Indonesia.go.id - Menjaga Jaminan Masa Tua Pekerja

Menjaga Jaminan Masa Tua Pekerja

  • Administrator
  • Sabtu, 26 Februari 2022 | 19:02 WIB
JAMINAN HARI TUA
  Nasabah melakukan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta. Proses pencairannya dibuat memudahkan pekerja. Antara Foto/ Asprillia Dwi Adha
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan ketika Permenaker 19/2015 diberlakukan, saat itu belum terdapat skema jaminan sosial bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Sedangkan saat ini sudah ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Jaminan Hari Tua (JHT) jadi trending topic media sosial beberapa minggu terakhir. Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan jadi sorotan publik, khususnya dari kelompok pekerja.

Mereka memprotes keluarnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT, terutama pada adanya batas usia untuk mendapatkan manfaat secara penuh.

Berbeda dengan aturan sebelumnya, dalam Pasal 3 di Permenaker 2/2022 itu kini membatasi manfaat JHT dapat diterima secara penuh kepada peserta program ketika mencapai usia 56 tahun.

Dalam aturan sebelumnya, Permenaker nomor 19 tahun 2015, Pasal 3 Ayat 2 menyatakan, manfaat JHT bagi peserta mencapai usia pensiun, termasuk juga peserta yang berhenti bekerja, di dalamnya mencakup yang mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja dan meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Tidak disebutkan di situ, ihwal batas usia pengambilan. Beleid itu dibuat karena pemerintah ketika itu memahami kondisi pekerja yang kesulitan sewaktu kehilangan pekerjaan.

Tak pelak gelombang protes muncul dari kelompok pekerja dan buruh. Mereka menilai pemerintah selayaknya tidak menahan JHT sampai usia pensiun 56 tahun. Dana kelolaan itu milik pekerja.

Dialog pun terjadi antara Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah dengan perwakilan organisasi dan serikat buruh. Hadir wakil dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin (FSP LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Perbincangan tersebut berlangsung di kantor Kemenaker pada Rabu (16/2/2022) dan Kamis (17/2/2022). Dalam dialog tersebut, Menaker menjelaskan, ketika Permenaker 19/2015 diberlakukan, saat itu belum terdapat skema jaminan sosial bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Sedangkan saat ini sudah ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Dengan keberadaan JKP tersebut, kata Menaker Ida, maka JHT dapat dikembalikan kepada perannya semula sebagai jaminan sosial di hari tua. Program JHT yang diberikan di usia pensiun sudah sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) nomor 40 tahun 2004. Pelindungan tersebut belum pernah ada sebelumnya dan akan memberikan bantuan tunai, akses pasar kerja, dan pelatihan.

Program JKP sendiri sudah berjalan dengan dibayarkannya modal awal APBN dan iuran dari pemerintah masing-masing sebesar Rp6 triliun dan Rp823 miliar. Program ini menjadi bantalan pekerja yang kehilangan pekerjaan setidaknya mereka menerima bantuan tunai selama 6 bulan sebesar 45 persen sampai 25 persen dari gaji Rp5 juta. Tanpa mengurangi sedikit pun dana JHT.

Peserta BPJS-TK yang sudah 10 tahun mengiur juga masih dapat memanfaatkan JHT untuk 30 persen biaya uang muka perumahan atau 10 persen untuk biaya kebutuhan lainnya. 

Revisi Aturan JHT

Pemerintah pun mendengar suara pekerja. Selang beberapa hari kemudian, Presiden Joko Widodo pun meminta Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menaker Ida Fauziyah agar merevisi aturan pelaksana program JHT. Kepala Negara memberikan arahan agar pencairan JHT dibuat sederhana dan tidak menyulitkan pekerja yang mengalami PHK.

"Tadi saya bersama Pak Menko Perekonomian telah menghadap Bapak Presiden. Menanggapi laporan kami, Bapak Presiden memberikan arahan agar regulasi terkait JHT ini lebih disederhanakan," kata Menaker Ida, Senin (21/2/2022).

Menaker Ida menambahkan, dalam arahannya, Presiden Jokowi juga berharap dengan adanya tata cara klaim JHT yang lebih sederhana, maka dapat mendukung terciptanya iklim ketenagakerjaan yang kondusif. "Bapak Presiden juga meminta kita semua, baik pemerintah, pengusaha, maupun teman-teman pekerja/buruh untuk bersama-sama mewujudkan iklim ketenagakerjaan yang kondusif, sehingga dapat mendorong daya saing nasional," tukas Menaker.

Pemerintah menegaskan iuran pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan dijamin oleh APBN dan pengembangannya dialokasikan di instrumen investasi yang aman. Para pekerja pun bisa mengecek sendiri hasil pengembangan iuran mereka melalui aplikasi telepon genggam maupun laman BPJS-TK.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo memastikan dana program JHT aman seiring terbitnya Peraturan Permenaker nomor 2 tahun 2022. Anggoro memaparkan, pada tahun 2021 total dana program JHT tercatat sebesar Rp372,5 triliun.

Adapun hasil investasi JHT tahun lalu mencapai Rp24 triliun. Setoran iuran JHT sebesar Rp51 triliun. Sedangkan pembayaran klaim JHT sebesar Rp37 triliun. Sebagian besar dana pembayaran klaim itu ditutup dari hasil investasi.

Dari total penghimpunan dana JHT tersebut ditempatkan pada beberapa instrumen investasi, yaitu obligasi, deposito, saham, dan properti. Sebesar 65 persen dana tersebut BP Jamsostek diinvestasikan ke instrumen obligasi dan surat berharga, di mana 92 persennya merupakan surat utang negara (SUN).

Kemudian, 15 persen diinvestasikan ke instrumen deposito, yang mana lebih dari 97 persen ada di Bank Himbara dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sebesar 12,5 persen dialokasikan ke instrumen saham.

BPJS-TK memilih saham-saham blue chips (saham berkinerja baik) yang termasuk di dalam indeks Q45. Berikutnya tujuh persen dialokasikan di reksadana, dan yang terakhir setengah persen dimanfaatkan untuk instrumen investasi properti dan penyertaan langsung.

Portofolio investasi yang beragam untuk memastikan dana BPJS-TK aman dan likuid. Satu hal, polemik JHT juga memunculkan fakta lain. Menurut pakar keuangan Safir Senduk, harus diakui sejauh ini literasi keuangan masyarakat masih rendah.

Meski berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK pada 2019, indeks inklusi keuangan Indonesia sudah mencapai 76,19 persen, tidak diikuti dengan tingkat pemahaman produk keuangan yang memadai. Survei mencatat indeks literasi keuangan Indonesia baru mencapai 38,03 persen.

Dari survei itu, kalangan dewasa di Indonesia rendah kesadarannya dalam menabung atau investasi untuk masa depan. OJK mengungkapkan, orang dewasa Indonesia yang mengikuti program pensiun hanya sekitar 6 persen. Angka ini relatif sangat rendah, padahal semua orang perlu menyiapkan hari tua agar tidak menjadi beban bagi ahli waris di kemudian hari.

Dalam hal tersebut, dengan sistem jaminan sosial, pemerintah berupaya menjaga sebaik-baiknya simpanan pekerja, bahkan mengembangkannya, termasuk memberikan jaminan hari tua bagi pekerja dan keluarganya.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari