Pemerintah daerah harus mampu dan konsisten menerapkan kerangka kerja logis dalam mengimplementasikan strategi nasional melawan stunting.
Advisor Tata Kelola Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur USAID-ERAT Programme George Hormat menyoroti adanya persoalan serius terkait penerapan kerangka kerja logis oleh pemerintah daerah dalam penanganan stunting di tanah air. Permasalahan ditemukan, kata dia, mulai dari tahap perencanaan penganggaran, implementasi, hingga monitoring.
“Persoalan stunting ini 90 persen ada di level bagaimana pemda menerjemahkan kerangka kerja logis dalam strategi nasional. Perencanaan penganggaran, implementasi, dan monitoring sangat bergantung pada kemampuan daerah untuk memahami dan menerapkan kerangka kerja ini,” Demikian disampaikan George dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang digelar secara online dengan topik seputar upaya mengejar target penurunan stunting hingga 14 persen, pada Rabu (29/5/2024).
Diketahui, sebagai organisasi nirlaba, USAID-ERAT fokus membantu pemerintah daerah dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik. Diharapkan, peran USAID-ERAT juga dapat meningkatkan kualitas layanan publik, termasuk dalam penanganan stunting.
“Pendampingan akan kami fokuskan pada tata kelola pemerintahan. Sehingga, masyarakat dapat menerima lebih banyak manfaat dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah (pemda),” jelas George.
Lebih lanjut George mengungkapkan, jika 90 persen menyangkut penerapan kerangka kerja logis aparatur di pemerintahan daerah, maka 10 persen lainnya terletak pada logical framework Strategi Nasional itu sendiri. Dia menyarankan, segera dilakukan perbaikan demi meningkatkan efektivitas penanganan.
“Ada sejumlah indikator yang redundant, kurang tepat diterapkan, dan bukan determinan dari persoalan stunting. Ini perlu diperbaiki agar lebih efektif,” jelasnya.
Sementara itu, terkait cakupan pelayanan yang belum memadai, George mengusulkan adanya penggabungan pelayanan. Hal itu perlu dilakukan, sambung dia, untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang tersedia.
Sedangkan persoalan terkait monitoring, George mengingatkan, masih terdapat misleading pada pengolahan data. Hal tersebut, kata dia, menyebabkan adanya perbedaan pemahaman yang berdampak pada pengambilan kebijakan oleh masing-masing pemerintah daerah.
“Ini menunjukkan perlu adanya perbaikan dalam pengumpulan dan interpretasi data. Misalnya, indikator data kehamilan yang tidak diinginkan. Ada yang menggunakan konsep hak perempuan dan konsep perencanaan kehamilan. Tapi pemerintah daerah menggunakan konsep kehamilan berisiko, yang dikenal dengan terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu banyak (4T). Itu kan merupakan dua parameter yang berbeda yang akan membawa konsekuensi pada pengambilan kebijakan,” jelas George.
Indikator Harus Logis
Pada kesempatan itu, Gorge mengingatkan bahwa indikator yang dikejar harus yang logis dan tidak hanya berfokus pada outcome. Ia mencontohkan adanya mekanisme screening anemia yang dijadikan acuan untuk pengambilan tindakan lanjut.
“Persoalannya, yang kami temukan di lapangan, pemberian tablet tambah darah tidak ada hubungannya dengan screening. Masih banyak indikator yang membuat kita susah berkonsentrasi pada layanan mana yang harus kita awasi,” katanya.
Untuk mengatasi permasalahan itu, USAID-ERAT bekerja sama dengan pemerintah daerah memperbaiki penerapan kerangka kerja yang logis dan memastikan indikator yang digunakan relevan dan efektif. “Kami berusaha memastikan bahwa indikator yang digunakan benar-benar logis dan dapat mendukung tindakan lanjut yang diperlukan,” kata George.
Dengan pendampingan dan perbaikan tata kelola tersebut, George menandaskan, prevalensi stunting di tiap daerah diharapkan bisa berkurang secara signifikan. Perlawanan terhadap tingginya angka stunting di Indonesia memang terus dilakukan. Upaya terkini, pemerintah mengintegrasikan data angka stunting hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dengan hasil Survei Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM).
Langkah integrasi data itu berperan penting, menurut Menko Muhadjir, untuk mengetahui pencapaian program penanganan stunting di setiap daerah di tanah air. Terkait langkah tersebut, sambungnya, akan dilakukan pengukuran dan penimbangan anak dan balita akan dilakukan serentak pada Juni 2024.
Menko Muhadjir mengatakan, pengintegrasian data merupakan langkah preventif yang akan diambil oleh pemerintah untuk menekan angka stunting di Indonesia. “Seluruh kader posyandu dan pendamping warga semua bergerak untuk melakukan pengukuran dan penimbangan secara nasional, dan mengawasi semua berlangsung dengan benar,” kata Menko Muhadjir.
SKI mencatat, prevalensi stunting pada 2023 masih berada di angka 21,5 persen atau hanya turun 0,1 persen dibandingkan data 2022.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari