Indonesia.go.id - Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau Jamin Kepastian Hukum dan Industri

Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau Jamin Kepastian Hukum dan Industri

  • Administrator
  • Kamis, 3 Agustus 2023 | 10:15 WIB
INDUSTRI
  Petani menyiram tanaman tembakau di lahan miliknya, Kedungadem, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (27/7/2023). ANTARA FOTO/ Muhammad Mada
Aglomerasi pabrik rokok adalah pengumpulan atau pemusatan pabrik hasil tembakau dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pengusaha pabrik rokok.

Mulai Januari 2023 sampai paruh awal 2023 ini, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) turun 12,61 persen (year on year/yoy), menjadi Rp102,38 triliun atau 43,15 persen dari target. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya pemesanan pita cukai. Meski demikian dari komposisi penerimaan negara dari pajak dan cukai, sumbangan CHT adalah yang terbesar selain Bea Masuk dan Bea Keluar.

Penurunan ini juga disebabkan penurunan produksi pada Maret 2023 diikuti produksi April 2023 yang relatif stagnan. Adapun penurunan produksi pada Maret 2023 dipengaruhi adanya lonjakan di basis produksi Maret 2022 akibat  antisipasi kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).

Untuk menahan penurunan pendapatan cukai tembakau, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai tembakau sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.

Industri hasil tembakau (IHT) merupakan sektor penyumbang penerimaan negara terbesar lewat cukai. Kontribusi ini diperkuat melalui keberhasilan menyerap banyak tenaga kerja. Dalam mendukung, mengembangkan, dan meningkatkan daya saing industri kecil menengah (IKM) pada sektor hasil tembakau, pemerintah membentuk kawasan industri hasil tembakau (KIHT) sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 21/PMK.04/2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau.

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan dua wilayah sebagai KIHT, yaitu di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu dan berdasarkan hasil monitoring, aturan tersebut dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan di lapangan. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan aturan baru yang diatur dalam PMK nomor 22 tahun 2023 tentang Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau yang mulai berlaku sejak 14 Maret 2023 dan mencabut PMK nomor 21 tahun 2020.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Encep Dudi Ginanjar mengungkapkan bahwa penetapan PMK tentang aglomerasi pabrik hasil tembakau diharapkan mampu memberikan kemudahan dan kepastian hukum pagi penyelenggara dan pengusaha rokok.

“Kami berharap kemudahan ini dapat dimaanfaatkan oleh pengusaha pabrik hasil tembakau pada skala IKM dan UMKM, serta mendukung pelaksanaan pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) terutama terkait program pembinaan industri,” ujarnya, Kamis (27/7/2023).

Adapun perubahan status KIHT Kudus menjadi APHT diberikan kepada Koperasi Jasa Sigaret Langgeng Sejahtera sebagai penyelenggara APHT. Lokasi APHT Kudus berada di lingkungan industri kecil industri hasil tembakau (LIK-IHT) Desa Megawon, Kecamaan Jati, Kudus dan memiliki luas lokasi sebesar 20 ribu meter persegi.

Aglomerasi pabrik adalah pengumpulan atau pemusatan pabrik dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pengusaha pabrik rokok. Aglomerasi pabrik diperuntukkan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan industri menengah atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Kebijakan Aglomerasi pabrik dapat dilaksanakan pada empat tempat, yaitu kawasan industri, kawasan industri tertentu, sentra industri kecil dan industri menengah, dan tempat pemusatan industri tembakau lainnya yang memiliki kesesuaian dengan tata ruang wilayah. Tempat diselenggarakannya aglomerasi pabrik merupakan tempat yang peruntukan utamanya bagi industri hasil tembakau.

Kegiatan yang dapat dilakukan di tempat aglomerasi pabrik meliputi penyelenggaraan tempat aglomerasi pabrik, kegiatan menghasilkan barang kena cukai (BKC) berupa hasil tembakau, serta mengemas BKC hasil tembakau dalam kemasan untuk penjualan eceran dan pelekatan cukai.

Pengusaha pabrik yang menjalankan kegiatan di tempat aglomerasi pabrik diberikan tiga kemudahan. Pertama, perizinan di bidang cukai, berupa pengecualian dari ketentuan memiliki luas lokasi, bangunan, atau tempat usaha, yang akan digunakan sebagai pabrik hasil tembakau. Kedua, produksi BKC, berupa kerja sama yang dilakukan untuk menghasilkan BKC hasil tembakau. Ketiga, pembayaran cukai, berupa penundaan pembayaran cukai yang diberikan dalam jangka waktu penundaan 90 hari.

Penyelenggara aglomerasi pabrik harus memenuhi persyaratan tempat aglomerasi pabrik, persyaratan penyelenggara, dan kewajiban penyelenggara. Ketentuan ini telah diatur dalam PMK nomor 22 tahun 2023 yang dapat diakses melalui https://bit.ly/PMK22tahun2023/. Bagi penyelenggara aglomerasi pabrik yang telah memenuhi persyaratan harus menyampaikan permohonan dan melakukan pemaparan proses bisnis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama tempat usaha tersebut dijalankan.

Pengusaha pabrik hasil tembakau yang akan menjalankan kegiatan usaha pada aglomerasi pabrik hasil tembakau wajib memiliki nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC). Untuk mendapatkan NPPBKC, pengusaha pabrik hasil tembakau harus mengajukan permohonan NPPBKC sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan di bidang cukai dan juga melakukan pemaparan proses bisnis.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer