Pemanfaatan ICS membantu lembaga keuangan menilai risiko kredit UMKM lebih akurat, sekaligus membuka peluang pembiayaan bagi pelaku usaha.
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Hanya saja, akses pembiayaan yang terbatas seringkali menjadi hambatan utama bagi pengembangan usaha tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong berbagai inovasi dan kemudahan akses kredit bagi sektor ini, termasuk pemanfaatan Innovative Credit Scoring (ICS) sebagai alternatif penilaian kelayakan kredit. Sistem credit scoring tradisional umumnya mengandalkan data keuangan historis calon debitur, yang seringkali sulit diakses oleh UMKM, yang baru merintis atau belum memiliki rekam jejak kredit.
ICS menawarkan solusi dengan menggunakan data alternatif untuk menilai kelayakan kredit UMKM, seperti data telekomunikasi, e-commerce, dan media sosial. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, pemanfaatan ICS dapat membantu lembaga keuangan menilai risiko kredit UMKM lebih akurat, sekaligus membuka peluang bagi lebih banyak pelaku usaha untuk mendapatkan pembiayaan.
Selain itu, OJK sedang mempersiapkan peraturan baru yang memberikan peluang lebih besar bagi bank untuk menggunakan ICS dalam melakukan asesmen kredit UMKM. “Langkah ini diharapkan dapat memitigasi risiko dan meningkatkan penyaluran kredit kepada segmen ini secara lebih optimal,” ujarnya, Senin (23/9/2024).
Rasio Kredit Meningkat
Pemerintah menargetkan peningkatan rasio kredit perbankan untuk UMKM menjadi 30 persen pada 2024. Sebelumnya, rasio kredit UMKM masih di bawah 20 persen. Dengan adanya arahan presiden, Kementerian Koperasi dan UKM terus memperkuat upaya pendampingan bagi pelaku UMKM.
Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan literasi keuangan UMKM, sehingga mereka lebih siap mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan. Kendati terdapat berbagai inisiatif, tantangan utama dalam penyaluran kredit UMKM adalah tingginya risiko kredit.
Secara umum, loan at risk (LAR) terus mengalami penurunan. Namun, non-performing loan (NPL) UMKM pada Juni 2024 turun menjadi 4,04 persen, menandakan bahwa bank telah memitigasi risiko dengan baik, termasuk dengan membentuk cadangan yang cukup.
Meskipun demikian, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM masih menjadi tantangan tersendiri, terutama setelah berakhirnya relaksasi restrukturisasi kredit terkait pandemi.
Peran Industri IKNB
Tidak hanya perbankan, Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) juga memainkan peran penting dalam pembiayaan UMKM. OJK mencatat bahwa penyaluran pembiayaan oleh perusahaan multifinance pada UMKM mencapai Rp182,56 triliun pada Juli 2024, naik 11,23 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun ada peningkatan, kapasitas pembiayaan IKNB diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 15 persen dari kebutuhan pembiayaan UMKM yang mencapai Rp1.519 triliun.
Menurut Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda, tantangan utama dalam pembiayaan UMKM oleh IKNB adalah profil risiko yang masih tinggi, terutama karena banyak UMKM yang belum bankable dan tidak memiliki agunan. Solusi inovatif seperti ICS diharapkan dapat membantu mengatasi tantangan ini.
Untuk menjaga keberlanjutan pembiayaan UMKM, kolaborasi antara pemerintah, OJK, dan lembaga jasa keuangan sangat diperlukan. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memberikan dukungan kepada perbankan dapat dijadikan contoh untuk industri keuangan non-bank, seperti perusahaan multifinance dan fintech lending.
Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan akses pembiayaan bagi UMKM akan semakin luas dan inklusif, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih berkelanjutan.
Dengan terus berkembangnya inovasi seperti ICS, serta komitmen pemerintah dan lembaga keuangan dalam mendukung UMKM, diharapkan sektor ini akan semakin kuat dan mampu menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/TR