RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, antara lain, menjamin pemberian cuti enam bulan bagi ibu pekerja yang bersalin serta cuti bagi suami.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kesejahteraan ibu dan anak. Angka kematian ibu dan bayi merupakan dua indikator utama yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan di suatu negara. Di Indonesia dua hal ini menjadi perhatian pemerintah karena angka kematian ibu dan bayi di tanah air masuk peringkat tiga besar di ASEAN.
Mengacu data Sensus Penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) 18 Juli 2023, angka kematian ibu melahirkan mencapai 189 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini, membuat Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN, dalam hal kematian ibu, jauh lebih tinggi daripada Malaysia, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang sudah di bawah 100 per 100 ribu kelahiran hidup.
Adapun kematian bayi tercatat mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan begitu, dari 1.000 kelahiran hidup bayi-bayi itu, yang tidak akan mencapai usia satu tahun sekitar 17 orang.
Penurunan angka kematian ibu dan bayi menjadi salah satu program prioritas yang dijalankan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sejumlah program dilakukan Kemenkes, seperti program sebelum kehamilan, saat hamil, dan juga perawatan untuk bayi prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Kebijakan Kemenkes tersebut tentunya tidak cukup. Tidak hanya faktor kesehatan yang menjadi ukuran, melainkan juga perlindungan seutuhnya bagi ibu-anak serta regulasi yang membuat lingkungan tumbuh kembangnya anak berkualitas.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR RI sepakat membuat peraturan perundangan berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Setelah diusulkan sebagai RUU Inisiatif DPR sejak 2022 akhirnya Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang.
“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” kata Ketua DPR RI Puan Maharani di Ruang Rapat Paripurna, Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (4/6/2024). Pertanyaan itu dijawab setuju oleh seluruh anggota dan perwakilan fraksi yang hadir pada Rapat Paripurna DPR RI.
Pada kesempatan tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menjelaskan, secara substansial RUU ini menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga. Menurutnya`, kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama. Selain itu, seorang ibu juga memerlukan ruang untuk tetap berdaya selama anak dalam fase seribu hari pertama kehidupan.
"Oleh karenanya, suami wajib memberikan kesehatan, gizi, dukungan pemberian air susu ibu, dan memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi. Meringankan beban ibu dan terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik merupakan prasyarat penting kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan," imbuh Menteri PPPA.
Beberapa pokok-pokok pengaturan dalam RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disepakati oleh Komisi VIII DPR RI bersama pemerintah, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, perubahan judul dari Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Kedua, penetapan definisi anak dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, khusus definisi anak pada 1.000 hari pertama kehidupan yaitu kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan berusia dua tahun, sedangkan definisi anak secara umum dapat merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ketiga, perumusan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Setiap ibu yang bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Keempat, penetapan kewajiban suami untuk mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama dua hari dan dapat diberikan tambahan tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Bagi suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti dua hari.
Kelima, perumusan tanggung jawab ibu, ayah, dan keluarga pada fase seribu hari pertama kehidupan. Demikian pula tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.
Keenam, pemberian jaminan pada semua ibu dalam keadaan apapun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus. Di antaranya, ibu berhadapan dengan hukum; ibu di lembaga pemasyarakatan, di penampungan, dalam situasi konflik dan bencana; ibu tunggal korban kekerasan; ibu dengan HIV/AIDS; ibu di daerah tertinggal terdepan dan terluar; dan/atau ibu dengan gangguan jiwa; termasuk juga ibu penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan peraturan perundangan mengenai penyandang disabilitas.
Undang-Undang tentang KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan terdiri atas 9 bab dan 46 pasal yang diantaranya mengatur hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi, pendanaan, dan partisipasi masyarakat.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari