Indonesia.go.id - Siaga Satu Setiap Hari sampai Akhir Tahun

Siaga Satu Setiap Hari sampai Akhir Tahun

  • Administrator
  • Kamis, 13 Oktober 2022 | 17:47 WIB
ANOMALI CUACA
  Personel BPBD Kabupaten Bogor menyiapkan perahu karet saat apel siaga bencana di Lapangan Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/9/2022). ANTARA FOTO/ Yulius Satria Wijaya
Hujan turun di sepanjang tahun di banyak wilayah di Indonesia. Tanpa jeda kemarau. Bencana hidrometeorologis mengancam. Tapi di NTT, ada daerah yang 205 hari tak ada hujan.

Hampir tiada hari tanpa hujan. Cuaca basah itu terekam di sejumlah daerah Indonesia sejak awal Oktober 2022. Menjelang  pertengahan Oktober, curah hujan makin tinggi. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Jawa Barat Indra Gustari pun mewanti-wanti, sejumlah daerah di wilayah kerjanya rentan menghadapi bencana hidrometeorologi.

Ada sejumlah kabupaten/kota, menurut Indra Gustari, yang telah menerapkan status siaga bencana, bahkan sejak  September lalu. Sebagian lagi, dengan risiko kebencanaan lebih rendah, menerapkan status waspada bencana.

"Untuk status siaga itu banyaknya di bagian barat dan selatan Jawa Barat. Seperti Bogor,  Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Pangandaran, juga Bandung,’’ ungkap  Indra Gustari, dalam keterangan persnya di Kantor Pemprov Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, Senin (10/10/2022).  "Level waspada ada di Sumedang dan sebagian pesisir utara Jabar,’’ Indra menambahkan.

Wilayah Ciamis, Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, hingga ke Kabupaten dan Kota Bogor, menurut Indra, di sepanjang 2022 diguyur curah hujan tinggi, dan tidak sempat ada jeda musim kemarau. “Kondisi ini berbeda dari dengan pesisir utara, yang curah hujannya rendah di 2022," kata Indra pula.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengingatkan bahwa ancaman bencana hidrometeorologi ini berpotensi akan berlanjut sampai akhir 2022. Kejadiannya terekam di banyak lokasi di Indonesia. ‘’Cuaca ekstrem itu terjadi di mana-mana. Di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, khususnya curah hujan sangat tinggi. Makanya, tolong waspada,” ujarnya, usai menghadiri rapat di Kantor DPRD Jabar, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (10/10/2022) siang.

Gubernur Ridwan Kamil menyerukan agar seluruh jajaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terus meningkatkan kewaspadaan, agar bisa mengantisipasi kemungkinan bencana, hingga jatuhnya korban bisa dihindari. Peta kebencanaan di Jabar, kata Emil, cukup jelas. Jabar tengah ke utara potensi banjir tinggi. Kalau dari Jabar tengah ke selatan potensi longsor yang tinggi. "Oleh karena itu, BPBD dan perangkat-perangkat yang terkait kebencanaan sudah diperingatkan untuk siaga satu setiap hari," tandas Emil.

Peristiwa banjir bandang, genangan akibat luapan air sungai dan tanah longsor, tidak terhindarkan. Korban jiwa jatuh, ribuan warga mengungsi. Kerugian harta benda serta kerusakan fasilitas umum seperti deret hitung. Di wilayah Bogor, September lalu, ada 48 bencana hidrometeorologis, hanya dalam satu minggu, di tempat yang berbeda. Bahkan, pada 28 Agustus 2022, terjadi  25 bencana hanya dalam satu hari di Kota Bogor.

Awan tanpa La Nina

BMKG pun kembali merilis peringatan akan potensi cuaca ekstrem di beberapa wilayah Indonesia pada 9--15 Oktober 2022. Peringatan ini dikeluarkan pada Sabtu, 8 Oktober 2022, dengan mengacu pada gerakan awan pada skala regional, yakni pada atmosfer di sepanjang Asia Selatan–Pasifik Barat, khususnya di sekitar garis khatulistiwa.

Ada potensi awan besar, menurut BMKG, yang bergerak beriringan di atas langit Indonesia, karena anomali cuaca. Ada fenomena gelombang Madden Julian Oscillation (MJO), gerakan massa udara basah dari Samudra Hindia ke arah timur menuju Pasifik Barat. Massa udara yang membawa uap air dalam jumlah besar itu bergerak di lapisan atmosfer yang cukup tinggi. Fenomena MJO itu acap kali disebut pula sebagai Indian Ocean Dipole.

Pada saat yang sama, dari arah timur ada gelombang udara ekuatorial Rossby yang bergerak dari Pasifik menuju pantai timur Afrika di lapisan atmosfer yang relatif lebih rendah. Gelombang udara  ini terasa pengaruhnya di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Baik gelombang MJO maupun gelombang Rossby ini tidak akan terlalu signifikan pengaruhnya bila tidak berinteraksi dengan cuaca lokal. Suhu laut di sekeliling Indonesia relatif tinggi, yang  mengakibatkan adanya konvensi udara lembah ke atas. Ditambah pula, angin monsun ikut ambil bagian. Angin monsunal ini bertiup dari Benua Asia ke Australia seiring dengan siklus posisi matahari.

Faktor La Nina yang biasa ikut nimbrung pada kasus-kasus hujan ekstrem di Indonesia kali ini absen. Indeks La Nina bergerak mendekati nol, sehingga tidak memberikan pengaruh. Namun, kombinasi dari angin barat oleh gelombang MJO, angin timur dari Gelombang Rossby, angin monsun reguler dan arus konveksi akibat suhu laut yang hangat sudah cukup menghadirkan bibit awan-awan yang bisa menebal dan menjadi hujan lebat di berbagai tempat di tanah air.

Dalam rilis BMKG itu dikatakan pula, potensi hujan lebat (beberapa hari) itu bisa muncul di hampir  semua provinsi, kecuali Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Timur. Prakiraan itu mengacu pada gambaran aktual tentang arah angin dan citra gerakan awan yang terpantau satelit.

Sebaran Hujan

Di Indonesia ada 342 zona musim. Mimika (Papua), Solok (Sumatra Barat), Baturaden (Jateng), dan Bogor, adalah tempat dengan catatan (rata-rata) curah hujan tertinggi dan hari hujan terbanyak di Indonesia. Curah hujannya dapat  mencapai 4.000 mm per tahun atau lebih dengan hari hujan 250 kali dalam setahun.

Pada 2022, sebagian dari 342 zona itu tak sempat memasuki musim kemarau, yang biasa dicirikan dengan curah hujan yang kurang dari 60 mm per bulan. Di Jawa Barat, misalnya, hanya di Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon, kemarau muncul pada Juli dan Agustus. Selebihnya adalah bulan basah dengan curah hujan di atas 100 mm.

Meski terekspos oleh fenomena cuaca regional yang sama, faktor lokal menjadi pembeda. Posisi geografis dan bentang alam setempat memberikan stimulasi yang berbeda dalam proses pembentukan awan hujan. Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTB, dan NTT dikenal memiliki daerah dengan zona musim kering yang panjang.

Maka, pada saat daerah lainnya telah diguyur hujan, tiga daerah NTT malah mengalami kekeringan ekstrem panjang. Di Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, misalnya, tercatat 205 hari tanpa hujan. Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, mengalami 88 hari tanpa hujan setetes pun, dan di Kecamatan Baumata, Kabupaten Kupang, sudah 102 hari hujan tak datang. Rekor di Haharu pada 2019 lalu adalah 259 hari tanpa hujan.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari