Pemerintah Indonesia terus melakukan pembangunan jalan Trans Papua yang sudah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Pemerintah juga melakukan pembangunan dan rehabilitasi di 15 pelabuhan untuk mendukung distribusi barang dan kegiatan ekonomi lain di Papua. Selain juga melakukan pembangunan bandara baru dan peningkatan kualitas bandara lama.
Pengembangan bandara dilakukan di bandara DEO Sorong, Bandara Dekai Yahukimo, Bandara Wamena, dan Bandara Utarom Kaimana. Sedangkan pembangunan bandara baru dilakukan di Werur Koroway Batu. Semua pembanguan infrastruktur itu bertujuan mempercepat dan memeratakan pembangunan ekonomi di kedua provinsi tersebut.
Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) XVIII Jayapura optimistis jalan Trans Papua seluruhnya terkoneksi pada tahun ini. Kepala BBPJN XVIII Jayapura Osman Marbun di Jayapura baru-baru ini mengatakan capaian pembangunan jalan Trans Papua hanya tersisa 30 kilometer dari total 3.259 kilometer di seluruh Provinsi Papua.
Osman mengatakan, masih ada sekitar 4.000 unit jembatan yang harus dibangun termasuk gorong-gorong. Tapi dia optimistis target itu bisa tercapai jika tak ada kendala teknis maupun nonteknis.
Bentangan 30 km jalan Trans Papua yang belum tembus itu tersebar di wilayah perbatasan Nabire-Papua Barat sepanjang 8 kilometer, Enarotali-Wamena 18 kilometer, sedangkan sisanya 4 kilometer jalan yang menghubungkan Kenyam-Dekai.
Pembangunan jalan di Papua terbagi tiga kategori yaitu jalan nasional, jalan Trans Papua, dan jalan paralel perbatasan Papua. Dari ketiga kategori jalan tersebut, pembangunan jalan Trans Papua menjadi prioritas pemerintahan Jokowi selama periode 2015-2019. Total panjang jalan Trans Papua hingga Provinsi Papua Barat adalah 4.330 km. Ruas jalan trans di Papua Barat sepanjang 1.071 KM sudah tembus 100% dan ditargetkan tembus seluruhnya sampai Papua sampai akhir 2019.
Jalan Trans-Papua dirancang sepanjang 4.325 kilometer, yang dibagi menjadi jalan nasional sepanjang 2.685 kilometer dan nonnasional 1.379 kilometer. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, jalan Trans Papua ini merupakan jalan nasional, bukan jalan tol seperti Trans Jawa. Hingga 2018, total anggaran yang dibutuhkan untuk merampungkan jalan nasional ini mencapai Rp12 triliun.
Jalan Trans Papua, (dulu Irian Jaya) sudah mulai dirancang dan dikerjakan zaman presiden Soeharto tahun 80-an. Mereka mulai membangun dari Jayapura ke Wamena. Dan pergantian presiden berikutnya pun tetap jalan tapi tidak seagresif saat pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Proyek ini bertujuan menjadi pemecahan bagi keterisolasian dan kebuntuan pembangunan di Papua. Jalan darat merupakan salah satu pemecahan tingginya biaya distribusi barang di Papua.
Selama ini angkutan barang lebih banyak menggunakan pesawat terbang. Sehingga konsekuensinya harga harga melambung tinggi. Satu sak semen di pegunungan bintang, misalnya, bisa sampai 700 ribu per sak. Begitu juga BBM di Pegunungan Tengah Papua harganya bisa melambung tinggi berkali lipat dibanding harga di Jayapura.
Semua dana pembangunan Trans Papua dan Papua Barat berasal dari pusat. Namun begitu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden nomer 17 Tahun 2019 untuk tetap pelibatan pengusaha putra daerah dalam pengerjaannya.
Sementara itu kekhawatiran sebagian orang akan tersingkirnya masyarakat asli dan masuknya perilaku buruk dengan pembangunan jalan trans ini dijawab Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau PPN/Bappenas. Mereka sangat serius ikut merancang dan menangani kemungkinan aktivitas di sekitar jalan trans. Mereka akan memetakan potensi tiap segmen ruas jalan trans Papua untuk dijadikan kawasan permukiman terpadu pertanian, perkebunan, atau pariwisata baru. Pemetaaan itu dilakukan agar jalan Trans Papua lebih bermanfaat bagi masyarakat lokal.
Menurut Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Velix Fernando Wanggai, jalan trans itu harus bermanfaat bagi masyarakat lokal. Mereka ingin keberadaan jalan Trans Papua dimanfaatkan secara baik, dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat lokal di Papua.
Dalam mengembangkan kawasan pemukiman terpadu perkebunan, Bappenas akan memilih menanam pohon khas Papua, seperti matoa, kopi, dan pala. Selain dekat keseharian masyarakat asli Papua, matoa, kopi, maupun pala merupakan komoditas global. (E-2)