Paparan intoleransi, kekerasan, dan perundungan (bullying) berpotensi membawa anak masuk ke jaringan radikal terorisme.
Sikap intoleransi, kekerasan, dan perundungan masih menjadi isu yang berkembang di tanah air, termasuk di dunia pendidikan. Sejumlah kasus yang dilatarbelakangi oleh hal-hal itu masih acap terjadi di tengah-tengah kegiatan belajar mengajar di sekolah. Terkait hal itulah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggagas munculnya Sekolah Damai.
Program Sekolah Damai tersebut merupakan salah satu dari tujuh program prioritas BNPT di 2024. Disampaikan Direktur Pencegahan BNPT RI Irfan Idris, paparan terhadap sikap inteloransi dan kekerasan, bahkan juga perundungan dapat menyeret anak masuk dalam jaringan gerakan radikal atau terorisme. Oleh karena itulah, Irfan menuturkan, para guru perlu memiliki pemahaman yang tepat atas fenomena itu tersebut, sehingga kelak mampu memberikan pencerahan dan pemahaman yang baik terhadap anak didik.
“Sekolah Damai merupakan upaya untuk merapatkan barisan menjaga anak-anak dari paparan tersebut,” katanya, saat meresmikan Sekolah Damai di SMAN 39, Jakarta, pada Selasa (11/6/2024).
Peresmian Sekolah Damai di SMAN 39 Jakarta itu merupakan merupakan kegiatan kelima setelah kegiatan serupa yang digelar di Palu (Sulawesi Tengah), Serang (Banten), Banyuwangi (Jawa Timur), dan Semarang (Jawa Tengah). Dijelaskan Irfan, Sekolah Damai merupakan program pelatihan bagi guru-guru bidang studi pendidikan kewarganegaraan (PKN), bimbingan dan konseling (BK), serta agama.
Diketahui, kegiatan Sekolah Damai memang bertujuan untuk menyosialisasikan nilai-nilai kedamaian di sekolah, sehingga guru menjadi corong untuk menyuarakan nilai-nilai perdamaian agar siswa/siswi tidak mudah terpapar paham radikal terorisme. Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Damai, guru dan siswa mampu menciptakan kedamainan di antara sesama serta anak-anak.
“Mereka diberi pemahaman agar bisa membedakan paham sesat dan ajaran agama yang benar maupun yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya.
Menerjemahkan Pancasila
Pada kesempatan itu pula, Irfan Idris mengungkapkan bahwa kemampuan menerjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam bahasa yang berkembang di kalangan milenial mampu melawan sikap intolerasi dan kekerasan yang kerap terjadi di satuan pendidikan.
"Jadi memang tidak bisa lagi menjelaskan nilai-nilai Pancasila hanya dengan pengertian sila pertama sampai sila kelima. Melainkan harus dengan memberi penjelasan dengan kalimat dan cara-cara anak-anak zaman sekarang," ujarnya.
Lebih jauh, Irfan Idris mengungkapkan, Pancasila merupakan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang serta turun-temurun diwariskan oleh para pendiri dan nenek moyang bangsa Indonesia. Pancasila terbukti mampu menyatukan berbagai keragaman Indonesia.
“Sehingga, memang menjadi keharusan untuk terus menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Irfan juga mencontohkan bahwa banyak negara di dunia yang terlibat perang saudara karena hanya berbeda etnis atau suku. Hal itu terjadi, sambung dia, karena mereka tidak memiliki Pancasila.
Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Purwosusilo menyambut baik gelaran Sekolah Damai di SMAN 39. Purwosusilo berharap kegiatan tersebut membawa manfaat dalam melawan berbagai bentuk intoleransi, kekerasan, dan perundungan di satuan pendidikan.
Bicara intoleransi, menurut dia, tentunya menjadi salah satu penyebab terjadinya perundungan di lingkungan satuan pendidikan yang jelas menimbulkan lingkungan sekolah tidak kondusif. "Intinya, isu intoleransi, kekerasan, dan perundungan masalah serius yang sangat mengganggu tatanan di sekolah," kata Purwosusilo.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Elvira Inda Sari