Teknologi ultra-super critical (USC) memungkinkan pembangkit menghasilkan listrik lebih efisien, diaplikasikan begitu rupa agar tetap ramah lingkungan.
Komitmen Indonesia untuk berperan dalam penanggulangan perubahan iklim tidaklah main-main. Komitmen itu diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi, dari hulu hingga ke hilir.
Seluruh langkah itu ditempuh demi bisa mencapai target penurunan emisi maupun net zero emission (netralitas karbon) pada 2060. Untuk menjalankan misi tersebut, dibutuhkan daya dukung transisi energi, sehingga ruang bagi pemanfaatan energi baru dan terbarukan secara optimal bisa lebih terbuka luas. Seiring itu, tentunya dilakukan pula sejumlah upaya agar penggunaan sumber energi fosil kian hari kian berkurang, atau setidaknya bisa diminimalisasi dampaknya bagi lingkungan.
Sebut saja yang dilakukan pemasok listrik terbesar di Indonesia, yang memasok hingga 18% kebutuhan listrik Jawa dan Bali yang sebesar 26.000 megawatt, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten. Salah satu proyek pembangkit strategis itu turut menggelar sejumlah upaya dengan mengaplikasikan teknologi ramah lingkungan dalam konstruksi salah satu proyek engineering, procurement, and construction (EPC)-nya.
Menggandeng PT Hutama Karya dan Doosan Heavy Industry, PLTU Suralaya memercayakan penggarapan proyek PLTU berkapasitas 2x 1.000 MW kepada konsorsium tersebut. Hutama Karya memang bukan pemain baru di bidang energi. Khususnya untuk EPC, portofolio perusahaan itu mencakup proyek PLTU Kendari, Ampana, Harjosari, Lambur, dan PLTGU Grati di Pasuruan pada 2019.
Dalam proyek tersebut, sebagaimana disampaikan Direktur Operasi II Hutama Karya Ferry Febrianto, dalam siaran persnya pada dalam siaran pers, Kamis (21/7/2022), konsorsium itu bakal mengerjakan pengembangan proyek PLTU Suralaya untuk pembangkit Jawa 9 dan 10, yang merupakan coal fired steam power plant dengan teknologi ultra-super critical (USC) terbaru dan paling efisien.
Proyek itu bernilai Rp26 triliun dan akan selesai pada 2025, sesuai kontrak awal dengan Indo Raya Tenaga atau IRT selaku pemilik proyek. Hingga Juli 2022, kemajuan proyek itu sudah mencapai lebih dari 42,92%.
Adapun tahapan saat ini adalah pengerjaan area-area concern, seperti turbine building, BOP, jetty, intake, CHS, dan chimney (cerobong asap). Selain itu, bangunan-bangunan yang berada di area power block juga sudah terlihat wujudnya, di antaranya dua bangunan turbine, masing-masing dalam proses instalasi rangka baja.
Diapit oleh kedua bangunan itu, sudah terlihat pula bangunan central control building (CCB) yang sudah memasuki tahapan pekerjaan arsitektur mechanical dan electrical. Dalam proyek itu juga sudah berhasil diselesaikan pengecoran dalam jumlah terbesar di area pondasi bangunan chimney sebesar 6.000 m3.
Mekanisme USC
Penggunaan teknologi USC sendiri menjadi pilihan PLTU Suralaya karena memungkinkan pembangkit menghasilkan listrik secara efisien dan cost efficient. Sebab teknologi itu, jumlah batu bara dan fuel oil yang dibutuhkan lebih sedikit dibanding sistem pembangkit lainnya. Tentunya, penggunaan batu bara yang lebih sedikit akan pula menghasilkan polusi yang lebih sedikit.
Diketahui, tertuang dalam aturan yang ada, standar baku mutu untuk kandungan gas buang PLTU seperti SOx, Partikulat, dan NOx masing-masing adalah 550 mg/Nm3, 100 mg/Nm3 dan 550 mg/Nm3. Melalui teknologi USC itu, secara berurutan untuk SOx, Partikulat, dan NOx bisa ditekan hingga berada di bawah 350 mg/Nm3, 30 mg/Nm3, dan 128mg/Nm3.
Teknologi USC juga diketahui memiliki thermal efficiency yang lebih tinggi daripada teknologi subcritical dan supercritical. Di mana semakin tinggi thermal efficiency dihasilkan, maka semakin sedikit jumlah batu bara yang dibutuhkan untuk proses pembakaran.
“Artinya, untuk menghasilkan output energi yang sama, teknologi USC membutuhkan jumlah batu bara yang lebih sedikit dari teknologi subcritical atau supercritical. Ini juga memengaruhi kadar polusi yang dihasilkan. Batu bara memiliki kandungan sulphur, di mana apabila dibakar akan menghasilkan sulphur dioxide (SO2). Apabila SO2 dibuang ke atmosfir, dan bercampur dengan awan, maka akan menghasilkan hujan asam. Karena jumlah batu bara yang dibutuhkan lebih sedikit, teknologi USC dapat menghasilkan kandungan SO2 yang lebih sedikit pula, sehingga lebih ramah lingkungan,” tegas Ferry.
Kombinasi Teknologi
Tak hanya mengaplikasikan teknologi canggih yang ramah lingkungan, perhatian serius PLTU Suralaya terhadap aspek tersebut juga tampak dengan digunakannya serangkaian sistem canggih dalam menangani masalah gas buang. Serangkaian sistem yang digunakan itu adalah electrostatic precipitator system, flue gas desulphurization system, dan selective catalytic converter.
Melalui sistem-sistem itu kelak, kandungan berbahaya dari gas buang tersebut, seperti Nitrogen Oksida (NOx), Sulphur Oksida (SO2), dan partikulat padat, dapat dikurangi sampai batas aman atau bahkan dihilangkan. Tak sampai di situ, PLTU Suralaya juga mengimplementasikan teknologi mutakhir untuk mengurangi polusi akibat dari pembakaran batu bara.
Sistem boiler pada proyek itu diketahui menggunakan teknologi Low NOx Burner. Low NOx Burner itu menggunakan sistem yang dapat mengontrol campuran udara dan bahan bakar sehingga menghasilkan kandungan Nitrogen Oksida (NOx) yang rendah. NOx merupakan salah satu gas yang berbahaya apabila dilepas ke atmosfir dan dihirup manusia.
Setelah itu, gas hasil pembakaran batu bara dari boiler kemudian disalurkan ke selective catalytic reduction (SCR) system. Pada sistem ini, gas buang akan diinjeksi dengan ammonia menggunakan ammonia injection system. Proses tersebut akan menghasilkan reaksi kimia antara ammonia dan N0x, sehingga gas buang terbebas dari kandungan N0x.
Selanjutnya gas buang akan disalurkan menuju Electrostatic Precipitator (ESP). Tujuan ESP adalah menyaring partikulat-partikulat padat hasil pembakaran batu bara agar tidak terbuang ke udara. Sistem ESP itu kemudian menghasilkan medan elektrostatik yang memungkinkan partikulat dari gas buangan tersebut tertarik dan menempel di anoda yang ada di ESP. Lantas partikulat yang tertarik itu dikumpulkan untuk mendapat treatment lebih lanjut.
Dari ESP, gas yang partikulatnya sudah tersaring kemudian masuk ke flue gas desulphurization system (FGD). FGD ini berfungsi untuk menetralkan kandungan SO2. Gas dari ESP akan disalurkan ke FGD, di mana gas tersebut akan disemprotkan cairan batu kapur untuk mengikat kandungan SO2.
“Gas buang yang sudah bersih kemudian dibuang melalui chimney. Kandungan gas buang tersebut dikontrol secara terus-menerus menggunakan continuous emission monitoring system yang terpasang di Chemne. Intinya, PLTU Suralaya akan memastikan gas buang hasil pembakaran batu bara selalu memenuhi standar lingkungan hidup yang berlaku,” kata Ferry.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari