Indonesia.go.id - Tonggak Hilirisasi: Babak Baru Industri Tembaga Indonesia

Tonggak Hilirisasi: Babak Baru Industri Tembaga Indonesia

  • Administrator
  • Kamis, 26 September 2024 | 07:30 WIB
INDUSTRI
  Presiden Joko Widodo melakukan peninjauan sejumlah fasilitas yang ada di kawasan PT Freeport Indonesia (PT FI), Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, pada Senin, 23/09/ 2024. SETPRES
Investasi Rp56 triliun dalam pembangunan smelter ini menjadi cerminan komitmen untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tidak hanya mengandalkan SDA mentah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk yang bernilai tinggi. Era baru hilirisasi mineral di Indonesia kini telah dimulai.

Operasional smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur, yang diresmikan pada Senin, 23 September 2024, menjadi tonggak bersejarah bagi industri pertambangan di Indonesia. Pembangunan smelter ini bukan hanya simbol penting dari upaya hilirisasi sumber daya alam (SDA) yang diinisiasi oleh pemerintah, tetapi juga merupakan buah dari negosiasi panjang dan perjuangan untuk mewujudkan pengolahan mineral dalam negeri.

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat peresmian mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terberat dalam sepuluh tahun masa jabatannya adalah meyakinkan perusahaan tambang internasional untuk membangun smelter di Indonesia. "Saya ingat, pekerjaan yang berat dan melelahkan selama saya menjabat sebagai Presiden adalah mengajak perusahaan pertambangan membangun smelter. Ini adalah pekerjaan yang sangat berat," ungkap Presiden.

Pernyataan tersebut menggambarkan perjalanan panjang yang harus ditempuh untuk membawa investasi besar seperti pembangunan smelter PT Freeport ini. Salah satu tantangan utama adalah meyakinkan Freeport-McMoRan Inc (FCX), induk PTFI, untuk menginvestasikan Rp56 triliun guna membangun smelter katoda tembaga single line terbesar di dunia.

Negosiasi Alot dan Investasi Besar

Negosiasi antara Indonesia dan Freeport terkait pembangunan smelter di Gresik mulai intensif pada 2017. Pada saat itu, Presiden Jokowi dan Richard Adkerson, Chairman FCX, terlibat dalam diskusi panjang untuk mencapai kesepakatan. Namun, prosesnya tidak mudah. "Negosiasinya sangat alot karena kita tahu, investasi sebesar Rp56 triliun itu sangat besar bagi perusahaan mana pun," jelas Jokowi.

Investasi ini merupakan komitmen besar dari Freeport, yang harus mempertimbangkan keuntungan jangka panjang dari pembangunan fasilitas smelter. Pada 2018, persiapan lahan smelter akhirnya dimulai, dan groundbreaking dilakukan oleh Presiden Jokowi. Setelah lebih dari 30 bulan pengerjaan, smelter ini resmi beroperasi pada 2024.

Smelter Gresik ini akan memainkan peran vital dalam industri tambang Indonesia. Sebelum smelter ini beroperasi, banyak hasil tambang, termasuk konsentrat tembaga dari tambang Grasberg di Papua, diekspor dalam bentuk mentah tanpa nilai tambah yang signifikan. Dengan adanya fasilitas ini, konsentrat tembaga bisa diolah di dalam negeri menjadi produk bernilai tinggi, seperti katoda tembaga, emas, dan perak.

Dampak Ekonomi dan Kontribusi Sosial

Pembangunan smelter Freeport tidak hanya berdampak pada pengembangan industri pertambangan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Presiden Jokowi memperkirakan penerimaan negara dari proyek ini akan mencapai Rp80 triliun. "Dengan investasi sebesar Rp56 triliun, penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp80 triliun, baik dari dividen, royalti, pajak penghasilan badan, PPh karyawan, pajak daerah, serta bea keluar dan pajak ekspor," papar Jokowi.

Kontribusi ekonomi ini menunjukkan bahwa hilirisasi SDA dapat meningkatkan nilai tambah bagi negara secara signifikan. Dengan smelter yang mampu memproses 1,7 juta ton konsentrat tembaga setiap tahun, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan mulai mengekspor produk yang sudah diolah.

Selain itu, pembangunan smelter juga sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri maju. "Dengan smelter ini, harapan kita untuk menjadi negara industri yang mengolah sumber daya alam kita sendiri semakin nyata. Kita tidak lagi hanya mengekspor bahan baku mentah," tegas Presiden.

Smelter Freeport di Gresik juga memberikan dampak positif terhadap penciptaan lapangan kerja. Menurut Presiden Direktur PTFI, Tony Wenas, pada saat beroperasi penuh, smelter ini akan mempekerjakan 2.000 orang, yang terdiri dari 1.200 karyawan kontraktor dan 800 karyawan langsung dari PTFI. Selama masa konstruksi, lebih dari 40.000 tenaga kerja telah dilibatkan dalam proyek ini.

Dengan kapasitas penuh, smelter ini mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga setiap tahun, menghasilkan 600 hingga 700 ribu ton katoda tembaga. "Kapasitas input konsentrat akan terus meningkat setiap bulan hingga mencapai 100% pada Desember, yaitu sebesar 1,7 juta ton," jelas Tony Wenas.

Selain katoda tembaga, smelter ini juga akan memproduksi emas batangan, perak batangan, dan beberapa mineral lainnya melalui fasilitas Precious Metal Refinery (PMR) yang direncanakan selesai pada waktu yang bersamaan. Dengan produksi emas mencapai 50 hingga 60 ton per tahun dan perak sekitar 220 ton, fasilitas ini akan memberikan tambahan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.

Hilirisasi yang Tertinggal Sebelum Smelter

Sebelum pembangunan smelter Freeport di Gresik, industri tambang di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengolah hasil tambang di dalam negeri. Sebagian besar konsentrat tembaga dari tambang Grasberg di Papua, misalnya, diekspor ke luar negeri tanpa melalui proses pemurnian. Hal ini menyebabkan Indonesia kehilangan potensi nilai tambah yang besar dari SDA yang dimiliki.

Situasi ini mencerminkan ketertinggalan Indonesia dalam hal hilirisasi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah lebih dulu membangun industri pengolahan mineral. Hasil tambang seperti tembaga, emas, dan perak hanya diekspor dalam bentuk mentah, sementara negara-negara penerima manfaat terbesar dari bahan mentah ini memperoleh keuntungan besar dari produk olahan.

Langkah pembangunan smelter Freeport ini menjadi solusi bagi tantangan tersebut. Dengan fasilitas pemurnian yang ada, Indonesia kini bisa mengolah konsentrat tembaga di dalam negeri dan mengekspor produk akhir dengan nilai jual yang jauh lebih tinggi.

Smelter Freeport di Gresik bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi merupakan simbol dari kesuksesan Indonesia dalam upaya hilirisasi SDA. Pembangunan smelter ini membuka jalan bagi industri lain untuk melakukan hal serupa, yaitu mengolah bahan mentah menjadi produk akhir yang bernilai tinggi.

Smelter ini merupakan fasilitas pemurnian tembaga single line terbesar di dunia, dengan berbagai fasilitas pendukung seperti pelabuhan, gudang konsentrat, pabrik oksigen, pengolahan asam sulfat, instalasi pengolahan air limbah, dan banyak lagi. Fasilitas ini mencerminkan komitmen Freeport dan pemerintah Indonesia untuk membangun industri hilir yang kuat dan berkelanjutan.

Dengan adanya smelter ini, Indonesia tidak hanya mengurangi ekspor bahan mentah, tetapi juga meningkatkan kapasitas industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi. "Ini adalah langkah besar menuju cita-cita kita menjadi negara industri maju," pungkas Presiden Jokowi.

Era Baru Hilirisasi di Indonesia

Sebelum pembangunan smelter ini, Indonesia dikenal sebagai eksportir bahan tambang mentah. Konsentrat tembaga dan mineral lainnya diekspor tanpa melalui proses pengolahan. Negara-negara pengimpor kemudian mengolah bahan tersebut menjadi produk jadi dengan nilai jual yang jauh lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan Indonesia hanya memperoleh pendapatan dari bahan mentah, sementara nilai tambah produk hilir dinikmati oleh negara lain.

Namun, dengan operasional smelter Freeport, situasi ini berubah drastis. Indonesia kini bisa mengolah SDA di dalam negeri, menciptakan nilai tambah lebih besar, dan mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah. Smelter Freeport di Gresik menjadi simbol transformasi dari negara eksportir bahan mentah menuju pengolah dan produsen produk industri berteknologi tinggi.

Smelter Freeport bukan hanya proyek industri tambang, tetapi juga bagian dari visi besar Indonesia untuk memajukan sektor hilirisasi dan menciptakan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Investasi Rp56 triliun dalam pembangunan smelter ini adalah cerminan komitmen untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tidak hanya mengandalkan SDA mentah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk yang bernilai tinggi. Era baru hilirisasi mineral di Indonesia kini telah dimulai.

 

Penulis: Eri Sutrisno

Redaktur: Ratna Nuraini/TR