Indonesia.go.id - Presidensi G20, Indonesia Fokus Menuju Energi Hijau

Presidensi G20, Indonesia Fokus Menuju Energi Hijau

  • Administrator
  • Kamis, 9 Desember 2021 | 07:19 WIB
G20
  Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia 2021 di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (3/12/2021). ANTARA FOTO/ Fikri Yusuf
Presiden Jokowi meminta asosiasi pengusaha untuk merumuskan transformasi ekonomi menuju ekonomi yang ramah lingkungan.

Masalah dunia dan lingkungan kini telah menjadi instrumen penting bagi pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia sebagai bagian warga dunia pun kini mulai mengubah arah ekonominya menjadi ekonomi hijau.

Dalam rangka itu, ketika menjadi pembicara dalam acara Rapimnas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Kabupaten Badung, Bali, Jumat (3/12/2021), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada asosiasi pengusaha untuk merumuskan transformasi ekonomi menuju ekonomi yang ramah lingkungan.

Menurut Presiden Jokowi, pelaku usaha perlu merumuskan ekonomi hijau karena mereka lebih tahu kebutuhannya di lapangan. “Detailkan transformasi ekonomi mulai dari green economy, green energy, green tourism, blue economy seperti apa?” ujar Presiden Jokowi kepada peserta rapimnas.

Kebijakan Pemerintah Indonesia yang kini lebih berorientasi menuju ekonomi hijau juga tidak terlepas dengan fokus bangsa ini sebagai Presidensi G20 hingga 2022. Itulah sebabnya, di Rapimnas Kadin Indonesia, sangat jelas disuarakan Presiden bahwa transisi energi hijau juga akan menjadi fokus Indonesia dalam Presidensi G20 hingga 2022.

“Secepatnya kita geser arah ekonomi kita sesuai yang akan dibicarakan di G20,” ujar Presiden Jokowi.

Sebagai gambaran, sejumlah negara juga telah bergerak ke arah ekonomi hijau. Presiden Jokowi memberikan gambaran bahwa negara-negara di benua biru juga kini cenderung hanya menerima produk-produk ramah lingkungan.

Nah, tambah Kepala Negara, Indonesia juga memiliki potensi besar dalam mengembangkan ekonomi hijau. Salah satu contohnya adalah 4.400 sungai yang bisa dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tidak itu saja, negara ini juga memiliki sumber energi dari panas bumi yang belum tergarap optimal.

“Potensi geothermal kita bisa 29.000 megawatt, baru terpakai 2.000 watt. Artinya, tidak sampai 10 persen,” kata Presiden Jokowi.

Institusi yang kini banyak terlibat pengembangan energi hijau adalah PT Perusahaan Listrik (PLN) Persero. Menurut Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN Agung Murdifi, BUMN itu telah memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

“Di blue print merupakan kebijakan jangka pendek dan menjadi komitmen kami mendorong pengembangan energi baru terbarukan," ujarnya, di Jakarta, Jumat (3/12/2021)

Perubahan iklim yang merupakan ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global tidak lagi terbantahkan. Butuh solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global untuk mencari jawaban terhadap permasalahan tersebut.

Kegelisahan negara dunia terhadap perubahan iklim sudah lama disuarakan. Bahkan, di Konvesi Rio De Janeiro, Brasil 1992, telah mampu dilahirkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Kerangka kerja soal perubahan iklim itu sudah diratifikasi oleh 197 negara. Indonesia pun sudah meratifikasinya melalui UU nomor 6/1994. Setelah Konvensi Rio yang melahirkan UNFCCC, lahir pula Protokol Kyoto hingga Perjanjian Paris, dan terakhir KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau Climate Change Conference 26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia mulai akhir Oktober hingga 12 November 2021.

Di Glasgow, Indonesia kembali menyatakan komitmennya. Bahkan, Indonesia juga memberikan gambaran betapa negara ini bisa memberikan kontribusi besar dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Bangsa ini sudah memiliki roadmap berbentuk National Determination Contribution (NDC) yang menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim.

 

Pengurangan Emisi

Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia, yakni sebesar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41 persen bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada 2030. Target NDC dipandang dapat memicu pengembangan investasi hijau di Indonesia, di mana target tanpa syarat secara nasional dapat tercapai melalui penurunan emisi GRK sebanyak 17,2 persen pada sektor kehutanan, 11 persen pada sektor energi, 0,32 persen pada sektor pertanian, 0,10 persen pada sektor industri, dan 0,38 persen pada sektor limbah.

Presiden Jokowi juga berani menyampaikan bahwa Indonesia telah memberikan bukti konkret menuju penurunan emisi itu. “Laju deforestasi Indonesia sudah turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin, 1 November 2021

Tentunya Indonesia tidak bisa menyelesaikan masalah dunia soal perubahan iklim itu sendiri. Oleh karena itu, Jokowi pun menyerukan penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju, merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Dari gambaran di atas, seluruh negara dunia perlu berkontribusi secara bersama-sama untuk mencapai ekonomi dunia yang lebih ramah lingkungan, lebih berdaya tahan, dan berkelanjutan. Perlu adanya kolaborasi pembiayaan bersama dari dunia internasional maupun dari sektor usaha melalui upaya penerapan carbon pricing, penyiapan carbon market, dan carbon tax.

Dalam konteks Indonesia, instrumen carbon tax telah jadi terobosan untuk menggenjot penerimaan negara. Ke depan, pemerintah berencana memperluas instrumen peneriman pajak berupa pajak karbon (carbon tax).

Pajak karbon atau pungutan karbon ini diharapkan dapat memaksimalkan penerimaan negara, mendukung program Indonesia hijau dan pengurangan emisi gas rumah kaca menghadapi perubahan iklim atau climate change.

Pajak karbon yang kemudian juga dikenal dengan nama UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sudah disahkan pada 2 Oktober 2021. Menurut rencana, UU mulai berlaku pada 1 April 2022. Pajak itu akan menyasar bidang pembangkitan listrik tenaga uap berbasis batu bara. Sedangkan, bidang lainnya akan berlaku secara bertahap.

Pungutan karbon dinilai mempunyai potensi mendukung terjadinya penurunan tingkat emisi karbon, sekaligus mendukung pengembangan serta inovasi energi baru terbarukan (new renewable energy). Selain itu, pajak karbon ke depannya, dapat dialokasikan guna pemberian insentif atau subsidi ke sektor lain yang sangat urgent seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, maupun industri hijau (green industry). Selamat datang ekonomi hijau.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari