Surplus neraca perdagangan pada November lalu mengantarkan Indonesia mencetak surplus selama 31 bulan berturut-turut.
Di pengujung tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus yang besar pada November 2022, yaitu sebesar USD5,16 miliar. Lembaga itu menyebutkan, surplus neraca perdagangan pada November lalu itu ditopang oleh ekspor sektor nonmigas yang mampu surplus hingga USD6,83 miliar, di saat ekspor sektor migas mengalami defisit USD1,67 miliar.
Berkaitan dengan kinerja neraca perdagangan periode November itu, Deputi Bidang Statistik dan Produksi BPS M Habibullah mengatakan, nilai ekspor pada November mencapai USD24,12 miliar, sedangkan impor USD18,96 miliar.
Surplus neraca perdagangan pada November lalu mengantarkan Indonesia untuk mencetak surplus selama 31 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. “November 2022, neraca dagang barang surplus USD5,16 miliar. Artinya, neraca perdagangan hingga November mengalami surplus 31 bulan berturut yang terjadi sejak Mei 2020,” ujarnya dalam konferensi pers BPS, Kamis (15/11/2022).
Nilai ekspor Indonesia pada November sebesar USD24,12 miliar, turun 2,46 persen dibandingkan dengan Oktober (month to month/mtm) yang tercatat USD24,73 miliar, tapi naik secara tahunan (year on year/yoy) 5,58 persen dari periode yang sama tahun lalu USD22,85 miliar.
Nah, bagaimana dengan nilai impor Indonesia pada November 2022? Lembaga itu mencatat nilai impor mencapai USD18,96 miliar. Nilai impor secara bulanan (mtm) turun 0,91 persen, sedangkan secara tahunan (yoy) juga turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu USS19,33 miliar.
Khusus soal kinerja ekspor, Habibullah menyampaikan, secara bulanan, ekspor mineral dan gas (migas) dan nonmigas sama-sama mengalami penurunan.
Rinciannya, ekspor migas turun 11,85 persen atau secara nilai turun dari USD1,29 miliar menjadi USD1,14 miliar, sementara ekspor nonmigas turun 1,94 persen atau turun dari USD23,44 miliar menjadi USD22,99 miliar.
“Pada 2021 dan 2022 pertumbuhan ekspor November memiliki pola yang sama bila dibandingkan Oktober, yaitu mengalami penurunan secara bulanan,” ujarnya.
Pertanyaan selanjutnya, komoditas apa saja yang berkontribusi terhadap penurunan? BPS menyebutkan, beberapa komponen komoditas yang menyebabkan ekspor nonmigas menurun di antaranya lemak dan minyak hewan atau HS 15 yang turun 16,62 persen, bahan bakar mineral HS 27 turun 4,30 persen, kendaraan dan bagiannya HS 87 turun 13,08 persen.
Penurunan ekspor nonmigas ini merupakan kelanjutan penurunan yang terjadi pada bulan sebelumnya. Pada Oktober 2022, ekspor nonmigas turun 0,14 persen dibandingkan dengan kondisi bulan sebelumnya.
Adapun penurunan ekspor nonmigas ini terjadi dari sisi nilai maupun volume. Sementara itu, penurunan ekspor migas disebabkan oleh penurunan hasil minyak yang mengalami penurunan 24,42 persen, sedangkan kalau dari sisi volumenya turun 22,84 persen.
“Kemudian minyak mentah turun sebesar 32,65 persen, sedangkan kalau dari sisi volumenya turun 31,91 persen, demikian juga untuk gas turun sebesar 3,75 persen dan volumenya naik 0,24 persen,” tuturnya.
Namun, bangsa ini tetap patut bersyukur ternyata kinerja perdagangan, terutama kinerja ekspor jika dilihat secara tahunan atau yoy tetap mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Sehingga secara tahunan nilai ekspor meningkat dari USD22,85 miliar menjadi USD24,12 miliar, atau naik 5,58 persen (yoy).
“Komposisi untuk perkembangan ekspor secara yoy untuk migas jadi nilainya turun dari USD1,34 miliar menjadi USD1,14 miliar atau turun 15,23 persen. Sedangkan ekspor nonmigas (yoy) pada November mengalami kenaikan 6,88 persen yakni dari USD21,51 miliar menjadi USD22,99 miliar,” ujarnya.
Dengan demikian, pertumbuhan ekspor secara tahunan, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun jika dilihat lebih lanjut, pertumbuhan ekspor sudah mengalami perlambatan sejak Juli 2022. “Pertumbuhan nilai ekspor 5,58 persen di bulan ini merupakan pertumbuhan secara yoy terendah sejak November 2020,” tuturnya.
Habibullah menyampaikan, impor migas turun 16,64 persen atau secara nilai turun dari USD3,36 miliar menjadi USD2,80 miliar. Sedangkan impor nonmigas meningkat 2,45 persen, atau secara nilai dari USD15,77 miliar menjadi USD16,16 miliar.
“Atau jika ditotalkan antara impor migas dan nonmigas turun dari USD 19,14 miliar menjadi USD18,96 miliar,” tambahnya.
Yang menarik dari tren kinerja neraca perdagangan November 2022, dia mengatakan, jika melihat pola yang ada pada 2021 dan 2022, pertumbuhan impor di November memiliki pola yang sama, yaitu tren meningkat secara bulanan. Sedangkan secara tahunan mengalami kontraksi.
Penyebabnya, dia merinci, terjadi penurunan impor nonmigas yang disebabkan turunnya beberapa komoditas, mesin, dan peralatan mekanis dan bagiannya atau HS 84 meningkat 8,50 persen, besi dan baja HS 72 naik 11,67 persen, gula dan kembang gula HS 17 naik 66,15 persen.
Lebih lanjut, turunnya impor migas didorong oleh hasil minyak yang turun 19,57 persen, dan komoditas minyak mentah turun 18,94 persen. Adapun kinerja impor jika dilihat secara tahunan turun jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, sehingga secara tahunan nilai impor turun dari USD19,33 miliar menjadi USD18,96 miliar.
Berpijak dari laporan di atas, negara ini harus kerja keras untuk tetap mempertahankan kinerja neraca perdagangannya pada tahun depan. Sejumlah kalangan telah memberikan prediksi bahwa arus dan aktivitas perdagangan barang secara global diperkirakan mengalami penurunan pada 2023.
Hal tersebut tentu menjadi alarm tersendiri bagi perekonomian global dan negara-negara yang mengandalkan perekonomiannya dari kinerja ekspor. Laporan dari Oxford Economics menyebutkan bahwa arus perdagangan barangan akan turun 0,2 persen secara year on year (yoy) pada 2023. Sekadar informasi, proyeksi itu direvisi dari perkiraan Oxford Economics sebelumnya yang dirilis pada Juni 2022. Kala itu, perdagangan global pada 2023 diperkirakan tumbuh 3,4 persen.
Namun, Indonesia tetap patut bersyukur sejumlah lembaga dunia masih memberikan prediksi soal ekonominya yang tetap tumbuh dan positif. Misalnya, IMF yang masih memberikan proyeksi pertumbuhan 5 persen. Demikian pula Bank Dunia, meski tidak sebesar IMF, lembaga itu masih memberikan proyeksi di 4,8 persen.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari