Indonesia.go.id - Candi Prambanan dan Teologi Inklusif

Candi Prambanan dan Teologi Inklusif

  • Administrator
  • Rabu, 1 Mei 2019 | 17:00 WIB
PUSAKA DUNIA
  Candi Prambanan. Sumber foto: Dok Prambanan

Jika selama ini, Borobudur dianggap didirikan oleh Wangsa Syailendra dan Prambanan oleh Wangsa Sanjaya, maka mengikuti tafsiran Boechari, kedua bangunan monumental tersebut sangat mungkin sebenarnya didirikan oleh satu wangsa yang sama.

Dua bangunan monumental kelas dunia tertoreh kuat di Jawa Tengah-Indonesia. Mahsyur dan mendunia dengan nama Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Oleh UNESCO, kedua bangunan bersejarah itu telah ditetapkan sebagai situs pusaka warisan dunia.

Dikatakan monumental, selain karena ukurannya besar, juga karena bangunan itu dibangun dengan memenuhi kaidah seni arsitektural bercitra rasa tinggi. Konstruksi rancang bangun keduanya pun secara teknis jelas memprasyaratkan penguasaan teknologi yang tak sederhana.

Terlebih sekiranya dilakukan observasi detail atas ornamentasi keduanya. Maka segera terlihat, para seniman saat itu telah menguasai kaidah kesenian agama berikut ekspresi simboliknya. Tingginya seni pahat juga terlihat pada arca-arcanya, yang memperlihatkan penguasaan para seniman pada gaya ekspresi realis-naturalisme yang matang.

Bersama Candi Borobudur, kompleks percandian Hindu terbesar di Indonesia ini merupakan puncak kesenian Jawa yang bercorak Hindu-Buddhis. Agaknya, kedua bangunan itu menjadi saksi peninggalan keagungan sejarah zaman Hindu-Budha di Jawa Tengah. Oleh para peneliti Belanda, era Jawa Tengah ini lazim disebut sebagai periode ‘Jawa-Klasik.’ Periodesasinya kira-kira antara tahun 775-900 M.

Jika lokasi Borobudur berjarak sekira 40 km dari pusat Kota Yogyakarta ke arah utara barat laut, maka Prambanan hanya berjarak kurang-lebih 16 km ke arah timur laut. Sementara itu, jarak kedua candi juga hanya terpaut 50 km.

Tulisan ini bermaksud mendedah seputar topik Candi Prambanan—atau juga lazim disebut Candi Loro Jonggrang. Yang membuat situs ini menarik ialah kompleks Candi Prambanan dikelilingi sejumlah bangunan candi Budha. Candi Lumbung, Bubrah, dan Sewu yang berada di sebelah utara, di sebelah timur terdapat Candi Plaosan, di sebelah tenggara ialah Candi Sojiwan, serta Candi Kalasan dan Candi Sari di sebelah barat.

Candi Prambanan sendiri bersama dengan Candi Sewu, Candi Bubrah, dan Candi Lumbung, membentuk saujana Taman Arkeologi Prambanan. Candi Sewu, penting diberi catatan, ialah candi Budha terbesar kedua setelah Candi Borobudur. Jarak antarlokasi candi-candi itu tak lebih dari 2,5 km.

Sedangkan Candi Sojiwan berjarak tak lebih dari 2 km; Candi Plaosan berjarak kurang lebih 2,5 km; Candi Sari maupun Kalasan terpaut jarak tak lebih dari 5 km.

Menariknya, bergerak sejauh 5,5 km ke selatan dari Candi Loro Jonggarang juga ditemui situs tua yang terkenal. Disebut Kraton Ratu Boko. Terletak di bukit setinggi ± 195.97 m di atas laut, diyakini bangunan ini jadi kraton atau pesanggrahan atau mungkin juga pertapaan dari Wangsa Syailendra, pembangun monumen Borobudur.

Sekalipun bukan candi besar sebagaimana Borobudur, bagaimanapun candi-candi Budha itu juga merupakan produk dari masa di era Jawa-Klasik. Artinya, bicara periodesasi sejarah dan bentang waktu pembangunan candi-candi Budha itu, bisa dipastikan satu dan lainnya nisbi saling berdekatan atau bahkan saling berkorelasi dengan pembangunan candi-candi Hindu pada umumnya.

Sementara itu, menyaksikan jarak antarlokasi candi-candi itu yang berdekatan tentu membawa imajinasi tersendiri bahwa Nusantara ialah masyarakat harmoni.

Tentu juga tak berlebihan jika jarak antarrumah ibadah yang saling berdekatan ini membawa pada imajinasi tentang mekarnya nilai-nilai inklusivisme dan toleransi sebagai model arus utama keagamaan masyarakat di Nusantara saat itu.

Adanya sikap inklusif dan toleran di Nusantara memang bukan tak mungkin telah tersemai jauh hari. Bahkan, bisa jadi jauh sebelum ditulisnya puisi Jawa Kuno karya Mpu Tantular di abad ke-14. Sohor disebut Kakawin Sutomoso di dalamnya termaktub frasa “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Kini sebagian frasa itu diadopsi oleh Indonesia modern sebagai tagline dasar negara, Pancasila.

Seperti diketahui, Kakawin Sutosomo juga Kakawin Arjunawiwaha disebut-sebut banyak sejarawan sebagai potret keberhasilan proyek pembauran Hindu-Siwa dan Budha-Mahayana di masa lalu. Adalah di zaman Kerajaan Majapahit, hasil pembauran kedua agama ini telah menciptakan teologi inklusif sebagai model utamanya. Dikenal dengan nama “Siwa-Budha,” yang darinya melahirkan sebuah tatanan masyarakat yang harmoni, inklusif, dan juga toleran.

Satu Wangsa dan Pluralisme Keagamaan

Bicara sejarah pasti perihal waktu didirikannya Candi Loro Jonggrang sebenarnya masih menyimpan kekaburan. Sejauh ini, Prasasti Sivagrha dianggap sebagai referensi utama. Ditemukan di Medang, Jawa Tengah, dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D. 28.

Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi. Berisi tentang pendirian kuil bagi Dewa Siwa dan disebut sebagai Sivagrha. Rumah Siwa. Selain itu, prasasti ini juga berisi tentang pelebaran sungai dekat Candi Sivag?ha, yang diduga ialah Sungai Opak sekarang.

De Casparis secara meyakinkan menyimpulkan, uraian tentang pembangunan kuil yang tertera dalam prasasti itu merujuk pada kompleks percandian Loro Jonggrang. Identifikasi ini kini telah diterima secara umum. Merujuk Anissa (2012), prasasti ini menggunakan kronogram dalam bahasa Jawa Kuno, yang jika dibaca secara penanggalan masehi didapati tanggal 12 November tahun 856.

Hanya saja, sayangnya bicara tujuan politis dari pembangunan monumental candi ini, tafsiran arus utama oleh para sejarawan selama ini sering dikerucutkan pada “teori saingan.” Bahwa, candi terbesar Hindu itu sengaja didirikan oleh Wangsa Sanjaya sebagai tandingan atas kebesaran Candi Borobodur buatan Wangsa Syailendra.

Ya, pembangunan komplek percandian Hindu terbesar ini ditafsirkan sebagai menandai kembali berkuasanya Wangsa Sanjaya di Tanah Jawa. Sekaligus juga menandai Hinduisme aliran Siwais kembali mendapat dukungan politik, setelah sebelumnya Wangsa Sailendra cenderung mendukung Budha.

Ini juga berarti Kerajaan Medang atau Mataram Kuno, sejalan dengan proyek pembangunan kompleks Candi Loro Jonggrang, kembali tercatat sejarah telah beralih dukungan politik keagamaanya dari Buddha ke Hindu.

Tapi, tentu tak semua sejarawan atau antropolog tiba pada kesimpulan demikian. Sebutlah, misalnya WF Stutterheim, ahli purbakala Belanda. Setelah mengupas panjang lebar perihal relief Ramayana di bangunan ini, dia menyimpulkan Candi Loro Jonggrang sebagai sebuah candi yang murni berkarakteristik Jawa Tengah.

Menurutnya, bangunan ini didirikan seturut rancangan dan pelaksanaan teknisnya dalam tradisi Syailendra. Stutterheim yakin, ada relasi kuat antara Prambanan dan Borobudur serta bangunan-bangunan Buddhis lainnya. Ia bahkan menduga ada keterlibatan langsung Wangsa Sailendra dalam pembangunan candi-candi besar di Jawa Tengah.

Hanya saja pada poin ini, patut digarisbawahi. Pasalnya kesimpulan Stutterheim ternyata masih membawa bias dari tafsiran sejarah arus kuat saat itu. Dia beranggapan Wangsa Sailendra ialah orang asing. Berasal dari India, mereka menetap di Sumatra Selatan dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya.

Lebih jauh, menurut teori ini dari sanalah Wangsa Sailendra lantas memperluas kekuasaannya dan menaklukkan Jawa Tengah sebagai wilayah perwalian. Bukan hanya Stutterheim, kesimpulan ini juga diyakini oleh JG de Casparis, seorang filolog dari Belanda. Atau juga FDK Bosch, seorang profesor Belanda ahli Indologi. Ya, mereka ialah nama-nama besar perihal kajian sejarah peradaban Nusantara.

Tafsiran lain, Wangsa Syailendra berasal dari Tanah Jawa tentu juga muncul. Sebutlah nama Poerbatjaraka, misalnya. Menurut salah satu doktor pertama dari Indonesia lulusan negeri Belanda ini, Wangsa Syailendra berasal dari Jawa Tengah, sekalipun lokasi tepatnya belum dapat ditentukan.

Pendapat Poerbatjaraka ini didukung oleh Boechari, yang berhasil memberikan bukti sejarah baru. Seperti diketahui, pada 1964 ditemukan Prasasti Sojomerto di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, beraksara Palawa muda, prasasti ini diduga berasal dari abad ke-7 M.

Isinya menceritakan, bahwa Dapunta Selendra mempunyai ayah bernama Santanu dan ibu bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Dari data prasasti Sojomerto ini, Boechari memperkuat pendapat Poerbatjaraka: Wangsa Syailendra sejatinya berasal dari Jawa Tengah atau Nusantara.

Sebuah batu prasasti lainnya, yaitu Prasasti Sangkhara, koleksi Adam Malik, menguatkan hipotesa ini. Isi prasasti ini, seturut Boechari, menceritakan seorang raja bernama Sangkhara memiliki ayah yang sedang sakit keras. Namun entah mengapa guru sang raja tidak mau menolongnya, sehingga sang ayah kemudian meninggal. Karena kecewa dan sekaligus takut pada gurunya itu, Raja Sangkhara kemudian salin agama dan memeluk Budha.

Menurut Boechari, ayah Sangkhara adalah Raja Sanjaya, sedangkan Sangkhara sendiri adalah Rakai Panangkaran. Raja Sangkhara memindahkan pusat kerajaannya ke timur. Letak ibu kotanya yang baru, kemungkinan di sekitar Sragen, di sebelah timur Bengawan Solo atau di daerah Purwodadi, Grobogan.

Jadi, menurut Boechari, keturunan Wangsa Syailendra yang semula memeluk Hindu kemudian pindah Budha semenjak Raja Sangkara. Raja Sangkara ini diduga kuat ialah Rakai Panangkaran. Dan seperti kemudian dapat disimak, pengganti Rakai Panangkaran yaitu Rakai Pikatan, kemudian berbalik lagi ke memeluk Hindu.

Artinya, jika sementara ini, Borobudur dianggap didirikan Wangsa Syailendra dan Prambanan oleh Wangsa Sanjaya, maka mengikuti tafsiran Boechari, kedua bangunan monumental tersebut sebenarnya dididirikan oleh satu wangsa saja.

Tak aneh, jika menyimak secara dekat bentuk puncak tertinggi Candi Loro Jonggrang, khususnya pada candi induk, tampak jelas model desainnya masih mengadopsi model stupa candi-candi Budha. Pun jika menyimak desain arsitektural Candi Sewu juga Sojiwan yang merupakan bangunan Budha, juga tampak jelas memiliki kemiripan desain dengan Candi Loro Jonggrang.

Tak kecuali bangunan Ratu Boko. Sekalipun bangunan ini sudah pasti dinisbatkan sebagai tinggalan sejarah Wangsa Syailendra, di sana juga ditemukan artefak lingga-yoni yang merupakan simbolisasi Dewa Siwa.

Menarik dicatat di sini perihal pernikahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardani, putri Maharaja Samaratungga. Di mana dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1973), R Soekmono menyebutkan, Pramodhawardhani ialah putri dari Wangsa Syailendra yang memeluk Budha, sedangkan Rakai Pikatan ialah pangeran dari Wangsa Sanjaya yang memeluk Hindu.

Benar, bahwa tafsiran Soekmono tersebut masih mengasumsikan adanya dua wangsa. Tafsiran sejarah ini tentu saja belum tentu benar, mengingat bukan mustahil keberadaan dua wangsa ini, sangat mungkin memiliki kemiripan kasus dengan keberadaan keluarga Kasunanan di Surakarta di satu sisi dan keluarga Kasultanan di Yogyakarta di sisi lain. Kedua wangsa ini sebenarnya berasal dari satu keluarga (clan), namun kemudian terpecah menjadi dua keluarga pasca-Giyanti.

Juga menarik dicatat, buah cinta pernikahan beda agama ini. Anak bungsu Rakai Pikatan dan Pramodhawardani, Rakai Kayuwangi, menurut catatan Denys Lombard ialah raja terbesar saat itu. Dan di tangannyalah, kedua agama yaitu Hindu dan Budha secara embrional disatukan dalam satu teologi inklusif, yang nantinya terkristalisasi dan populer disebut sebagai Siwa-Budha di era kerajaan-kerajaan Jawa Timur.

Dari pembacaan sejarah di atas, kini mejadi mudah dipahami mengapa jarak lokasi antar bangunan-bangunan keagamaan baik Hindu maupun Budha di Jawa Tengah, khususnya di sekitar kawasan Candi Prambanan, relatif dibangun saling berdekatan. Ya, patut diduga kuat, memang kehidupan keagamaan Nusantara saat itu sudah bersifat harmonis, inklusif, dan penuh toleransi.

Pada titik ini ialah sebuah kebenaran, tentu saja, sekiranya Candi Prambanan pun bisa disematkan predikat sebagai monumen harmoni dari periodesasi di era Jawa-Klasik. (W-1)

Berita Populer