Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada 5 Agustus 2020 secara khusus memberikan arahan terkait kegiatan pembelajaran bagi siswa-siswi di zona kuning Covid-19.
Dijelaskan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Presiden memberikan arahan agar ada pelonggaran atau relaksasi di dalam kegiatan proses belajar-mengajar untuk para siswa dengan banyak pertimbangan.
"Kita maklum banyak sekali keluhan sehubungan diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Oleh karena itu, Presiden memberi arahan agar mulai dibuka proses belajar-mengajar di sekolah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu,” kata Muhadjir dalam konferensi pers virtual tentang surat keputusan bersama (SKB) empat menteri terkait penyesuaian kebijakan pembelajaran di masa pandemi Covid-19, Jumat (7/8/2020).
Namun demikian, Presiden juga mengingatkan, ketika berani mengambil risiko belajar langsung di sekolah, maka harus superhati-hati dengan meningkatkan kewaspadaan setinggi mungkin. “Tujuannya, agar keselamatan siswa, guru, dan juga pihak-pihak terkait bisa terjamin," ujar Muhadjir menirukan Presiden.
Lebih jauh, Muhadjir menyampaikan, Presiden juga berpesan agar berbagai pihak segera merespons secepat mungkin bila ada kejadian-kejadian yang tidak dikehendaki atau tidak diharapkan. "Itu adalah amanah dari Bapak Presiden," ucapnya.
Sebagaimana diketahui, Indonesia yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan rentang luasan dari Sabang sampai Merauke lebih dari 5.000 Km dan dari Miangas-Rote seluas 2.000 Km, serta terdiri dari 514 kabupaten dan kota, memiliki kondisi yang berbeda-beda berkaitan dengan paparan pandemi Covid-19.
Dari data peta zonasi 33 provinsi yang dilansir Satgas Covid-19 per 2 Agustus 2020, tampak bahwa sebanyak 33 kabupaten/kota berada dalam risiko tinggi Covid-19, 194 dengan risiko sedang, dan 163 risiko rendah.
“Sementara itu, ada 51 kabupaten/kota yang tidak ada kasus baru dengan angka kesembuhan 100 persen dan 0 kasus kematian. Serta 35 kabupaten/kota tidak terdampak,” demikian disampaikan langsung Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo, yang juga menjabat sebagai Ketua Satgas Covid-19, pada Jumat (7/8/2020), dalam konferensi pers virtual tentang penyesuaian kebijakan pendidikan.
Bertolak dari keragaman itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam konferensi pers yang sama membeberkan kondisi PJJ sesungguhnya. Menurutnya, sejatinya PJJ menghadapi banyak kendala, baik bagi guru, siswa, maupun orang tua. Utamanya di daerah-daerah tertentu.
Bahkan bukan hanya kendala, Mendikbud juga menjelaskan bahwa dari banyak riset yang dilakukan dalam situasi bencana diketahui efek PJJ secara berkepanjangan sangatlah negatif dan permanen bagi siswa.
Efek pertama adalah, kata dia, ancaman putus sekolah yang juga dipicu pula oleh perubahan persepsi orang tua tentang peran sekolah. Kedua, penurunan capaian pelajar sehingga berpotensi generasi dengan learning loss. Dan ketiga, ancaman psikososial dan kekerasan pada anak.
Berangkat dari situ, Mendikbud meyakini, perlu diambil langkah untuk mengantisipasi konsekuensi negatif dari PJJ. Wujudnya, sambung dia, pemerintah lalu mengimplementasikan dua kebijakan baru. Yakni, perluasan pembelajaran tatap muka untuk zona kuning dan meluncurkan kurikulum darurat demi memberikan fleksibilitas bagi berbagai pihak terkait kegiatan pendidikan.
“Kini tercatat sebanyak 43 persen peserta didik berada di zona hijau dan kuning. Kawasan 3T, mayoritas merupakan zona hijau dan kuning. Oleh karena itulah, SKB direvisi untuk memperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) di zona kuning dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat,” katanya.
Hak Prerogatif
Hanya saja, walau diperbolehkan bagi satuan pendidikan di zona kuning, Mendikbud mengingatkan, sifat PTM bukan dimandatkan atau memaksakan. Jika kepala dinas (kadis) dan kepala kantor wilayah merasa belum siap, maka diperbolehkan untuk tidak melakukan PTM. Atau kalaupun pemerintah daerah (pemda) dan kepala dinas sudah siap, masing-masing kepala sekolah (kepsek) dan komite sekolah tetap boleh memutuskan bahwa di sekolah tersebut belum siap melakukan PTM.
“Pun kalau pemda dan sekolah siap melakukan PTM, kalau orang tua murid tidak memperkenankan anaknya ke sekolah karena tidak nyaman dengan ancaman Covid-19, itu menjadi prerogatif orang tua. Jadi proses baru bisa berlangsung dengan persetujuan semua,” tandasnya.
Di zona kuning, PTM bisa dilakukan oleh SMA, SMP, dan SD. Namun untuk PAUD, pemerintah masih memutuskan menundanya hingga dua bulan mendatang. Sedangan untuk madrasah dan sekolah berasrama lainnya, dua bulan akan diberlakukan masa transisi.
Dan untuk SMK dan universitas diperkenankan melakukan pembelajaran praktik atau pelajaran produktif yang harus menggunakan mesin dan laboratorium di lingkungan sekolah, dengan protokol kesehatan yang diperketat. Itu berlaku di semua zona dan ditujukan agar kualitas kelulusan siswa tetap terjaga. Sedangkan bagi mata pelajaran yang sifatnya teori, tetap dilakukan dengan PJJ.
Pandemi vs Prapandemi
Untuk mendukung pelaksanaan PTM di zona kuning, Mendikbud menegaskan, ada sejumlah standar protokol yang harus dilakukan secara ketat. Dia pun mengingatkan, bahwa situasi sekolah tatap muka dalam masa pandemi sangat berbeda dengan sekolah pada masa prapandemi.
Di antara sejumlah standar protokol yang harus dilakukan, untuk pendidikan dasar dan menengah maksimal kapasitas kelas adalah 18 orang atau 50 persen siswa dengan jarak masing-masing siswa di kelas 1,5 meter. Standar itu tentu membawa konsekuensi adanya sistem shifting atau rotasi.
Standar protokol juga diberlakukan untuk PTM di SLB. Yakni di antaranya, maksimal lima siswa di dalam satu kelas. Jumlah siswa yang sama kelak juga akan diberlakukan bagi jenjang yang lebih muda, atau PAUD. Mendikbud juga mengingatkan larangan sekolah untuk menggelar ekstra kurikuler ataupun kegiatan olahraga dan kegiatan sosial atau perkumpulan rombel lainnya di dalam sekolah.
Selain kewajiban menjalankan standar protokol, seluruh pihak terkait di lingkungan pendidikan juga dikenai kewajiban perilaku, seperti menggenakan masker, menjaga jarak 1,5 meter, selalu cuci tangan dengan air sabun/hand sanitizier, larangan bagi warga yang mengidap komorbiditas dan terpapar Covid-19 untuk kembali ke sekolah. Eskul dan kegiatan olahraga dan sejumlah kegiatan sosial dan perkumpulan rombel tidak diperkenankan dalam sekolah.
“Semua elemen dinas pendidikan, kesehatan, kepsek, harus selalu berkoordinasi dengan Satgas Covid-19. Jadi harap dimengerti, hak membuka sekolah tatap muka atau tidak, ada di pemda, sekolah, dan orang tua. Jadi itu adalah hak mereka untuk menolak berpartisipasi dalam pembelajaran tatap muka,” katanya.
Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari