Di lingkungan G-20, kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, perekonomian Indonesia, dengan kontraksi 2,07 persen pada 2020, seperti diumumkan BPS, pada Jumat (5/2/2021), berada di peringkat kedua setelah Tiongkok, yang masih mampu tumbuh 2,2 persen di tahun yang sulit itu. Negara lainnya, terkontraksi lebih besar.
Di lingkungan negara Asia Tenggara (Asean), Indonesia juga tidak buruk. Dari enam negara utama Asean, posisi Indonesia ada di nomor dua, di bawah Vietnam yang dapat mencatat pertumbuhan 2,7 persen pada 2020. Empat negara yang lainnya, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, terkontraksi lebih dari 6 persen.
Apa yang terjadi? Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Fetrio Nathan Kacaribu mengatakan, konsumsi pemerintah melalui APBN menjadi sentral pemulihan ekonomi Indonesia pada 2020. Konsumsi pemerintah ini disebutnya bisa menahan konsumsi masyarakat agar tidak terlalu mengkerut, atau kondisi berpeluang menjadikan resesi kian parah.
Febrio Kacaribu mengatakan, kinerja konsumsi pemerintah tumbuh 1,8% di kuartal 4-2020, dan secara kumulatif sepanjang tahun 2020 tumbuh 1,9% dibanding 2019. Belanja negara yang ekspasif itu terbukti dapat menahan kontribusi konsumsi rumah tangga, komponen yang menyumbang 59 persen pada PDB, untuk tidak terlalu merosot.
Dalam batas tertentu, belanja pemerintah itu juga ikut mendorong pembentukan modal tetap bruto (investasi) di tengah masyarakat. Walhasil pada 2020, investasi dan konsumsi rumah tangga itu menyumbang 89,40 persen PDB. “Peran konsumsi pemerintah jelas dan tetap hadir sebagai sentral pemulihan,” kata Febrio Nathan, dalam keterangan resmi yang dirilis Sabtu (6/2/2021).
Dalam realisasinya, konsumsi rumah tangga tumbuh minus 3,6% di kuartal 4-2020 year on year (yoy), yakni dibandingkan kuartal 4-2019. Toh, konsumsi pada kuartal 4 menunjukkan ada kenaikan, atau lebih baik dibandingkan kuartal 3 dan 4 yang masing-masing minus 4,0 dan 5,5 persen. Dengan adanya pertumbuhan yang positif pada kuartal 1, maka sepanjang 2020 konsumsi rumah tangga “hanya” minus 2,6 persen.
Dengan bobot sebesar 59 persen untuk pembentukan PDB, kontraksi konsumsi yang rendah tak membuat PDB secara keseluruhan akan terbanting. Dengan kata lain, menurut Febrio Nathan, belanja pemerintah membuat konsumsi rumah tangga masih bisa tumbuh bila dihitung dari kuartal 2 ke kuartal 3, dan dari kuartal 3 ke kuartal 4-2020.
Febrio mengatakan, pendorong tumbuhnya konsumsi rumah tangga adalah perlindungan sosial yang digulirkan melalui sejumlah program bantuan sosial (bansos), yang pada 2020 volumenya mencapai Rp234 triliun, dan akan naik menjadi Rp408 triliun di APBN 2021. Adapun di dalamnya, yang pertama, Program Keluarga Harapan (PKH) Rp36,7 triliun untuk 10 juta keluarga penerima manfaat.
Yang kedua bantuan pangan nontunai (kartu sembako BPNT), senilai Rp41,7 triliun bagi sekitar 15 juta penerima manfaat. Ketiga, paket bantuan sembako Jabodetabek untuk 1,9 penerima manfaat. Ketiga, program paket sembako Jabodetabek, telah terealisasi Rp6,9 triliun untuk 1,9 juta penerima manfaat selama 10 bulan.
Keempat, ada program kartu prakerja terealisasi sebesar Rp19,89 triliun dan disalurkan ke sekitar 5,6 juta peserta. Kelima, program bansos tunai non-Jabodetabek telah disalurkan sebesar Rp32,80 triliun untuk 9,18 juta KPM. Keenam, program bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, dan terealisasikan Rp19,5 triliun bagi 8 juta penerima manfaat. Ketujuh, program bansos tunai dan bansos sembako untuk situasi khusus.
Masih ada lagi program bantuan subsidi gaji untuk pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta, subsidi bagi guru honorer di lingkup Kemendikbud dan Kemenag. Di luar itu ada pula subsidi kuota internet untuk siswa, mahasiswa, dan guru/dosen.
Semuanya itu menjadi intervensi dari negara yang mendorong daya beli dan menambah kekuatan konsumsi masyarakat. Fenomena itu tampak di kuartal 4. “Tingkat kepercayaan masyarakat dalam beraktivitas pun terus membaik, ditunjukkan oleh indikator keyakinan konsumen yang meningkat dibanding triwulan sebelumnya,” ujar Febrio menambahkan.
Pada gilirannya, komponen investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga membaik dari minus 6,5 pensen di kuartal 3 menjadi minus 6,2 persen di kuartal 4-2020. Febrio menyebutkan, kontribusi APBN juga turut mendukung perbaikan komponen investasi melalui belanja pemerintah, yang realisasinya mencapai 137,5% dari total pagu. Kenaikan PMTB di kuartal 3 dan 4 itu, kata Fabrio, tak lepas dari tangan pemerintah lewat APBN.
Berikutnya, ada komponen ekspor yang juga relatif membaik, dari minus 11,7 persen pada kuartal 3 menjadi minus 7,2% di kuartal 4-2020. Perbaikan ini didukung oleh kinerja ekspor produk-produk unggulan, seperti CPO dan batu bara. Permintaan atas komoditas tersebut meningkat seiring adanya pemulihan ekonomi dari negara mitra dagang utama Indonesia.
Febrio mengatakan, daya tahan ekonomi itu terjadi karena didukung APBN yang ekspansif, dengan defisit sebesar 6,1% terhadap PDB. “Pertumbuhan belanja negara yang mencapai 12,2 persen di tahun 2020,” katanya. Ekspansi itulah jurus melawan pelambatan yang dipicu oleh pandemi. Jurus yang sama juga dilakukan pada 2021 ini.
Penulis: Putut Tri Husodo
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari