Indonesia.go.id - Sinergisitas Kebijakan Dongrak Neraca Dagang

Sinergisitas Kebijakan Dongrak Neraca Dagang

  • Administrator
  • Minggu, 19 Mei 2024 | 07:34 WIB
PERDAGANGAN
  BPS menambahkan, surplus neraca perdagangan April 2024 ditopang oleh surplus neraca komoditas non migas, satu di antaranya industri besi dan baja. KEMENPERIN
Surplus neraca perdagangan Indonesia terjadi dalam 48 bulan secara berturut-turut, sejak Mei 2020, atau dalam kurun 4 tahun.

Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia di periode April 2024 sebesar USD3,56 miliar. Surplus itu lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada Maret 2024 sebesar UD4,58 miliar.

Tren surplus itu dinilai postitif. Pasalnya, tren tu cukup bagus dan positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut meskipun sikap waspada tetap di kedepankan di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan, angka neraca perdagangan Indonesia pada April 2024 yang mencatatkan surplus itu turun sebesar USD1,02 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Menurut Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini, surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat merupakan yang ke-48 bulan dan terjadi secara berturut-turut sejak Mei 2020 atau selama 4 tahun beruntun.

“Meski demikian surplus April 2024 lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan bulan yang sama tahun lalu,” jelas Pudji dalam Rilis BPS, Rabu (15/5/ 2024).

BPS menambahkan, surplus neraca perdagangan April 2024 ditopang oleh surplus neraca komoditas non migas sebesar USD5,17 miliar. Disumbang oleh komoditas bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja.

Sedangkan, neraca perdagangan untuk komoditas migas menunjukkan defisit sebesar USD1,61 miliar, utamanya komoditas penyumbang defisit, yaitu hasil minyak dan minyak mentah.

Sementara itu, tiga negara dengan surplus neraca perdagangan nonmigas terbesar bagi Indonesia, yaitu India mengalami surplus sebesar USD1,46 miliar, didorong oleh komoditas bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, serta logam mulia dan perhiasan/permata.

Kemudian, Amerika Serikat (AS) mengalami surplus sebesar USD1,09 miliar dan Filipina mengalami surplus USD0,70 miliar. Di sisi lain, terdapat tiga negara yang mengalami defisit terbesar.

Ketiga negara itu masing-masing Australia yang tercatat defisit sebesar USD0,44 miliar dengan komoditas utamanya bahan bakar mineral, biji logam terak dan abu, serta serealia. Selanjutnya, Brasil mengalami defisit sebesar USD0,39 miliar dan Thailand mengalami defisit sebesar USD0,16 miliar.

 

Ketahanan Eksternal

Menanggapi kinerja neraca perdagangan periode April 2024, Kepala Departemen Komunikasi, yang juga Asisten Gubernur Bank Indonesia Erwin Haryono menilai, tren neraca perdagangan yang tergambarkan di periode April 2024 merupakan gambaran yang positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut.

“Ke depan, kami akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas lain guna terus meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan,” ujarnya.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana proyeksi ke depan neraca perdagangan Indonesia pada 2024? Dalam konteks makro ekonomi, prospek ekonomi mitra dagang utama kini diselimuti awan gelap. Mereka masih mengalami perlambatan ekonomi.

Situasi itu juga terkonfirmasi dari proyeksi ekonomi yang dilakukan Asian Development Bank (ADB). Menurut rilis Bank Pembangunan Asia itu pada Kamis (11/4/2024), institusi itu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5 persen pada 2024 dan 2025.

ADB memperkirakan permintaan di dalam negeri akan terus mendorong pertumbuhan dan mengimbangi kontribusi yang lebih lemah dari ekspor neto.

“Konsumsi swasta yang kuat, belanja infrastruktur publik, dan investasi yang secara bertahap membaik akan membantu menopang pertumbuhan PDB,” tulis ADB dalam laporan Asian Development Outlook.

Namun, dari sisi ekspor, ekspor Indonesia, khususnya komoditas batu bara ke India, akan meningkat ke depannya. Mengingat, negara ini sedang memasuki musim panas, yang biasanya berlangsung pada Maret hingga Juni.

Kenaikan suhu udara yang signifikan akan meningkatkan permintaan batu bara, terutama untuk pembangkit listrik. Di sisi lain, diprediksi ekspor Indonesia ke Tiongkok akan mengalami pemulihan hingga kuartal kedua 2024, didorong oleh beberapa faktor, termasuk pemulihan permintaan domestik dan penyesuaian yang sedang berlangsung di berbagai sektor ekonomi. 

Perkembangan ini tentu akan mendorong ekspor, terutama batu bara untuk industri kelistrikan. Berpijak dari asumsi di atas, sepanjang 2024 surplus perdagangan secara keseluruhan bisa jadi akan lebih rendah karena dua mitra dagang terbesar Indonesia, Amerika Serikat, dan Tiongkok, diperkirakan mengalami perlambatan pertumbuhan.

Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan di sektor perdagangan perlu lebih keras lagi untuk menuntaskan sejumlah pekerjaan rumah untuk mendongkrak neraca perdagangan Indonesia sehingga ke depannya lebih positif dan lebih baik lagi.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer