Pertumbuhan ekonomi yang kuat di 2021 memberikan sinyal positif prospek ekonomi pada 2022 dan meningkatkan keyakinan pelaku pasar terhadap pemulihan ekonomi Indonesia.
Harapan pemulihan ekonomi yang sedianya bisa digenjot di kuartal pertama tahun ini masih terhadang gelombang baru kasus Covid-19 akibat penyebaran varian Omicron. Kasus harian varian itu masih mendominasi, terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan India.
Menjadi tantangan bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia untuk terus menavigasi dan mengelola pemulihan ekonomi. Kabar baiknya, dari kasus wabah pandemi Covid-19, terutama penyebaran varian Omicron adalah penambahan kasus harian secara global terus menurun. Hal yang sama terlihat dari data kasus kematian harian yang mulai meninggalkan puncaknya.
“Varian Omicron merupakan tantangan bagi seluruh negara-negara di dunia dalam terus menavigasi dan mengelola pemulihan ekonomi. Saat ini, secara global kasus harian memang mengalami penurunan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat konferensi pers APBN edisi Februari 2022, pada Selasa (22/2/2022).
Di Indonesia, kasus harian juga naik meskipun angka kematian relatif rendah. Di pelbagai negara sudah fokus dengan program booster. Di Indonesia, sebanyak 51,5 persen populasi sudah mendapatkan dua dosis vaksin dan 3 persen sudah mendapatkan booster per 18 Februari 2022.
Di tengah masih berlangsungnya pandemi di sejumlah belahan dunia, perekonomian di beberapa negara, termasuk Indonesia telah kembali ke level prapandemi pada 2021 meskipun tak dipungkiri ada beberapa negara yang masih kesulitan mengembalikan kapasitas ekonominya.
Di sisi lain, aktivitas manufaktur global sudah menunjukkan arah pemulihan dengan PMI global pada Januari 2022, pada angka 53,2, Angka di atas 50 menunjukkan aktivitas mereka sudah menuju ekspansif. Namun, tren kenaikan harga komoditas juga diikuti dengan kenaikan inflasi di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa.
Inflasi Indonesia masih terjaga meski rambatan tren global melalui inflasi negara produsen harus diwaspadai. Selain itu, potensi kenaikan suku bunga acuan dan pengetatan moneter semakin menguat, khususnya di negara maju.
Pada kesempatan itu, Sri Mulyani juga memberikan gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal IV-2021 mencapai 5,02 persen, atau secara keseluruhan pada 2021 mencapai 3,69 persen.
Pertumbuhan yang kuat di 2021 memberikan sinyal positif prospek ekonomi di 2022 dan meningkatkan keyakinan pelaku pasar terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Menurut Menkeu, hal ini juga tecermin dari peringkat kredit Indonesia yang dipertahankan Moody’s pada level Baa2 (stable).
Proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2022 berada pada kisaran 4,5--5,2 persen (yoy) dan untuk tahunan diproyeksikan tumbuh pada kisaran 4,8--5,5 persen (yoy). Berbagai indikasi positif memberikan optimisme bagi pelaku ekonomi dan berdampak baik bagi kinerja APBN di awal 2022. Kinerja positif APBN diharapkan terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya, walaupun di sisi penerimaan diperkirakan tidak sekuat pada Januari.
Indikator itu bisa terlihat dari aktivitas perekonomian yang masih kuat pada Januari, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Indeks PMI Indonesia tercatat 53,7 meningkat dibanding Desember 2021 (53,5) dan tetap melanjutkan tren ekspansif dalam lima bulan terakhir.
Hal ini sejalan dengan peningkatan permintaan dalam negeri dan ekspor. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Januari 2022 tercatat sebesar 119,6 lebih tinggi dari 118,3 pada Desember 2021. “Angka ini berada di atas level optimis dan turut mendorong aktivitas ekonomi,” ujarnya.
Namun peningkatan konsumsi diperkirakan tertahan di Februari seiring kenaikan kasus varian Omicron dan penurunan mobilitas masyarakat. Pada kesempatan itu, Menkeu Sri Mulyani juga mengabarkan, neraca pembayaran keseluruhan pada 2021 mencatatkan surplus USD13,5 miliar, lebih tinggi dari 2020 (USD2,6 miliar).
Neraca Perdagangan
Begitu juga dengan neraca perdagangan konsisten surplus 21 bulan berturut-turut, meskipun nominalnya lebih rendah. Ekspor dan impor tumbuh positif, namun tidak sekuat bulan sebelumnya.
Kinerja ekspor Januari mencapai USD19,2 miliar (Desember 2021: USD22,4 miliar), antara lain, karena larangan ekspor batu bara. Sementara impor Januari USD18,2 miliar (Desember 2021: USD21,4 miliar) karena penurunan volume impor seiring pola bulanan.
Meskipun mobilitas masyarakat relatif menurun pada periode Januari, seiring dengan peningkatan kasus varian Omicron, kinerja APBN melalui realisasi belanja negara sampai dengan akhir Januari 2022 tercatat sudah mencapai Rp127,2 triliun atau 4,7 persen target APBN.
“Yang jelas, belanja negara diupayakan terus berakselerasi untuk memberikan manfaat optimal bagi masyarakat,” ujar Sri Mulyani.
Sebagai informasi, hingga saat ini belanja pemerintah pusat sudah mencapai Rp72,2 triliun atau 3,7 persen target APBN. Pencapaian belanja sebesar itu terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp21,8 triliun dan belanja non-K/L sebesar Rp50,4 triliun.
“Kinerja penyerapan bulan-bulan berikutnya diharapkan semakin baik seiring dengan akselerasi penyaluran bansos untuk penanganan kemiskinan ekstrem, dan pelaksanaan berbagai program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.”
Begitu juga alokasi program PC-PEN tahun 2022 yang akan dimonitor secara intensif diperkirakan mencapai Rp455,62 triliun, terdiri dari penanganan kesehatan sebesar Rp122,54 triliun, perlindungan masyarakat sebesar Rp154,76 triliun, dan penguatan pemulihan ekonomi sebesar Rp178,32 triliun.
“APBN menjadi pelindung dari masyarakat terhadap pressure dari energi dan dari sisi kesehatan. Ini menggambarkan APBN berperan penting sebagai instrumen pelindung masyarakat, karena guncangan dunia ini masih terjadi dari berbagai segi, seperti kesehatan dengan ancaman Omicron, komoditas akibat geopolitik, dan recovery yang tidak merata, dan juga kompleksitas dari kenaikan suku bunga global,” jelas Menkeu.
Demikian pula pembiayaan investasi. Pada tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp182,31 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk klaster infrastruktur sebesar Rp86,41 triliun, klaster pendidikan sebesar Rp20 triliun, klaster kerja sama internasional sebesar Rp1,94 triliun, cadangan pembiayaan investasi sebesar Rp21,48 triliun, dan pembiayaan pendidikan sebesar Rp49,47 triliun.
Bagaimana dengan perolehan pendapatan negara? Sri Mulyani pun berharap, kinerja yang baik dari tahun lalu terus berlanjut seiring pemulihan ekonomi yang semakin kuat. Hingga Januari 2022, pendapatan negara tercapai Rp156 triliun atau 8,5 persen target APBN. Pendapatan negara tumbuh 54,9 persen (yoy), membaik dari tahun sebelumnya yang tumbuh negatif 4,2 persen (yoy).
Penerimaan pajak per Januari 2022 mencapai Rp109,11 triliun, tumbuh tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, kinerja itu tetap menjadi perhatian karena kondisi ekonomi masih dinamis di tengah pandemi Covid-19.
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa tren pemulihan ekonomi pada Januari 2022 masih berlanjut dan cukup kuat, terlihat dari setoran pajak yang mencapai Rp109,11 triliun. Jumlah itu tumbuh 59,39 persen (year-on-year/YoY) dari Januari 2021 senilai Rp68,45 triliun.
Dirjen Pajak Suryo Utomo menambahkan pertumbuhan penerimaan terjadi di hampir seluruh jenis pajak. Penerimaan pajak penghasilan nonminyak dan gas (PPh nonmigas) sebagai kontributor terbesar terhadap perpajakan mengalami pertumbuhan tinggi, tetapi secara persentase, kenaikan PPh Migas menjadi yang terbesar.
Penerimaan PPh nonmigas per Januari 2022 tercatat mencapai Rp61,14 triliun, tumbuh 56,7 persen (YoY) dari sebelumnya Rp39,02 triliun. Lalu, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) per Januari 2022 mencapai Rp38,43 triliun, tumbuh 45,86 persen (YoY) dari Rp26,35 triliun.
Penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta pajak lainnya menjadi satu-satunya komponen yang terkontraksi. Perolehan PBB dan pajak lainnya pada Januari 2022 adalah Rp0,59 triliun, turun 20,5 persen (YoY) dari Rp0,74 triliun.
Sri Mulyani menilai bahwa kenaikan penerimaan pajak pada Januari 2022 terjadi karena pemulihan ekonomi, terlihat dari membaiknya purchasing managers index (PMI), aktivitas ekspor impor, dan kenaikan harga komoditas.
Namun, kondisi itu menurutnya ternyata tetap perlu diwaspadai. "Kenaikan luar biasa tinggi dari penerimaan pajak sesuatu yang kita syukuri tetapi kita waspadai, karena kenaikan ini tidak terus-menerus berlangsung. Kita akan melihat faktor-faktor yang memengaruhi profil penerimaan negara," ujar Sri Mulyani.
Pengalaman penerimaan pajak yang rendah pernah terjadi pada Januari 2021. Menurut Sri Mulyani, salah satu faktornya adalah low based effect, yakni catatan penerimaan pajak yang rendah pada Januari 2021.
Menkeu juga mengingatkan tingginya harga komoditas yang mendongkrak penerimaan pada Januari 2022 tidak akan terus berlangsung, sehingga terdapat kemungkinan perubahan kondisi penerimaan dalam beberapa waktu mendatang.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari