PLN secara paralel menjalankan skenario mempensiunkan lebih awal (early retirement) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap setidaknya hingga 2056.
Secara bertahap PT PLN (Persero) akan segera mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai salah satu cara untuk mencapai target carbon neutral di 2060. Oleh karena itu, sebagai bentuk dukungan kepada PLN, pemerintah telah merancang mekanisme transisi energi atau energy transition mechanism (ETM).
ETM merupakan bentuk skema pembiayaan campuran (blended finance) untuk mempercepat pensiun dini PLTU serta membuka investasi untuk energi bersih. Blended finance dimaksudkan untuk menemukan skema pembiayaan yang optimal dengan mengkombinasikan beberapa sumber pendanaan/pembiayaan dalam satu proyek, seperti dari anggaran pemerintah baik pusat dan daerah, pihak swasta, donor, dan philanthropist.
Adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati yang memaparkan skema pembiayaan ETM tersebut. Menurutnya, ETM bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060 dengan adil dan terjangkau.
Sri Mulyani menegaskan, proyek transisi energi sudah tidak terhindarkan lagi mengingat perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi dunia. Namun selain untuk menjamin masa depan, transisi itu juga harus bisa menjaga perekonomian nasional serta daya beli masyarakat, khususnya kelompok miskin.
Untuk itulah, Sri Mulyani mengajak seluruh anggota G20 untuk memberikan komitmen dan inisiatifnya dalam pembiayaan transisi energi melalui ETM. Sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, transisi energi berdampak besar untuk Indonesia. Terutama, dalam rangka rencana PLN mempensiunkan dini pembangkit berbasis batu bara.
Jadi mempensiunkan PLTU bergantung sepenuhnya pada pembangkit berbasis EBT. Yang mana itu tergolong cukup mahal dan berisiko. Sementara itu, PLN mesti memastikan bisa menyediakan suplai listrik yang andal dan terjangkau untuk masyarakat.
“Upaya kami dalam mengurangi karbon emisi berperan penting dalam penurunan emisi global. Untuk itu kami dari pemerintah juga akan membuat kerangka kebijakan yang memastikan proses ini kredibel dan menguntungkan semua pihak,” kata Sri Mulyani, kepada media beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo memaparkan, rencana strategis perusahaan dalam pencapaian target Net Zero Emission (NZE) di 2060. Kepada delegasi G20 di Forum Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable, PLN menunjukkan komitmen Indonesia dalam transisi energi dan mengajak keterlibatan dunia untuk mewujudkan target tersebut.
Darmawan Prasodjo mengatakan, dalam transisi energi, PLN memiliki roadmap proyek yang berlangsung dari 2021 hingga 2060. PLN juga memetakan sejumlah peluang kerja sama untuk mendukung pencapaian NZE 2060.
“Visi PLN ke depan tidak hanya menghadirkan listrik yang andal bagi masyarakat, melainkan juga menyalurkan energi hijau yang ramah lingkungan,” ujar Darmawan dalam forum diskusi di Bali itu.
Ia mengatakan, rencana PLN dalam pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) telah tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL Green ini, porsi penambahan pembangkit listrik berbasis EBT sekitar 51,6 persen hingga 2030.
Tahun lalu, PLN juga telah membangun pembangkit EBT sebesar 623 megawatt (MW) yang mayoritas adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Pada 2022, PLN akan menambah kapasitas terpasang pembangkit EBT sebesar 228 MW. Dengan rincian, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan beroperasi 45 MW, PLTA dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) akan bertambah 178 MW, dan pembangkit listrik tenaga bioenergi sebesar 5 MW.
Selain mempensiunkan PLTU, PLN juga menggunakan teknologi ultra-supercritical dan co-firing pada PLTU yang kini masih beroperasi. Adapun, co-firing ini akan diterapkan di 52 PLTU.
PLN juga menjalankan program dedieselisasi melalui konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di daerah remote dengan pembangkit listrik berbasis EBT melalui skema hibrida. Program lain yang disiapkan PLN untuk mendukung transisi energi yaitu ekspansi gas, pengembangan teknologi penyimpanan listrik dalam bentuk baterai berukuran besar, hingga teknologi penangkapan karbon dan hidrogen. PLN juga terus meningkatkan efisiensi energi dan menekan susut jaringan.
Untuk menyukseskan semua upaya mendukung carbon neutral di 2060, setidaknya PLN membutuhkan minimal USD500 miliar. “Ini kuncinya adalah kolaborasi. PLN membuka diri untuk bekerja sama baik dari sisi investasi, financial fund, maupun sharing teknologi untuk mewujudkan semua rencana tersebut,” ucap Darmawan.
Perlu diketahui, PLN telah memperoleh dukungan finansial dari sejumlah perbankan internasional dalam mendukung pembangunan pembangkit ramah lingkungan. Salah satunya, dukungan pendanaan dari sindikasi tiga bank internasional, yaitu Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Societe Generale dan Standard Chartered Bank untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata yang merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MWAc. PLN juga mendapatkan kucuran pendanaan senilai USD380 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang merupakan bagian dari World Bank Group untuk proyek PLTA Upper Cisokan melalui skema Subsidiary Loan Agreement (SLA).
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari