Selain ketidakpastian pandemi, G20 di bawah Presidensi Indonesia juga dituntut memainkan peran penting untuk mempercepat pemulihan ekonomi dunia.
Presidensi G20 Indonesia 2022 tidak hanya memberikan etalase megah bagi Indonesia untuk unjuk diri. Namun, negara ini memiliki tanggung jawab melekat untuk menjadikan forum ini agar tak berlalu hanya sebagai seremonial.
Indonesia akan memegang tampuk Presidensi G20 pada 2022 selama satu tahun. Prosesi serah terima tongkat estafet Presidensi G20 telah dilakukan dari Perdana Menteri Italia Mario Draghi, sebagai Presidensi G20 periode 2021, kepada Presiden RI Joko Widodo. Tongkat estafet keketuaan itu telah dilakukan pada KTT G20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021.
Tidak dipungkiri, tonglat estafet presidensi G20 dari Italia kepada Indonesia datang di waktu yang tidak mudah. Alih-alih mereda, perkembangan Covid-19 melahirkan ancaman mutasi baru varian baru bernama Omicron yang mampu menular dengan cepat.
Sejak pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan, varian Omicron kini telah menjangkiti lebih dari 90 negara, termasuk Indonesia. Hingga Minggu (20/12/2021), tiga warga Indonesia telah terkonfirmasi positif varian B.1.1520. Sedangkan di dunia, ada 15.000 orang yang sudah terinfeksi varian itu.
Selain ketidakpastian pandemi, G20 di bawah Presidensi Indonesia juga dituntut memainkan peran penting untuk mempercepat pemulihan ekonomi dunia, di tengah meningkatnya kebutuhan pendanaan bagi negara berkembang dan miskin, ancaman inflasi, serta kenaikan suku bunga.
Belum lagi, isu keamanan kawasan yang semakin menghangat, salah satunya adalah sengketa Laut Natuna Utara. Dalam situasi konstelasi dunia seperti itulah, Indonesia memegang Presidensi G20 mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.
Oleh karena itu, Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 sangat penting karena sedikit banyak akan menentukan jalur pemulihan kesehatan dan ekonomi dunia, serta menjadi jembatan dari kepentingan negara-negara berkembang.
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada 18 November 2021 berjanji akan mendorong forum G20 agar berkontribusi bagi upaya pemerataan kemakmuran dunia. Kepala Negara juga menekankan, G20 juga akan memperjuangkan tata kelola dunia agar lebih adil, merata, dan inklusif.
Pandemi Covid-19 mengajarkan agar seluruh negara perlu meningkatkan ketahanan, kesehatan, dan ekonomi untuk menghadapi krisis-krisis selanjutnya. Pada kesempatan lain, Presiden Jokowi pun menegaskan, Indonesia akan memobilisasi dukungan negara maju untuk membantu negara berkembang dan negara miskin dalam pemulihan kesehatan dan ekonomi dari pandemi Covid-19.
Saat ini, G20 memainkankan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Sebanyak 20 anggotanya, yakni satu negara dan satu kawasan Uni Eropa menyumbang 80 persen GDP, 75 persen ekspor dunia. G20 juga setara dengan 60 persen populasi dunia.
Sejak pertama kali dibentuk pada 1999, G20 telah berkontribusi untuk melepaskan dunia dari jeratan krisis. Saat krisis keuangan global 2008-2009, G20 pertama kalinya menggelar pertemuan para kepala negara/kepala pemerintahan dalam konferensi tingkat tinggi. Sebelum 2008, forum G20 hanya menghadirkan pertemuan tingkat menteri keuangan dan gubernur bank sentral.
Pertemuan para kepala negara dinilai penting agar forum G20 memiliki bobot keputusan politik yang kuat. Deklarasi pemimpin G20 pada 2008 menghasilkan rencana aksi komprehensif yang tidak hanya berperan memulihkan dampak krisis keuangan global, melainkan juga sektor riil dan penyediaan lapangan kerja.
Sembilan tahun kemudian, yakni pada 2017, ketika stabilitas perekonomian dunia menghadapi tantangan ancaman proteksionisme ekonomi, Jerman yang menjadi keketuaan G20 menyuarakan dua agenda utama untuk pertumbuhan ekonomi dunia yang merata dan pembangunan berkelanjutan.
Kini, Indonesia dihadapkan pada tantangan tersebut. Sebagai tuan rumah, Presidensi G20 adalah panggung besar kekuatan diplomasi bagi Indonesia, terlebih pada 2023 Indonesia juga akan menjadi ketua Asean.
Saat meresmikan Presidensi G20 Indonesia pada 1 Desember 2021, Presiden Jokowi telah memberikan narasi yang jelas dan tegas Presidensi G20 Indonesia akan melahirkan inisiatif yang konkret. Kepala Negara mengatakan, Presidensi G20 Indonesia akan berusaha membangun tata kelola yang lebih sehat, lebih adil, dan berkelanjutan berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Usung Tiga Isu
Indonesia akan mengusung tiga isu strategis pada G20 di 2022, yakni penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, dan transisi menuju energi berkelanjutan.
"Indonesia akan terus mendorong negara-negara G20 membangun kolaborasi dan menggalang kekuatan untuk memastikan masyarakat dunia dapat merasakan dampak positif dari kerja sama ini," ujar Presiden Jokowi.
G20 memiliki dua jalur pembahasan isu, yakni financial track dan sherpa track. Financial track atau jalur keuangan terdiri dari menteri keuangan dan gubernur bank sentral seluruh anggota G20 yang secara khusus membahas isu-isu mengenai sektor finansial. Sedangkan, Sherpa Track membahas agenda di luar sektor finansial serta mempersiapkan berbagai dokumen yang akan dibahas di KTT.
Para sherpa ditunjuk langsung oleh kepala pemerintahan/negara dan dipandang sebagai perwakilan mereka di berbagai pertemuan G20 selain KTT. Ketua I Sherpa Track Presidensi G20 Indonesia, Airlangga Hartarto, yang juga Menteri Koordinator bidang Perekonomian, mengatakan bahwa Presidensi G20 Indonesia bertujuan agar dunia dapat keluar dari krisis dengan lebih baik dan lebih tangguh.
Sementara itu, khusus isu finance track, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bersama Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo didapuk masing-masing sebagai Ketua I dan Ketua II Finance Track G20. Mereka berdua akan memimpin forum lembaga fiskal dan moneter negara-negara anggota G20.
Ada enam agenda prioritas yang diangkat dalam agenda finance track Presidensi G20 Indonesia. Pertama, exit strategi untuk mendukung pemulihan. Kedua, mengatasi dampak pandemi untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan.
Dalam area ini akan membahas lebih lanjut mengenai dampak Covid-19 yang mempengaruhi sektor rill, termasuk tenaga kerja dan juga sisi keuangan untuk pulih bersama dan menjadi kuat.
Ketiga, sistem pembayaran di era digital yang ditangani oleh Bank Indonesia. Keempat, keuangan berkelanjutan di mana forum diskusi akan fokus pada tujuan keberlanjutan dan pembiayaan perubahan iklim yang kredibel dan menciptakan keadilan bagi semua negara.
Kelima, inklusi keuangan. Di agenda ini akan mengeluarkan inklusi keuangan, terutama terkait peran teknologi digital dan peluang untuk meningkatkan akses bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam hal pembiayaan dan pemasaran.
Keenam, masalah perpajakan internasional. Dalam konteks itu, pembahasan alam menyangkut soal pajak internasional dan menciptakan kepastian rezim pajak, transparansi, dan pembangunan.
Sri Mulyani, dalam satu kesempatan berkaitan G20, menyoroti pertumbuhan global yang tidak merata. Dalam konteks wabah pandemi Covid-19 yang juga sudah melanda seluruh dunia, Sri Mulyani juga menekankan pentingnya akses terhadap vaksin merupakan persyaratan untuk pemulihan berkelanjutan.
Menkeu juga menekankan pentingnya bauran kebijakan harus memungkinkan negara untuk meminimalisasi konsekuensi yang timbul dari transisi hijau. Pendanaan juga menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara yang memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim.
Komitmen negara-negara maju sangat penting dalam mendukung pembiayaan untuk negara berkembang, dan mendorong kerja sama dengan investor publik dan swasta. Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen kuat dalam mendukung agenda iklim, dengan melakukan adopsi reformasi fiskal untuk mempercepat transisi hijau.
Hal lain yang diangkat dalam pembahasan G20 di isu finance track adalah dukungan kesepakatan atas dua pilar reformasi pajak internasional. Bentuknya berupa negara pasar dari perusahaan multinasional berhak mendapatkan alokasi pemajakan atas penghasilan global perusahaan digital global atau multinasional terbesar.
Begitu juga pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen. “Indonesia berkomitmen untuk menjaga momentum dalam implementasi dari kesepakatan tersebut pada masa Presidensi tahun 2022,” ujar Sri Mulyani.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari