Gerakan sosial kemasyarakatan itu perlu jargon yang sederhana agar mudah tertanam di benak publik. Namun, maknanya pun harus jelas agar dapat meraih simpati masyarakat. Maka, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta memilih jargon khas “Gandeng Gendong” untuk sebutan gerakan pemberdayaan masyarakatnya.
Gandeng Gendong itu resmi menjadi program Pemkot Yogya sejak 2018. Sejak itu pula program itu menjadi buah bibir para pejabat daerah dan kalangan anggota DPRD, yang melakukan kunjungan kerja ke Yogyakarta. Yang khas dari gerakan ini, pemkot menjadi fasilitatornya, kemudian mendorong elemen masyarakat yang lain saling gandeng, atau bahkan menggendong elemen paling lemah, untuk melangkah bersama.
"Kekuatan akan muncul jika semua unsur masyarakat dalam kebersamaan. Yang lemah kita gendong, yang terpinggirkan kita tarik ke tengah agar bisa berjalan bersama," kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi. Fokus gerakannya pengentasan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan.
Pemkot, menurut Heroe, pada posisi memberikan dukungan kebijakan dan insentif permodalan. Pada pelaksanaannya, pemkot bersinergi dengan kampus, korporasi, kampung, dan komunitas yang hendak diberdayakan. “Meski bantuan yang diberikan tak terlalu besar, jika dilakukan secara bergotong-royong akan memberikan dampak yang besar,” kata Heroe.
Gandeng Gendong merupakan kelanjutan dari visi Segoro Amarto Pemerintah Kota Yogyakarta yang diluncurkan pada 2010. Filosofinya, segoro atau laut ialah muara limpasan segala macam air dari daratan, dan itu menggambarkan kondisi masyarakat yang beragam dan membaur secara dinamis dalam satu wadah. Segoro adalah simbol masyarakat yang transformatif.
Adapun amarto (Amarta) merujuk pada negara Pandawa dengan tata kelola yang jujur, adil, cerdas, dan memiliki watak kepemimpinan transformatif. Dengan begitu Segoro Amarto merupakan visi Yogya menjadi kota cerdas yang terus bergerak menuju masyarakat yang transformatif. Implementasi secara praksis dijabarkan dalam konsep smart city pada dimensi smart society.
Gandeng Gendong merupakan tindakan konkret dari smart city dan smart society itu. Dalam program ini ada inovasi, yang menurut Heroe Poerwadi, ditujukan untuk mengoptimalkan potensi kearifan lokal sebagai upaya percepatan pengentasan kemiskinan.
Konsep ini membawa Pemkot Yogyakarta bersinergi dan bekerja sama dengan seluruh stakeholder. Hasilnya dapat dirasakan bersama-sama. Kota Gudeg ini selama tiga tahun terakhir berhasil menekan angka kemiskinannya. Pada 2017 persentase penduduk miskin 7,64 persen, lalu 2018 sebesar 6,98 persen, dan menjadi 6,84 persen pada 2019.
Contoh konkret Gandeng Gendong dapat dilihat dari transformasi sosial di Kawasan Bendung Lepen Mrican. Kawasan di dekat Sungai Gajahwong yang dulu kumuh itu telah berhasil menata diri menjadi permukiman yang bersih, sehat, dan produktif dengan ruang terbuka yang bisa dijadikan tempat wisata dan taman edukasi. Contoh lainnya, ada di Bausasran yang dikembangkannya sebagai kampung sayur.
Implementasi Gandeng Gendong juga terbukti dapat menciptakan penguatan kelompok usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) kuliner. Penguatan ini adalah hasil sinergi dari berbagai aktor, meliputi, Pemerintah Kota Yogyakarta, kampus, korporat, dan UMKM.
Pemkot Yogyakarta pun menjadi kostumer dari kelompok UMKM kuliner. Pada 2019, Pemkot Yogya mengalihkan pemakaian anggaran jamuan dinasnya sebesar Rp15 miliar (39 persen), dari hotel dan restoran besar ke kelompok UMKM. Tidak semuanya puas. Namun, dari survei yang dilakukan Pemkot Yogya menunjukkan, 58 persen stakeholder menyatakan cukup puas atau puas dengan Gandeng Gendong.
Gertak Trenggalek
Pemberdayaan sosial-ekonomi untuk pengentasan kemiskinan itu pun dilakukan Pemerintah Kabupaten Trenggalek. Dirintis Bupati Emil Dardak (kini Wagub Jawa Timur), Pemkab Trenggalek mengembangkan Gerakan Tengok Bawah Atasi Kemiskinan (Gertak). Program ini merupakan salah satu gerakan andalan Bupati Emil Elestianto Dardak dan Wakilnya Moch Nur Arifin untuk penanggulangan berbagai problem sosial dengan memanfaatkan Dana non-APBD.
Mereka menggandeng Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk menggalang dana dari zakat, infak, dan sedekah para pegawai negeri sipil (PNS) maupun instansi lain dan masyarakat umum. Pasangan kepala daerah ini mendorong para PNS menyalurkan 1% dari gaji secara sukarela. Hal tersebut agar target Rp7 miliar hingga Rp9 miliar dalam setiap tahunnya bisa terealisasi.
Dana yang dikumpulkan melalui Baznas Trenggalek itu digunakan untuk aksi pengentasan kemiskinan dan membantu kelompok rentan. Misalnya, membantu warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat mendesak dan segera. Sebagian lainnya untuk membayarkan premi asuransi BPJS bagi kelompok miskin dan belum terjangkau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Ada pula yang dipakai untuk perbaikan rumah tak layak huni.
Semua kegiatan tersebut dikelola secara transparan dan profesional sehingga dapat dengan mudah diakses seluruh elemen masyarakat. Penggunaan dana di Baznas Trenggalek diperiksa auditor independen. Program ini sempat mendapatkan apresiasi berupa Good Practice Award, hasil kerja sama Jawa Pos dan Pemprov Jawa Timur pada 2018.
Sementara itu di Pacitan ada program pengentasan kemiskinan bernama Grindulu Mapan, yaitu Program Gerakan Terpadu Menyejahterakan Masyarakat Pacitan (Grindulu Mapan). Program ini pun dijalankan sebagai sinergi Pemkab Pacitan dengan swasta dan masyarakat. Grindulu Mapan merupakan program penanggulangan kemiskinan terpadu, baik data maupun pelaksanaannya.
Sasaran Program Grindulu Mapan adalah rumah tangga dan individu miskin, yang luput dari catatan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) versi 2015. Jadi, kelompok ini tidak pernah menerima sosial (bansos), seperti bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) atau Beras Sejahtera (Rastra). Data baru itu kemudian dirangkum dengan mengikuti aturan yang tertuang dalam Perbup 36/2016.
Dengan integrasi program dari semua stakeholder, maka Program Grindulu Mapan akan lebih efektif dan tepat sasaran. Di mana strategi penanggulangan kemiskinan ada dua, yakni mengurangi beban pengeluaran warga miskin dan peningkatan pendapatan.
Mengurangi beban pengeluaran dilakukan dengan bantuan di bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan perumahan. Adapun peningkatan pendapatan dilakukan dengan pelatihan keterampilan kerja, bantuan peralatan usaha, bantuan modal, maupun bantuan ternak dan sarana pertanian.
Pemkot Yogyakarta, Pemkab Trenggalek, dan juga Pacitan telah mewakili kalangan pemerintahan daerah yang mau ikut berkeringat dalam mengentaskan kemiskinan. Intervensi pemerintah pusat memerangi kemiskinan, dengan berbagai bantuan sosial, tampaknya perlu dibarengi dengan pembangunan yang berbasis komunitas di tingkat daerah.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Trihusodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini