Masalah perubahan iklim telah menjadi tanggung jawab bersama masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Fenomena terjadinya perubahan iklim itu tanpa disadari telah terjadi di seputaran kita, bahkan bisa jadi sudah ada di pelupuk mata kita.
Sejatinya masalah perubahan iklim adalah persoalan yang sangat kongkret. Fenomena alam yang terjadi belakangan ini memberikan bukti nyata. Meningkatnya bencana, seperti badai, banjir, atau kekeringan, merupakan bentuk perubahan iklim.
Begitu juga dengan fenomena pergeseran musim penghujan dan kemarau, yang tiba-tiba keluar dari yang kita prediksikan. Akibat terjadinya perubahan alam itu, pola tanam pertanian menjadi kacau dan ujungnya adalah ketahanan pangan menjadi terganggu.
Dalam skala yang lebih luas, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap fenomena perubahan iklim. Bayangkan, Pulau Ambon atau pulau-pulau kecil serta pesisir pantai mulai ujung Sumatra hingga Papua sangat rentan dari ancaman kenaikan tinggi muka air laut akibat mencairnya gunung-gunung es di kutub utara maupun selatan.
Atas kesadaran adanya ancaman itulah, kemudian PBB melahirkan Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Perjanjian ini lahir dari KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992 dan berlaku pada 21 Maret 1994.
Selanjutnya, masalah perubahan iklim juga menjadi konsensus Pengendalian Perubahan Iklim Global, hingga akhirnya lahirlah Persetujuan Paris atau dikenal dengan nama COP21.
Persetujuan Paris adalah persetujuan dalam kerangka UNFCCC. Di pertemuan itu, negara-negara yang hadir menyepakati untuk melakukan reduksi emisi karbon dioksida dan ditandatangani pada 22 April 2016. Kesepakatan yang dilahirkan di Persetujuan Paris itu diharapkan berlaku efektif pada 2020.
Sebagai salah satu anggota UNFCCC, Indonesia telah berkomitmen menjadi bagian penting dari solusi terhadap tantangan perubahan iklim global. Wujud dari itu, Indonesia juga telah mengambil bagian strategis dengan berperan aktif dalam proses negosiasi penyiapan Kesepakatan Paris sampai pada penyiapan pedoman yang diperlukan untuk operasionalnya.
Meski besaran angka suhu kenaikan rata-rata Bumi ditentukan maksimal dua derajat Celsius, tapi diupayakan angkanya mencapai target 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan kondisi praindustri. Semua negara yang telah ikut untuk terlibat Kesepakatan Paris harus berupaya maksimal memangkas emisi gas rumah kaca.
Pada perhelatan COP21 Paris 2015, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyampaikan bahwa komitmen Pemerintah Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% atau setara dengan 2,8 giga ton karbondioksida (CO2e) dari total emisi pada 2030 dengan upaya sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.
Komitmen ini yang kemudian dimasukkan dalam strategi implementasi target (Nationally Determined Contribution/NDC) yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, pemerintah membagi target penurunan emisi dari lima sektor, yakni kehutanan (17,2%), energi (11%), pertanian (0,32%), industri (0,1%), dan limbah (0,38%).
Keseriusan Indonesia kembali diungkapkan pada konferensi pengendalian perubahan iklim (COP24) di Katowice, Polandia, awal Desember 2018. Dari kota Katowice, Polandia, juga lahir Katowice Climate Package, yang meneguhkan kembali komitmen terhadap pengendalian perubahan iklim.
“Indonesia tidak hanya siap untuk negosiasi, tetapi juga siap untuk soft diplomacy, serta menyampaikan keunggulan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim,’ kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di konferensi tersebut.
Cukup Maju
Bahkan, Siti Nurbaya menegaskan, Indonesia sesungguhnya cukup maju dalam implementasi Paris Agreement. “Kami melakukannya dengan kerja-kerja yang membumi.”
Sektor kehutanan adalah salah satu sektor yang ikut bertanggung jawab mewujudkan penurunan emisi tersebut. Menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, Indonesia telah melakukan aksi nyata untuk melaksanakan komitmen tersebut.
Langkah nyata itu dengan melakukan pengurangan deforestasi, mengurangi degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan.
“Tidak itu saja, kami juga telah melakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan dan pemulihan lahan,” tutur Ruandha.
Komitmen pengendalian perubahan iklim juga tertuang ke dalam NDC kehutanan dengan komitmen yang harus dicapai hingga 2030. Misalnya untuk pengurangan deforestasi, pemerintah telah menetapkan di bawah <450.000-325.000 hektare per tahun.
Selain itu, NDC Kehutanan juga mendorong peningkatan prinsip pengelolaan hutan lestari pada hutan produksi alam untuk mengurangi degradasi hutan. Peningkatan hutan lestari juga ditujukan kepada hutan tanaman industri.
Begitu juga dengan wujud komitmen itu juga ada upaya untuk melakukan rehabilitasi lahan terdegradasi seluas 12 juta hektare atau 800.000 hektare per tahun pada 2030 dengan tingkat keberhasilan hidup 90%.
Komitmen yang sama untuk restorasi lahan gambut seluas 2 juta ha pada 2030 dengan tingkat keberhasilan 90% serta tetap mempertahankan kinerja dari keberhasilan melakukan pengendalian terhadap karhutla.
Wajar saja, seperti disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang cukup berbangga mengungkapkan keberhasilan negara ini terhadap penurunan emisi GRK yang sudah mencapai 24,4%, tentu patut diapresiasi.
Pasalnya untuk mencapai target yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen Indonesia tentu tidak ringan. Menurut data NDC Indonesia, negara wajib melakukan langkah pengurangan emisi melalui skema business as usual (BAU) pada 2030, yakni pada tingkat 2.869 juta ton CO2e.
Dan, selama periode 2016 dan 2017, pencapaian penurunan emisi masing-masing 10,7% atau setara dengan 308 juta ton CO2e dan 24,4% atau setara dengan 699 juta ton CO2e dari target 29% atau 834 juta ton CO2e tentu pencapaian yang luar biasa.
Dunia tentu patut mengapriasi upaya Indonesia untuk kerja keras penurunan emisi itu, demi mewujudkan dunia yang berkelanjutan. (F-1)