, teksturnya yang lembut dan juicy membuat siapapun yang mencicipi kue ini sulit untuk beranjak dan melupakan begitu saja cita rasa kelezatan yang khas dari barongko.

Selain itu, meskipun terlihat sederhana dan mudah cara membuatnya, namun kue barongko mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Menurut sebagian besar masyarakat Bugis, barongko pisang tidak hanya dikerjakan dengan tangan-tangan terampil dan berpengalaman tetapi juga dibuat dengan hati. Hal ini sejalan dengan nilai filosofi tinggi yang terkandung di dalamnya.

Sebagian besar masyarakat Bugis menyebut barongko sebagai kue kejujuran. Bahan utama yang terbuat dari pisang dan kemudian dibungkus kembali dengan tanaman yang sama dengan bahan dasarnya (daung pisang) merepresentasikan kejujuran.

Maknanya,  bahwa haruslah sama apa yang terlihat di luar dengan apa yang tersimpan di dalam diri kita. Hal ini tentunya mengajarkan kita bahwa apa yang diucapkan harus sama dengan apa yang dilakukan, dan apa dikerjakan harus sama dengan apa yang dirasakan. Makna lainnya adalah apa yang terpikirkan dan yang dirasakan haruslah selaras dengan tindakan yang dilakukan.

Karena nilai budayanya inilah maka kue tradisional barongko ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2017 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, jika suatu saat anda merasa dikhianati atau merasa nilai kejujuran semakin memudar, ingat masih ada barongko "Si Manis-Lembut" khas Pinisi yang hingga sekarang masih tetap dipertahankan eksistensi rasa dan nilai filosofisnya. (K-SB)