Arus kas perusahaan mulai berdenyut menguat. Di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suharyanto, telah muncul isyarat kuat bahwa dunia industri nasional kembali bergerak menuju pemulihan.
Kondisi ini digambarkan dari data purchasing manager’s index (PMI). Setelah sempat terpelanting ke level 26 pada Mei 2020, indeks manufaktur yang mengindikasikan adanya kegairahan pembelian bahan baku dan bahan penolong industri. Pada Juni, indeks manufaktur yang dirilis HIS Markit itu, kata Kepala BPS, sudah merambat ke angka 39,1 dan pada Juli di angka 46.9. “Sudah mendekati angka 50 yang berarti kembali normal,” katanya.
Pendapat senada juga diungkapkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam media briefing update tentang Perkembangan Realisasi Pemulihan Ekonomi Nasional dan Pembayaran Gaji ke-13, Senin (10/8/2020).
Menurut Sri Mulyani, pemulihan di sektor ekonomi terus diupayakan pemerintah. Hasilnya, salah satu indikator pemulihan, yakni PMI sudah mendekati 50. “PMI Indonesia itu sudah sama dengan PMI global, artinya geliat industri sudah ekspansi lagi,” katanya.
Sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah, dengan penajaman pemanfaatkan instrumen APBN. Paket bantuan sosial (bansos) serta program padat karya telah dirilis untuk mengungkit daya beli. Begitu juga sejumlah kebijakan relaksasi diberlakukan untuk memberikan stimulasi ekonomi, baik untuk korporasi besar maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), agar mereka bisa tetap bertahan melewati situasi sulit pandemi Covid-19.
Segala kebijakan itu menjadi bagian dari skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan dilaksanakan dengan mengikuti norma dan protokol adaptasi kebiasaan baru. Harapannya, ekonomi di kuartal III 2020 bisa terangkat.
Tak dapat dipungkiri, kebijakan yang berani berupa relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi faktor penting berakselerasinya roda industri manufaktur. Kondisi itu cepat direspons dengan penuh optimistis oleh pemerintah. Bahkan, pihak regulator yakin PMI manufaktur bisa melampaui level 50 pada kuartal III/2020 sehingga berada pada jalur ekspansif.
Hal itu akan ditopang oleh pemberian stimulus dan peningkatan penyerapan hasil industri di dalam negeri. Memang, tingkat produktivitas belum akan kembali pada kondisi seperti pra-pandemi. Namun, tren yang berkembang saat ini bisa menjadi pemicu menuju pemulihan.
Di sisi lain, pemerintah juga patut mewaspadai masih lemahnya daya beli yang tergambar dari deflasi sebesar 0,1 persen secara month to month (mtm) pada Juli 2020. Adapun secara year to date (ytd), inflasi hanya sebesar 0,98 persen.
Di Asean, sejumlah negara justru mengalami penurunan PMI manufaktur pada Juli 2020. Sebagian disebabkan lonjakan kasus Covid-19 baru yang memaksa pemerintah setempat kembali melakukan sejumlah pembatasan sosial. Risiko yang sama tentu masih menghantui Indonesia. Apalagi, tingkat penambahan kasus Covid-19 masih tinggi dan berpotensi menghambat laju pemulihan manufaktur.
Lonjakan PMI ke level 46,9 poin pada Juli 2020 dinilai menjadi indikator yang baik. Namun, kinerja sektor manufaktur diperkirakan masih perlu waktu untuk mencapai kondisi ideal sebelum terjadinya pandemi Covid-19.
PMI merupakan indeks yang menggambarkan kondisi industri manufaktur dan tingkat optimistis industriawan pada masa tertentu. Sektor manufaktur sebuah wilayah menunjukkan sedang ekspansif jika angka PMI lebih dari level 50,0 poin, sedangkan sedang kontraktif jika di bawah level 50,0 poin.
Menperin Optimistis
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai penanggung jawab di bidang industri menargetkan PMI Indonesia menembus level 50,0 poin pada kuartal III/2020. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, pihaknya akan terus menjaga momentum peningkatan indeks PMI nasional agar bisa kembali menembus level 50,0.
“Setelah beberapa bulan lalu (PMI Indonesia) mencapai level terendah, (sekarang) secara pasti PMI merangkak naik. Beberapa kali saya menyampaikan bahwa membaiknya PMI ini karena industri sudah menggeliat buah dari pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB),” kata Agus Gumiwang Kartasasmita, Senin (3/8/2020).
Agus menilai salah satu faktor peningkatan angka PMI pada awal semester II/2020 didorong kenaikan penjualan produk industri otomotif serta makanan dan minuman di dalam dan luar negeri. Selain itu, tingkat konsumsi masyarakat sudah berangsur normal.
Agus meramalkan peningkatan PMI pada kuartal III/2020 akan bergantung pada sektor manufaktur yang utilitasnya dapat meningkat signifikan. Menperin juga mengungkapkan rasa syukurnya. Pasalnya, sektor industri masih memberikan kontribusi terbesar pada struktur produk domestik bruto (PDB) nasional sepanjang triwulan II tahun 2020 dengan mencapai 19,87 persen.
Dengan kata lain, sektor-sektor manufaktur yang memiliki permintaan domestik tinggi seperti farmasi, alat kesehatan, serta makanan dan minuman akan terus digenjot. “Stimulus bagi dunia industri akan terus kami gulirkan agar aktivitas industri bisa kembali normal. Peningkatan PMI ke depan akan ditopang oleh penyerapan hasil industri dalam negeri,” ucapnya.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan indeks output, permintaan, dan ketenagakerjaan semuanya meningkat dari posisi terendah yang terlihat dari kuartal II/2020, terbantu oleh relaksasi penanganan Covid-19. Dalam survei PMI, pelaku usaha optimistis memandang perbaikan kinerja setelah satu tahun mendatang. Diharapkan ada kenaikan output pada 12 bulan mendatang.
Kepercayaan diri ini terutama didasarkan bahwa situasi Covid-19 yang akan membaik dalam beberapa bulan mendatang. “Perlunya menjaga jarak di tempat kerja dan perkumpulan publik, serta potensi lonjakan infeksi baru. Hal ini juga bisa menunda produksi dan penjualan lebih lanjut dari pemulihan ke tingkat pra-pandemi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (3/8/2020).
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini