Seperti pada vaksin program pemerintah, vaksin gotong royong pun gratis sepenuhnya. Tak ada pungutan apa pun bagi penerimanya.
Di mana saja dan kapan saja, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) belakangan ini terus bicara atau ditanya soal vaksin. Tak heran bila dalam kesempatan kunjungan kerja di Nusa Dua Bali, Minggu (28/2/2021), tema vaksin mengemuka lagi. Apalagi, kunjungan hari itu adalah menghadiri peresmian Grab Vaccine Center di kawasan wisata itu.
Namun kali ini Menteri Kesehatan lebih banyak menjelaskan tema vaksin yang isunya sedang hangat. Yang ditekankan oleh Menteri BGS adalah baik vaksin program yang ditanggung negara, maupun vaksin gotongroyong yang dibiayai badan hukum swasta, keduanya akan berjalan seiring dan tidak akan saling mengganggu.
Kedua langkah itu akan berada di bawah koordinasi dan diawasi pemerintah. “Vaksin gotong royong ini tak akan mengganggu tahapan prioritas yang telah ditetapkan pemerintah,” kata Menteri BGS. Bahkan, merek vaksinnya pun tidak akan sama. Maka, vaksinasi gotong royong itu tidak akan memakai merk Sinovac, AstraZeneca, Novavax, atau Pfizer, yang sudah dipesan pemerintah untuk vaksinasi yang sudah berjalan.
“Sengaja dibuat merknya tak boleh sama, supaya tidak terjadi saingan, rebutan suplainya. Jadi dipastikan bahwa ini adalah suplai tambahan dari sumber-sumber produsen vaksin di seluruh dunia, di luar empat(vaksin) yang pemerintah sudah dapatkan itu,” kata Menteri BGS. Seperti pada vaksin program pemerintah, vaksin gotong royong itu pun gratis sepenuhnya. Tak ada pungutan apa pun bagi penerimanya.
Vaksin gotong royong itu telah resmi menjadi keputusan pemerintah. Pengaturannya ada pada Keputusan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 10 tahun 2021 yang diterbitkan pada 25 Februari lalu. Permenkes tentang pelaksanaan vaksinasi bagi penanggulangan Pandemi Covid-19 itu tidak melulu mengatur vaksinasi gotong royong, melainkan juga memberikan penegasan bagi tata kelola vaksinasi program yang kini dihelat pemerintah.
Yang lebih banyak menarik perhatian tentunya vaksinasi gotong royong. Rencana ini sudah berbilang bulan dibahas, yang pada awalnya dinamakan sebagai vaksinasi mandiri. Namun, setelah pembahasan panjang akhirnya rencana ini disetujui dengan nama vaksinasi gotong royong. Sasarannya seperti disebut dalam Pasal 6 Ayat (2) Permenkes 10/2021 adalah karyawan/karyawati dan keluarganya.
Kalangan swasta menyambut baik rencana tersebut. Sampai hari Minggu siang (28/2/2021) ada sekitar 7.000 badan hukum/badan usaha mendaftarkan diri ke Kemenkes, melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Peserta yang akan diikutsertakan sekitar 6,7 juta orang. Agar tak terjadi tumpang-tindih dengan vaksnasi program pemerintah, peserta vaksinasi gotong royong itu harus menerakan identitas lengkap, yakni nama, alamat, dan nomor kependudukan.
Vaksinasi gotong royong ini juga dilakukan di bawah koordinasi pemerintah. Maka, dalam pengadaan vaksinnya pun harus melewati BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah, yakni PT Biofarma (Persero). Pihak swasta boleh berinisiatif berhubungan dengan industri vaksin di luar negeri, tapi dalam pelaksanaan pengadaannya, PT Biofarma yang akan menanganinya, tanpa mengambil keuntungan.
Keterlibatan Biofarma itu akan membuat pengadaannya terkontrol, sehingga tak bocor dan menjadi barang komersial. Selain itu, supaya mutu vaksin tetap terjaga. Karena PT Biofarma memiliki penyimpanan dan fasilitas distribusi dengan cold chain (rantai dingin) yang memadai.
Namun, dalam pelaksanaannya, vaksinasi gotong royong itu tak boleh diselenggarakan di fasilitas kesehatan (faskes) pemerintah, seperti RSUD atau Puskesmas, melainkan di faskes swasta atau milik badan usaha milik negara (BUMN).
Menkes BGS mengatakan yakin bahwa pihak swasta yang tertarik terjun ke vaksin gotong royong bukan untuk tujuan bisnis. ‘’Ini partisipasi sosial. Dengan bergerak bersama untuk menyukseskan program vaksinasi ini, yang mendapatkan manfaat adalah seluruh bangsa,’’ ujar Budi Gunawan Sadikin.
Manfaat konkret partisipasi swasta itu, menurut menkes BGS, adalah meningkatkan suplai vaksin ke masyarakat. ‘’Dengan demikian juga mempercepat terjadinya imunitas kelompok (herd imunnity),” Menkes menambahkan.
Percepatan vaksinasi sangat perlu karena efikasi (kemanjuran) vaksin juga berlomba dengan dengan waktu. Efikasinya bisanya merosot bila di lapangan berkembang banyak virus Covid-19 varian baru.
PT Biofarma sudah menjajaki peluang membeli vaksin Moderna buatan Amerika (AS) dan Sipmopharm dari Tiongkok. Moderna sudah meraih izin edar darurat atau emergency use authority (EUA) di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sedangkan Sinopharm sudah menggaet EUA dan digunakan secara luas di Uni Emirat Arab, setelah mencatatkan angka efikasi (kemanjuran) 86 persen, dalam uji klinis tahap 3 di negara Teluk itu. Semua vaksin itu harus mendapatkan sertifikat EUA dari Badan Pengawasan Obat dan makanan (BPOM) sebelum digunakan.
Menteri Budi Gunadi menuturkan, suplai vaksin Covid-19 ini secara global masih terbatas. Negara-negara di dunia, yang jumlahnya lebih dari 200, berebut vaksin. Indonesia, menurut Budi Gunadi, termasuk yang negara yang mendapat kesempatan melakukan vaksinasi lebih awal. Sementara itu, negara lain di Asean, termasuk Australia, belum semuanya mendapat vaksin. ’’Ini jadi rebutan di seluruh dunia, dan kita beruntung bisa dapat duluan,”ujarnya.
Target vaksinasi nasional menyasar 181,5 juta rakyat Indonesia atau itu berarti butuh 363 juta kali suntikan, yang diharapkan selesai dalam satu tahun. Untuk percepatan vaksinasi tersebut, partisipasi swasta tentu sangat berarti. Permen 10/2021 itu juga mengatur adanya jaminan kompensasi bisa ada bukti kausalitas antara vaksinasi dan efek samping, atau kejadian ikutan pascavaksinasi, yang mengakibatkan catat atau kematian.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari