Bumi Cenderawasih adalah surga gambut di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, hingga Desember 2018, pulau paling timur Indonesia ini memiliki lahan gambut hingga 6.595.157 hektare (ha). Luas lahan gambut di Papua ini 25 persen dari total 24.667.804 ha kekayaan gambut di tanah air.
Provinsi Papua sendiri memiliki stok lahan gambut seluas 5,05 juta ha dan 1,4 juta ha lainnya terdapat di Papua Barat. Sebanyak 95 persen lahan gambut di Provinsi Papua masih dalam kondisi alami. Ini merupakan harta kekayaan tersembunyi yang jadi kebanggaan.
Dalam ekosistem, lahan gambut mempunyai posisi penting sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati. Berbagai macam flora dan fauna dapat tumbuh dan tinggal di lahan gambut. Gambut juga pahlawan pencegah perubahan iklim dan bencana alam. Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat karbon tanah mineral biasa.
Saat daerah lain yang juga memiliki lahan gambut, waswas ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya saat memasuki musim kemarau, di Papua sebaliknya. Sifatnya yang topogen, membuat lahan gambut di Papua justru mampu menyimpan air sepanjang masa. Kondisi yang menyebabkan lahan gambut Papua selalu basah dan tidak mudah terbakar.
Lapisan tanah pada gambut topogen di Papua memiliki ketebalan hingga empat meter dan tingkat keasaman yang rendah serta mengandung unsur hara yang berasal dari lapisan tanah mineral dibawahnya. Sifat lahan yang seperti ini memberikan kesuburan di lahan gambut dan membuat tumbuhan di atasnya bisa berkembang dengan baik. Situasi seperti ini jarang dijumpai pada lahan gambut di pulau-pulau lain di Indonesia.
Restorasi Ekosistem
Tetapi siapa sangka, kegiatan berburu binatang yang kemudian jadi awal petaka terjadinya kebakaran di lahan gambut Papua. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan aktivitas berburu, karena merupakan sumber pencarian masyarakat setempat. Binatang hasil buruan seperti babi, rusa dan kanguru sebagian besar dagingnya dijual ke pasar dan sisanya untuk konsumsi sendiri. Hasil penjualan digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari.
“Kita tahu bahwa aktivitas berburu itu bagian dari kebudayaan di masyarakat Papua dan tak jarang dijadikan sebagai sumber penghidupan,” kata Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna A Safitri.
Hanya saja ritual berburu yang semula menyenangkan itu dapat berubah menjadi bencana ketika diawali dengan membakar sebagian semak dan lahan. Semula ini dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak binatang buruan. Tetapi tindakan itu justru menjadi pemicu kerusakan ekosistem gambut di Bumi Cenderawasih.
Ini yang kemudian jadi penyebab kebakaran besar lahan gambut di Papua pada 2015. Saat itu, catatan Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK sebanyak 2,6 juta lahan gambut Papua habis terbakar. Dan, salah satu penyebabnya adalah ulah masyarakat pemburu yang membakar lahan. Sumbangan lain datang dari oknum perambah lahan dan perusahaan pengelolaan hutan tanaman industri yang membuka lahannya dengan cara dibakar.
Menggembirakan bahwa angka kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut turun drastis pada 2016 menjadi 438 ribu ha dan tinggal 165 ribu ha setahun berikutnya. Sedangkan pada 2019, kebakaran lahan gambut tetap terjadi tetapi jumlahnya makin menyusut.
Kemudian, BRG sejak Januari 2020 mencanangkan restorasi pada 39.239 ha lahan gambut Papua. Restorasi tadi dilakukan terhadap 3.071 ha gambut di kawasan konservasi, 4.372 ha di area konsesi dan 31.796 ha lainnya di kawasan lain termasuk hutan produksi, hutan lindung, dan area pemanfaatan lain (APL) yang tidak berizin.
Desa Peduli Gambut
Salah satu kunci keberhasilan mengurangi dampak kebakaran lahan gambut di Papua menurut Myrna karena keterlibatan tokoh-tokoh adat untuk mengingatkan warga bahayanya membakar lahan. Bersama lembaga non pemerintah Kemitraan, BRG membentuk Desa Peduli Gambut (DPG) di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Mappi, di sebelah selatan Papua.
Penguatan proses pelembagaan tata kelola kampung sesuai amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diintrodusir dengan mengadaptasi pendekatan kultural dan adat berbasis kolektivisme marga. Kondisi ini dilakukan baik di kampung asli maupun transmigran dalam mendorong isu-isu pengelolaan sumber daya alam.
Misalnya, perlindungan Dusun Sagu dan kawasan hutan sebagai bagian dari ruang hidup masyarakat, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Di samping itu ada pula pengelolaan tata air serta penguatan sumber penghidupan lokal berbasis lahan gambut atau rawa dalam proses perencanaan kampung dan perancangan peraturan kampung dengan nuansa kearifan lokal termasuk pemberlakuan sanksi adat. Hal ini yang kemudian menjadi landasan dibentuknya DPG.
Kepedulian Suku Marind
Timotius Balagaize, Kepala Kampung Kaliki di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, mengatakan bahwa Suku Marind adalah masyarakat asli yang berdiam di wilayah seluas 32.530 ha yang nyaris seluruh areanya tertutupi hoom setebal 1 meter. Hoom adalah nama lain gambut bagi Suku Marind yang berarti tanah goyang. Sebanyak 126 kepala keluarga (KK) atau 500 jiwa masyarakat Suku Marind mendiami Kaliki.
Lahan hoom digarap oleh marga-marga yang ada di Suku Marind seperti Gebze, Ndiken, Basik-Basik, Balagaize, dan Mahuse. Mereka menjaga, merawat, dan merestorasi gambut karena ekosistem tersebut adalah ladang kehidupan mereka. Secara turun-temurun mereka berburu dan menangkap ikan di rawa gambut.
Hampir seluruh lanskap Kampung Kaliki dikelola Suku Marind dengan kearifan lokal. Mereka mengklasifikasi sendiri gambut menjadi om yang berarti rawa gambut dalam, oggnab (rawa gambut dangkal) dan watar (rawa gambut terapung).
Ia menyebut rawa gambut masih belum diolah di wilayahnya. Masyarakat pun masih belum memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk mengelola gambut ini untuk masa depan. Baru belakangan ini saja mereka membuka lahan pertanian dan perkebunan termasuk sagu.
“Tantangan ini kami hadapi dengan pemetaan wilayah. Hasilnya, walaupun di tengah kondisi pandemi, bersama BRG dan mitra, kami melakukan penanaman sagu dan padi lokal di rawa gambut sebagai sumber pangan lokal. Panen perdana padi lokal sudah kami lakukan pada 2019,” kata Timotius saat menceritakan pengalamannya dalam webinar bertajuk “Menggelar Desa, Merayakan Nusantara”, Senin (13/7/2020).
Ia berharap, apa yang dilakukan masyarakat Suku Marind dengan segala kesadarannya menjaga kelestarian ekosistem gambut juga bisa ditularkan ke daerah lain.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini