Indonesia.go.id - Agar Semua Pulih di Kuartal IV

Agar Semua Pulih di Kuartal IV

  • Administrator
  • Minggu, 21 Juni 2020 | 00:56 WIB
OUTLOOK EKONOMI
  Suasana terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/ M Agung Rajasa

Ekonomi global diprediksi baru pulih pada 2021 dengan syarat didukung oleh berbagai langkah stimulus. Indonesia bisa pulih lebih cepat.

Awan tebal tengah melintas di atas langit ekonomi Indonesia. Ihwal cuaca buruk itu disampaikan Andrea Goldstein, Head of Indonesia Desk Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD). Pejabat dari Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan itu tegas mengatakan bahwa ekonomi Indonesia pada akhir 2020 (full year) diperkirakan mengalami kontraksi sangat dalam, yaitu -2,5 persen hingga -3,9 persen. Jika, wabah virus corona (Covid-19) tidak tertangani secara optimal.

Prediksi itu mengemuka dalam webinar yang dihelat Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Selasa (17/6/2020). Andrea Goldstein menyebutkan, prediksi tersebut dikeluarkan setelah melihat perkembangan berbagai sektor ekonomi di Indonesia pada periode pandemi Covid-19.

Pandangan murung Andrea Goldstein itu melengkapi proyeksi OECD sebelumnya, yang dirilis awal Juni lalu, bahwa awan badai mengancam seluruh atmosfir ekonomi dunia. Ekonom global, menurut prediksi OECD, akan mengalami kontraksi sebesar -6 persen, bahkan bisa -7,6 persen bila terjadi second wave, gelombang kedua serangan Covid-19.

OECD mengingatkan bahwa kejadian wabah pandemi Covid-19 bisa memicu resesi paling parah dalam kurun seabad ini, dan menyebabkan kerusakan pada kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan manusia. Dalam situasi global yang gonjang-ganjing inilah, ekonomi Indonesia akan mengalami tekanan serius.

Andrea mengungkapkan pada skenario buruk, OECD memperkirakan hampir semua mesin pendorong ekonomi Indonesia akan terkontraksi. Private consumption (konsumsi rumah tangga) anjlok hingga -3,1 persen, gross fixed capital formation (pembentuk modal tetap bruto/PMTB) akan tumbuh negatif -4,6 persen, dan final domestic demand -2,7 persen.

Untuk skenario yang sangat buruk, private consumption (konsumsi rumah tangga) anjlok lebih dalam -4,4 persen, gross fixed capital formation -5,9 persen, dan final domestic demand -3,8 persen."Alokasi konsumsi pemerintah dan net ekspor masih positif, yaitu masing-masing 8,8 persen dan 0,1 persen," imbuhnya.

Director of Country Studies Economics Department OECD Alvaro Pereira mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan krisis kesehatan sekaligus ekonomi terparah sejak Perang Dunia II. Wabah virus corona telah menimbulkan disrupsi pada sektor kesehatan, ketenagakerjaan, dan membuat ketidakpastian di seluruh dunia. Dia memprediksi pemulihan ekonomi global akan berjalan lambat serta menimbulkan efek krisis yang berkepanjangan.

Pemulihan akibat pandemi Covid-19 seperti maraton, bukan sprint (lari cepat). Ada tiga tahap yang harus dilalui berbagai negara, termasuk Indonesia, yaitu fase penanganan kesehatan (containment) dengan cara mendatarkan kurva positif (flattening the curve), pemulihan aktivitas masyarakat, dan terakhir penemuan vaksin dan pengobatan secara berkesinambungan.

"Saat ini, dunia masih berada di fase II. Negara-negara di dunia mencoba untuk memulai kembali aktivitas sekaligus menghindari terjadinya second wave (gelombang kedua),” jelasnya.

 

Ekspor-Impor Tertekan

Prediksi OECD itu sedikit banyak terefleksikan pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru saja merilis laporan berkaitan dengan kinerja ekspor dan impor Indonesia. Dari laporan neraca perdagangan Mei 2020 (BPS), kinerja ekspor-impor tampak semakin tertekan akibat kontraksi di tengah rantai pasok global yang yang terhimpit Covid-19.

Memang, kinerja perdagangan selama Mei 2020 mengalami surplus USD2,09 miliar, namun tak cukup menggembirakan. Neraca perdagangan ekspor tercatat membukukan nilai USD10,53 miliar, sementara impor USD8,44 miliar. Meskipun surplus, kinerja ekspor turun 28,95 persen dibandingkan Mei 2019 dan menyusut 13,4 persen dibandingkan dengan April 2020. Produk ekspor tumbuh negatif di semua sektor seperti pertanian, manufaktur, dan pertambangan.

Bagaimana dengan kinerja ekspor nonmigas? Ambyar pula. Pada beberapa negara tujuan utama ekspor tercatat penyusutan serius sepanjang periode Mei. Ekspor ke Singapura misalnya, anjlok  41,76 persen dengan nilai USD335,8 juta. Berikutnya, ke Jepang merosot 20,67 persen dengan nilai USD215,7 juta.

Dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (15/6/2020), Kepala BPS Suhariyanto mengemukakan, kondisi ekspor pada Mei 2020 tercatat paling rendah sejak Juli 2016. Saat itu nilai ekspornya mencapai USD9,6 miliar.

Begitu juga dengan kinerja impornya. Impor Mei 2020 mengalami kontraksi paling dalam sejak 2009. “Penurunan ini tidak lepas dari pandemi Covid-19 yang melanda sejumlah negara. Setiap negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat pembatasan sosial, pelemahan daya beli, dan juga penurunan permintaan,” ujarnya.

Dari laporan BPS itu, jelas tergambarkan bahwa kinerja ekspor turun akibat permintaan dari pasar global yang rendah. Seiring dengan minimnya permintaan itu, kinerja industri juga melesu. Ini terlihat dari impor bahan baku sepanjang Januari-Mei 2020 yang ikut menyusut.

Meski masih mendominasi impor dengan nilai USD6,11 miliar, seperti dilaporkan BPS, impor bahan baku/penolong turun paling dalam dibandingkan kategori lain, yakni minus 34,66 persen dibandingkan April 2020, dan minus 43,03 persen dibandingkan dengan kondisi Mei 2019.

Dalam satu paparannya berkaitan dengan APBN kita, kinerja, dan fakta, Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (16/6/2020), memberikan gambaran betapa suramnya ekonomi global. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi global secara umum akan melambat atau kontraksi pada tahun ini. “Ekonomi global diprediksi baru pulih pada 2021 dengan syarat didukung oleh berbagai langkah stimulus,” katanya.

 

Kerja Keras

Menurut Sri Mulyani, pemerintah masih harus bekerja keras agar ekonomi sepanjang tahun ini tidak mengalami pertumbuhan negatif, bahkan resesi. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada efektivitas penanganan pandemi Covid -19.

Menkeu Sri Mulyani pun memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 mengalami negatif 3,1 persen. “Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memberikan tekanan ekonomi dalam negeri pada April dan berlanjut makin parah pada Mei.

Namun, dia masih optimistis pada kuartal III/2020 ekonomi Indonesia bisa menuju level 0 persen dan kembali positif pada kuartal IV/2020. “Kami menjaga agar ekonomi di tahun ini tidak mengalami resesi karena ada pemulihan di kuartal III dan IV.”

Untuk menggenjot pemulihan, pemerintah pun sudah menyiapkan jurus pamungkas bernama program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan anggaran yang disiapkan mencapai Rp695,2 triliun. Selain itu, pemerintah akan mempercepat penyaluran bantuan sosial untuk mengungkit kembali konsumsi masyarakat. Sayangnya, dari total anggaran perlindungan sosial sebesar Rp204,09 triliun, baru 28,63 persen yang teralisasi.

Bagi pelaku usaha, kondisi suram yang tergambarkan dari laporan BPS itu sudah menduganya dan bisa dirasakan. Begitu juga proyeksi yang diberikan OECD. Oleh karena itu, harapan agar roda ekonomi nasional bisa bergerak dan jadi pengungkit di tengah himpitan wabah pandemi, salah satunya dengan mendorong pemulihan permintaan domestik untuk menggerakkan roda ekonomi bangsa ini, terutama kinerja manufaktur nasional.

Pasalnya bila instrument menggenjot pasar ekspor yang dijadikan pengungkit, kondisinya saat ini jelas masih belum memungkinkan. Di sisi lain, pemain manufaktur global juga kini sudah mulai bergerak seiring dengan melonggarnya protokol lockdown di seluruh dunia.

Namun, yang menjadi pertanyaan besar lainnya bila instrument permintaan domestik yang digenjot, pemerintah tentunya harus segera mengucurkan jaring pengaman sosial (Bansos) secara tepat guna sehingga konsumen kelas bawah dan menengah bawah bisa segera bergerak.

Yang tak kalah penting tentu perlindungan pasar domestik dari serangan impor. Bila pasar domestik cukup terlindung, ia bisa mendongkrak utilitas pabrikan sektor manufaktur naik 10 persen setelah daya beli pulih.

Instrumen aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga diyakini akan menjadi lokomotif percepatan peningkatan utilitas sektor manufaktur dalam jangka menengah. Terlepas dari segala daya upaya agar roda ekonomi bisa segera pulih, tentu kita sepakat bahwa protokol kesehatan menjadi syarat mutlak proses produksi.

Harapannya, dunia usaha dan masyarakat agar tidak patah semangat dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Untuk itu, tiap elemen bangsa ini sebaiknya harus bisa menyadari keterbatasan maupun potensi yang bisa digali dari kondisi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 ini.

Bukan waktunya bagi dunia usaha untuk meminta berbagai relaksasi. Juga bukan waktunya bagi pemerintah untuk tidak efisien dalam mengelola anggaran.

 

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer