Indonesia.go.id - Perdagangan Karbon, Instrumen Baru Pembangunan

Perdagangan Karbon, Instrumen Baru Pembangunan

  • Administrator
  • Minggu, 14 November 2021 | 09:17 WIB
EKONOMI HIJAU
  Presiden Joko Widodo menjadi pembicara pada sesi World Leaders Summit on Forest and Land Use di Scotish Event Campus di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya, Selasa 2 November 2021. ANTARA FOTO/Setpres
Pemerintah baru saja menerbitkan aturan tentang pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap isu perubahan iklim.

Pemerintah baru saja menerbitkan aturan tentang pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Nationally Determined Contributions (NDC) terkait isu perubahan iklim, baik dalam bentuk penguatan program maupun strategi.

Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021, sebelum berangkat ke Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) di Glasgow awal November lalu. Skema pasar karbon tersebut dapat menjadi insentif untuk pencapaian target NDC.

NDC sendiri berisi komitmen Indonesia terhadap agenda pengurangan emisi karbon, baik dengan upaya sendiri yang bisa mencapai 29 persen atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Menjadi pertanyaan menarik adalah apa manfaat dari sisi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) bagi Indonesia? Bila ditelisik lebih jauh, Perpres NEK itu di dalamnya mengatur soal pasar karbon.

Bagi Indonesia, dengan adanya regulasi itu memungkinkan negara ini  untuk menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim.

Berkaitan dengan skema itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat berjalan melalui komando dan kendali serta pendekatan berbasis pasar (market-based instruments/MBI).

Menurutnya, regulasi berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan NEK atau carbon pricing. Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting, yakni perdagangan karbon dan instrumen nonperdagangan.

Instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, sedangkan instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP).

"Pemerintah sangat memahami bahwa untuk mencapai target NDC diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan. Penetapan Perpres NEK ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060," ujar Febrio pada Selasa (2/11/2021).

Pendapat yang sama juga diungkapkan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi dalam siaran persnya, belum lama ini.

 

Dorong Investasi Hijau

Menurutnya, melalui Perpres nomor 98 tahun 2021 diharapkan bisa menggerakkan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dalam Perpres NEK itu, ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur, yaitu perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), dan pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.

Laksmi mengatakan, skema carbon pricing dapat menjadi insentif untuk pencapaian target NDC untuk pengendalian perubahan iklim.

Carbon pricing diharapkan mendukung instrumen lain yang juga dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan," kata Laksmi dalam keterangan KLHK.

Perpres No 98 Tahun 2021 ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Apabila perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia.

Harapannya, dunia internasional pun mau mewujudkan penetapan harga karbon yang adil bagi negara-negara pemilik cadangan karbon. Indonesia sendiri berencana menerapkannya pada 1 April 2022.

Persoalan, penetapan harga pajak karbon Indonesia sebesar Rp30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dinilai terlalu murah.  Terlepas dari semua itu, bisa jadi ini semua masih sebuah awal yang kemudian nantinya bisa disesuaikan sesuai dengan pasarnya.

Laporan terbaru Bank Dunia mengungkapkan, penggalangan dana yang bisa dihasilkan dari perdagangan karbon itu bisa mencapai USD53 miliar pada 2020, sehingga dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk investasi hijau.

Benar, perdagangan karbon hanyalah instrumen untuk pencapaian NDC. Namun untuk mencapai tujuan itu semua, Indonesia tidak bisa melakukannya sendirian. Butuh kerja sama untuk mencapainya. Carbon pricing perlu didukung dengan kebijakan yang kuat, akuntabel, dan transparan.



Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari