Rencana pemerintah memperkuat cadangan devisa dengan menahan lebih lama devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri patut didukung.
Cadangan devisa dalam negeri, di tengah ketidakpastian perekonomian global yang sedang tidak bersahabat, kini sangat perlu diperkuat. Dalam rangka itu, pemerintah tengah menggodok sebuah kebijakan yang mewajibkan parkir devisa hasil ekspor (DHE) dengan batas waktu tertentu.
Tujuan kebijakan itu adalah cadangan devisa Indonesia di tengah tren surplus perdagangan yang terus berlanjut. Nah, regulasi yang direncanakan direvisi terutama yang tertuang ke dalam Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2019.
Rencana revisi regulasi yang mengatur parkir DHE dengan batas tertentu dibenarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Dijelaskan Menko Airlangga, selama ini devisa yang masuk ke dalam negeri hanya dicatat oleh Bank Indonesia, tanpa kewajiban untuk parkir atau mengendap.
Hal itu terjadi, menurut Menko Airlangga, karena Indonesia menerapkan kebijakan devisa bebas. Sehingga, devisa tidak ada keharusan untuk parkir di dalam negeri.
“Rencananya, pemerintah tak lagi menerapkan kebijakan devisa bebas. Kebijakan tersebut akan diubah untuk meningkatkan jumlah devisa di dalam negeri,” ujar Menko Airlangga, di Kantor Presiden, Rabu (11/1/2023)
Khusus soal kebijakan penerapan rezim devisa bebas awalnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah 16/1970, yang kemudian diatur lebih jelas di dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 1999. Melalui aturan itu, setiap penduduk bebas memiliki dan menggunakan devisa, tanpa adanya pembatasan dalam jumlah pembelian dan penjualan mata uang asing antara penduduk dan atau nonpenduduk.
Bahkan, tidak ada kewajiban menjual devisa kepada negara. Sehingga, penggunaan devisa bebas dimiliki oleh siapa pun untuk melakukan kegiatan perdagangan internasional, transaksi di pasar uang, dan transaksi di pasar modal.
Nah, khusus soal DHE yang secara spesifik berasal dari perdagangan sumber daya alam (SDA), pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2019. Namun, kebijakan itu hanya mewajibkan eksportir di sektor SDA untuk melaporkan dan memasukkan DHE mereka ke rekening khusus di bank persepsi dan melaporkannya ke Bank Indonesia. Tidak lantas, mewajibkan mereka menyimpannya di dalam negeri atau mengonversikannya ke rupiah.
Akibatnya, devisa tersebut hanya numpang lewat dan tidak memberikan kontribusi terhadap cadangan devisa negara. Padahal dalam konteks sejenis, sejumlah negara telah mewajibkan DHE eksportirnya untuk diparkir di dalam negeri.
Adalah Thailand, salah satu negara yang menerapkan kebijakan tersebut. Di Negeri Gajah Putih itu, pelaku usaha yang menghasilkan DHE dengan nilai USD1 juta ke atas diwajibkan untuk memarkirnya di dalam negeri maksimal 360 hari sejak tanggal ekspor.
Berbeda dengan Thailand, Malaysia justru baru melonggarkan kebijakan repatriasi DHE. Sejak pertengahan tahun lalu, eksportir tidak diwajibkan lagi mengonversi 75 persen devisanya ke mata uang lokal. Mereka tetap bisa membawa pulang devisa dalam bentuk valas maupun mata uang lokal.
Hanya saja, mereka wajib memulangkan devisa hasil ekspor ke Malaysia dalam jumlah penuh dalam waktu enam bulan sejak tanggal pengapalan. Namun repatriasi diperbolehkan hingga 24 bulan untuk alasan di luar kendali eksportir dan alasan lain yang diizinkan.
Demikian pula dengan India. Negara itu mewajibkan eksportirnya membawa pulang devisanya ke dalam negeri dalam waktu sembilan bulan. Turki pun mewajibkan eksportir membawa pulang DHE ke dalam negeri 180 hari setelah transaksi.
Bila dilihat dari tujuannya, revisi aturan soal DHE dimaksudkan agar cadangan devisa Indonesia semakin kuat. Cadangan devisa Indonesia pernah mencapai puncak tertinggi pada September 2021, sebesar USD146,9 miliar. Pada Oktober 2022, menurut catatan Bank Indonesia, cadangan devisa tercatat sebesar USD134,0 miliar.
Pada Desember 2022, cadangan devisa naik menjadi USD137,2 miliar. Kenaikan cadangan devisa pada periode Desember 2022 itu dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan pinjaman pemerintah.
Masih berkaitan dengan rencana revisi PP 1/2019, Menko Airlangga mengungkapkan, pemerintah tidak hanya mencatatkan ekspor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Nantinya, masalah parkir devisa bakal meluas juga ke beberapa sektor.
"Kami akan masukkan juga beberapa sektor lainnya, termasuk manufaktur serta berapa jumlah DHE yang wajib dibawa pulang," kata Menko Airlangga.
Saat ditanya tentang waktu ideal DHE parkir di dalam negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku belum bisa memperkirakannya. "Nanti kami berkoordinasi dengan para menteri koordinator dulu untuk membahasnya," ujar Sri Mulyani.
Bagi pelaku usaha, rencana pemerintah untuk memperkuat cadangan devisa dengan menahan lebih lama DHE di dalam negeri sudah sepatutnya didukung. Bentuk dukungan itu juga wujud Cinta Indonesia.
Pelaku usaha akan rela hati untuk memarkir DHE-nya lebih lama di dalam negeri, apalagi kebijakan yang akan dirilis sebagai pengganti PP 1/2019 juga diiringi dengan pemberian pemanis. Yakni berupa imbal hasil yang lebih menarik, sehingga pelaku usaha tidak berkeinginan untuk menyimpan di luar negeri lagi.
Bila ini benar-benar direalisasi, cadangan devisa semakin kuat dan tahan terhadap goncangan, ketercukupan likuiditas valas di dalam negeri terjaga, dan masalah inflasi tinggi dan volatilitas pada nilai tukar rupiah juga dengan mudah teratasi.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari