APBN semester I masih tercatat surplus Rp73,6 triliun. Jadi, enam bulan berturut-turut APBN mengalami surplus.
Lingkungan global masih bergejolak, seiring dengan masih berlangsungnya konflik Rusia versus Ukraina, sehingga membuat makro perekonomian dunia semakin tidak pasti. Akibat kondisi itu, peluang terjadinya resesi dan kenaikan suku bunga di sejumlah negara kian terbuka.
Negara Paman Sam sepanjang Juni 2022 telah mengalami inflasi yang cukup tajam. Menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 9,1 persen secara tahunan (year on year/yoy). Inflasi ini bahkan menjadi tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
Tentu, inflasi yang terjadi di AS bakal memicu pelemahan ekonomi global. Pelbagai negara dunia tentu tidak berdiam diri dengan situasi tersebut. Bisa dipastikan, mereka akan meresponsnya dengan mengetatkan likuiditas dan menaikkan suku bunganya.
Tidak itu saja, ancaman lain termasuk krisis energi dan pangan juga beriringan terjadi. Semua itu tentu harus diantisipasi Indonesia. Jangan sampai, kinerja perekonomian nasional menjadi terganggu.
Namun, bangsa ini masih patut mengucapkan syukur. Pasalnya, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di sepanjang semester I-2022 masih memberikan indikator yang positif dan menjadi modal untuk menghadapi semester II-2022.
Kinerja APBN yang positif itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (27/6/2022). Menurut Menkeu Sri, APBN mencatat surplus sebesar Rp73,6 triliun pada semester I-2022. Besaran surplus itu setara dengan 0,39 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
"APBN semester I masih tercatat surplus Rp73,6 trilun. Jadi ini enam bulan berturut-turut APBN mengalami surplus," ungkapnya.
Dia mengatakan, surplus APBN hingga akhir Juni 2022 terbilang sangat baik jika dibandingkan akhir Juni 2021 yang tercatat defisit Rp283,1 triliun. Surplus itu ditopang oleh pendapatan negara yang tumbuh signifikan dibandingkan dengan belanja negara.
Pendapatan negara sepanjang semester I-2022 tercatat sebesar Rp1.317,2 triliun atau tumbuh 48,5 persen secara tahunan (yoy). Realisasi itu setara 58,1 persen dari target, yang sebesar Rp2.266,2 triliun. Sementara itu, belanja negara tercatat mencapai Rp1.243,6 triliun atau tumbuh 6,3 persen (yoy).
Adapun realisasi itu setara 40 persen dari pagu anggaran belanja negara, yang sebesar Rp2.714, 2 triliun. Menurut Menkeu Sri, dengan adanya surplus, maka pembiayaan utang pun mengalami penurunan. Hingga akhir Juni 2022, pembiayaan utang baru sebesar Rp153,5 triliun atau turun 63,5 persen (yoy) dibandingkan periode sama di 2021 yang mencapai Rp421,1 triliun.
"Kondisi APBN semester I luar biasa positif, dengan Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) mencapai Rp227,1 triliun. Bahkan, pembiayaan anggaran melalui penerbitan surat utang menurut perpres seharusnya Rp840,2 triliun, tapi kita hanya merealisasikan Rp153,5 triliun. Ini menurun drastis dibandingkan tahun lalu," papar dia.
Menkeu Sri menyatakan, indikator positif APBN di sepanjang semester I-2022 akan menjadi hal yang baik bagi pemerintah untuk menghadapi semester II-2022. Pasalnya, lingkungan global masih bergejolak dan berpotensi mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri.
Menghitung Langkah
Alhasil, kata Sri Mulyani, pemerintah akan fokus menjaga penerimaan negara tetap stabil dan terjaga, sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional. Begitu pula pada belanja negara, realisasinya akan dijaga sesuai dengan target dan prioritas nasional untuk menjaga pemulihan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan daya beli masyarakat.
"Lingkungan global akan makin bergejolak dan semakin tidak pasti. Kemungkinan terjadinya resesi dan kenaikan suku bunga semuanya memberikan ancaman, termasuk krisis energi dan pangan. Ini semua harus kami antisipasi," paparnya.
Bendahara Umum Negara itu mencatat, pendapatan negara yang sebesar Rp1.317,2 triliun pada akhir Juni 2022, meliputi penerimaan perpajakan senilai Rp1.035,9 triliun atau tumbuh 52,3 persen (yoy). Adapun penerimaan perpajakan itu terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp868,3 triliun atau tumbuh 55,7 persen (yoy), serta kepabeanan dan cukai sebesar Rp167,6 triliun dengan pertumbuhan 37,2 persen (yoy).
Kemudian pendapatan negara juga diperoleh dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp281 triliun atau tumbuh sebesar 35,8 persen (yoy). Sedangkan realisasi belanja yang mencapai Rp1.243,6 triliun hingga akhir Juni 2022, mencakup belanja pemerintah pusat senilai Rp876,5 triliun atau tumbuh 10,1 persen (yoy).
Belanja pemerintah pusat tersebut terdiri dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp392,8 triliun atau turun 12,6 persen (yoy) dan belanja non-K/L sebesar Rp483,7 triliun atau tumbuh 39,5 persen (yoy).
"Belanja pemerintah pusat tumbuh 10 persen, terutama yang non-K/L karena adanya kompensasi (energi) yang melonjak tinggi," kata Sri Mulyani.
Sementara itu, realisasi belanja negara juga disumbang dari realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang tercatat sebesar Rp367,1 triliun atau turun 1,8 persen (yoy). Adapun rinciannya, yakni transfer ke daerah Rp333,1 triliun atau turun 3,9 persen (yoy) dan dana desa mencapai Rp34 triliun atau tumbuh 24,8 persen (yoy).
Di sisi lain, keputusan pemerintah yang menaikkan angka sasaran inflasi menjadi 3,5 persen–4,5 persen dari semula 2 persen–4 persen berpotensi membuat postur fiskal perlu kembali direvisi, demi merespons dinamika ekonomi global.
Berkaitan dengan rencana itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu membenarkannya. Menurutnya, revisi inflasi menjadi 3,5--4,5 persen tersebut dilakukan dalam rangka merespons dinamika ekonomi global. Pasalnya, saat ini hampir seluruh negara tengah kehilangan kendali inflasi akibat harga energi yang makin melambung.
“Ini juga berpotensi meningkatkan harga komoditas di dalam negeri,” kata Febrio, Rabu (27/7/2022).
Penyesuaian APBN
Sejalan dengan itu, pemerintah berkomitmen untuk melakukan penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 guna mengompensasi kenaikan tingkat inflasi itu.
Faktanya, sejauh ini pemerintah telah menerbitkan APBN 2022 Perubahan melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98/2022 tentang Perubahan Atas Perpres nomor 104/2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022.
Dalam beleid itu, otoritas fiskal memang telah menggelembungkan alokasi subsidi dan kompensasi energi serta menebalkan anggaran perlindungan sosial. Langkah ini ditempuh untuk menguatkan proteksi daya beli masyarakat. Subsidi energi dinaikkan dari Rp134 triliun menjadi Rp208,9 triliun, kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik dari Rp18,5 triliun menjadi Rp293,5 triliun, serta perlindungan sosial yang ditambah Rp18,6 triliun.
Akan tetapi, improvisasi postur fiskal itu dilakukan dengan asumsi tingkat inflasi pada tahun ini di kisaran 2—4 persen. Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan penyesuaian ulang seiring dengan dinaikkannya target inflasi.
“Kami ingin menjaga daya beli masyarakat sekaligus memastikan momentum pemulihan ekonomi terus terjaga,” ujar Febrio.
Tingkat inflasi memang mengkhawatirkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi per Juni 2022 telah mencapai 4,35 persen secara tahunan, sedangkan inflasi inti berada di posisi 2,63 persen. Kondisi tersebut pun sejatinya telah diwaspadai oleh Bank Indonesia (BI), yang juga mengatrol inflasi menjadi 4,5 persen—4,6 persen.
Dikereknya tingkat inflasi oleh pemerintah dan bank sentral memang perlu diimbangi dengan penyesuaian postur anggaran, sehingga daya beli masyarakat tetap tangguh. Tak dipungkiri, inflasi wajib diwaspadai oleh pemerintah meski sejumlah lembaga internasional memberikan sinyalemen bahwa prospek ekonomi nasional pada tahun ini masih cukup cerah.
Mayoritas lembaga itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia, pada tahun ini mampu berada di atas 5 persen. Secara rata-rata, estimasi produk domestik bruto (PDB) nasional berada di rentang 5 persen—5,6 persen.
Oleh karena itu, strategi pemerintah yang berencana mendongkrak subsidi energi serta bantuan langsung tunai tanpa syarat untuk periode tertentu sehingga konsumsi rumah tangga tetap terjaga merupakan kebijakan yang patut didukung. Apalagi, penambahan alokasi tersebut sangat dimungkinkan lantaran pemerintah mendapatkan windfall penerimaan negara dari moncernya harga sejumlah komoditas di pasar global.
Yang jelas, bangsa ini Indonesia tidak boleh terlena meskipun perkiraan pertumbuhan ekonomi oleh sejumlah lembaga terbilang masih cukup baik. Indonesia harus tetap waspada terhadap guncangan-guncangan yang terjadi di dunia. Harapannya, kapal besar Indonesia terus berlayar memulihkan ekonominya demi kesejahteraan rakyatnya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari