Sikap pemerintah terang-benderang menyikapi pandemi virus corona ini. Utamanya perlakuan terhadap tenaga medis sebagai ujung tombak penanganan pagebluk ini. Mereka harus difasilitasi secara maksimal.
Seperti dibahas pada artikel sebelumnya, (https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/merawat-ujung-tombak-layanan-medis) pemerintahan Joko Widodo sudah memfasilitasi dan memberikan apresiasi kepada tenaga kesehatan yang terlibat langsung penanganan wabah Covid-19 seperti dokter, perawat, pemburu terduga Covid-19, hingga para laboran.
Wajar saja, mereka memperoleh apresiasi dalam bentuk insentif bulanan hingga santunan duka. Pasalnya sebagai garda terdepan penanganan wabah, mereka banyak yang terpapar virus. Indikator itu bisa terlihat dari tingginya mortalitas tenaga kesehatan tersebut.
Dari catatan Situation Report Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 11 Juli 2020, setidaknya ada 34.070 dokter spesialis di 34 provinsi yang bersiaga menangani pasien Covid-19.
Para dokter ini juga mendapat dukungan dari 7.350 relawan medis terdiri dari mahasiswa fakultas kedokteran, poltekes, perawat senior, dan pensiunan dokter. Selain itu, sebanyak 297 laboratorium jejaring siap memeriksa spesimen para terduga dan probable Covid-19.
Kondisi pandemi serta penyebaran cepat Covid-19 membuat jumlah orang terpapar dengan kapasitas rumah sakit menjadi timpang, khususnya di wilayah-wilayah episentrum.
Desain kapasitas fasilitas layanan kesehatan dan tidak meratanya sumber daya manusia (SDM) di tanah air diakui belum mendukung kasus "outbreak" semasif ini.
Dari 668 rumah sakit rujukan Covid-19 setidaknya hanya di Aceh, Sumut, Sumbar, Banten, Jabar, Jatim, dan Kalbar jumlah dokter lebih banyak dari jumlah tempat tidur yang tersedia di RS.
Indonesia adalah negara dengan tingkat penyakit endemik tinggi, seperti Tuberkulosis (Tbc), demam berdarah dengue, malaria, muntaber, hingga flu burung.
Nah, patut dicatat, sistem kesehatan nasional memiliki pengalaman dalam menangani kasus wabah seperti ini. Namun, wabah virus SARS-COV-2 amat berbeda serta dampaknya jauh lebih dahsyat dari wabah virus-virus corona sejenis. Menguras SDM, dan risiko yang ditanggung tenaga medis amat tinggi, nyawa jadi taruhannya.
Penguatan sumber daya kesehatan yang adaptif dan merata di semua daerah menjadi kunci dari penanganan wabah penyakit dengan pola penyebaran yang sama sekali tidak diduga sebelumnya oleh para saintis kesehatan sekalipun.
Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio jumlah dokter dengan populasi di Indonesia sudah cukup memadai. Sebanyak 45 dokter menangani 100 ribu pasien. Rasio dokter spesialis maupun bidan juga sesuai rasio.
Persoalannya adalah distribusi tenaga medis dan paramedik yang timpang. Belum lagi bicara meningkatkan program promotif preventif dibandingkan dengan kuratif yang menggerus biaya jaminan sosial kesehatan begitu besar.
Jumlah dokter di Jakarta, Sulawesi Utara, Yogyakarta, dan Bali, cukup banyak, tetapi di Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat, kekurangan dokter. Bahkan rasio dokter dengan penduduk Jakarta mencapai 1:600, lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki rasio 1:700.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan dalam lima tahun terakhir terus merekrut ribuan tenaga kesehatan dari lulusan baru melalui Nusantara Sehat agar persebarannya menjadi lebih merata.
Program untuk memenuhi jumlah tenaga kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Program Wajib Kerja Dokter Spesialis sempat merekrut 2.039 dokter spesialis untuk ditempatkan ke pelosok tanah air. Namun program itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 2019. Berangkat dari keputusan MA tersebut, program itu kini dilanjutkan melalui Program Pendayagunaan Dokter Spesialis tanpa mewajibkan namun tetap diberikan insentif khusus.
Beberapa daerah seperti Provinsi Papua Barat bahkan sampai berani memberikan insentif hingga Rp80 juta per bulan bagi dokter spesialis yang siap melayani warga di pelosok. Meski insentif sudah besar, realitasnya tak banyak lulusan dokter tergerak mengabdikan dirinya di daerah.
Di satu sisi, hingga 2019, jumlah lulusan Fakultas Kedokteran sudah mencapai 12.000 orang. Hal ini sampai membuat Kemenkes meminta Kemenristekdikti (sebelum perguruan tinggi digabung ke Kemendikbud) agar melakukan moratorium pembukaan fakultas kedokteran baru. Situasi serupa juga terjadi pada tenaga perawat. Kendati rasio perawat lebih baik dari tenaga dokter, perawat khusus menangani penyakit infeksi tidak banyak.
Dari pengamatan Inayah Hidayati dan Aswatini, Peneliti Demografi Sosial di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, tenaga perawat merupakan tenaga medis terbanyak dibandingkan dokter, yakni 148 orang per 100 ribu penduduk.
Masih Kurang
Di sisi lain, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan bahwa ketersediaan perawat untuk merawat pasien terinfeksi masih sangat kurang terutama untuk menghadapi puncak penyebaran Covid-19.
Dari pengamatan mereka, Indonesia sebenarnya masih memiliki kelebihan tenaga perawat, yang belum termanfaatkan di fasilitas kesehatan yang ada (puskesmas dan rumah sakit).
Jumlah perawat yang sudah teregistrasi (sebagai anggota) pada PPNI, per 2 September 2019 sebanyak 532.040. Jumlah ini masih bisa bertambah karena belum semua perawat sudah teregistrasi sebagai anggota PPNI.
Itu pun keberadaan mereka sesuai standar rasio WHO yakni 180 per 100 ribu penduduk hanya terdapat di 16 provinsi. DKI Jakarta, Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur merupakan daerah dengan rasio tertinggi.
Kondisi pandemi Covid-19 yang mendera Indonesia sejak Februari, dan entah kapan berakhirnya, membuat pemerintah akhirnya mengakui inilah momentum untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional. Tanpa SDM sehat dan siap bersaing tentu sulit untuk segera pulih dari resesi ekonomi sebagai imbas dari wabah corona ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa sepakat pelajaran dari penanganan Covid-19 menjadi bekal perbaikan sistem kesehatan nasional secara menyeluruh pada 2021.
Perbaikan infrastruktur kesehatan selaras dengan peningkatan kualitas layanan jaminan kesehatan nasional. Keterkaitan pelayanan kesehatan mulai fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) tingkat pertama seperti pos yandu, puskesmas, hingga ke rumah sakit besar, akan menjadi salah satu komponen yang diperbaiki oleh pemerintah.
Pun demikian dengan kuantitas tenaga kesehatan yang perlu ditambah di tiap wilayah secara merata. Dan, juga harus jadi perhatian, adanya ketersediaan obat dan alat kesehatan produk di dalam negeri.
Artinya, momentum Covid-19 ternyata turut memacu industri farmasi serta kalangan riset dan teknologi untuk berkolaborasi dalam memenuhi kebutuhan alat-alat kesehatan, kesiapan laboratorium medis/biomolekuler, alat pelindung diri maupun vaksin Covid-19 secara mandiri.
Prinsipnya pemerintah ke depan ingin layanan kesehatan dapat diakses oleh seluruh rakyat dan tentu terjangkau oleh semua kalangan berkat dukungan jaminan kesehatan nasional. Di sinilah peran tenaga kesehatan yang andal dan berdedikasi tinggi menjadi penting sebagai ujung tombak layanan medis di seluruh tanah air.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini