Indonesia.go.id - Dukungan Presidensi G20 Indonesia untuk Negara Miskin

Dukungan Presidensi G20 Indonesia untuk Negara Miskin

  • Administrator
  • Rabu, 2 Februari 2022 | 06:57 WIB
G20
  pertemuan G20 International Financial Architecture Working Group (IFAWG) yang diselenggarakan oleh Presidensi G20 Indonesia (diwakili oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan RI).
Sistem keuangan internasional saat ini secara umum dipandang lebih berdaya tahan dibandingkan dengan beberapa episode krisis global sebelumnya.

Forum Investasi Tahunan 2022 (Annual Investment Forum 2022) sebagai bagian pertemuan G20 International Financial Architecture Working Group (IFAWG) baru saja tuntas. Pertemuan yang diselenggarakan Presidensi G20 Indonesia, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan itu telah memunculkan komitmen bersama untuk memperkuat ketahanan dan mendorong stabilitas sistem keuangan internasional.

Pertemuan yang diselenggarakan secara virtual sejak 27 Januari hingga 28 Januari 2022 itu merupakan rangkaian untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia yang memiliki enam agenda prioritas di jalur keuangan (finance track). Agenda pertama, perumusan normalisasi kebijakan (exit strategy) agar tetap kondusif bagi pemulihan ekonomi dunia.

Kedua, perumusan respons kebijakan reformasi struktural di sektor riil untuk mengatasi luka memar (scarring effect) dari pandemi Covid-19. Ketiga, mendorong kerja sama antarnegara dalam sistem pembayaran digital.

Keempat, mendorong produktivitas dan kelima, perluasan ekonomi. Kemudian agenda keenam, keuangan inklusif serta koordinasi internasional dalam agenda perpajakan untuk mencapai sistem perpajakan internasional yang adil, berkelanjutan, dan modern.

Forum itu menilai sistem keuangan internasional saat ini secara umum dipandang lebih berdaya tahan dibandingkan dengan beberapa episode krisis global sebelumnya, di tengah peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang berasal dari varian Omicron. Oleh karena itu, menurut Rudy B Hutabarat, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa Bank Indonesia, berbagai risiko terhadap sistem keuangan internasional itu perlu diantisipasi agar tidak menghambat proses pemulihan ekonomi dunia.

Selain persoalan sistem keuangan internasional, seminar itu juga muncul bahasan soal pendampingan bagi negara miskin untuk dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan utang. Indonesia, tambah Rudi, memberikan penekanan soal pentingnya memperkuat sistem keuangan internasional dan menjaga semangat multilateral dalam menghadapi tantangan global di tengah pandemi untuk dapat mendorong pemulihan ekonomi yang kuat dan inklusif.

Indonesia juga menegaskan dukungan bagi upaya membantu negara miskin dalam mengatasi pandemi. “Saat ini, negara-negara berkembang memiliki kondisi ekonomi dan keuangan yang lebih baik dibandingkan pada tahun 2013, dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter (exit strategy) oleh bank-bank sentral negara utama,” ujarnya.

Rudy menambahkan, diskusi kebijakan antarnegara terkait exit strategy perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dari berbagai negara khususnya dalam upaya memperkuat monitoring risiko global dan meminimalkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Rudy juga mengharapkan, seminar ini dapat membuka wawasan terkait salah satu agenda penting G20, yakni upaya mensinkronkan divergensi kebijakan global (synchronize the unsynchronized world) dalam memastikan tercapainya tema G20 “Recover Together, Recover Stronger”.

Selain Rudy B Hutabarat, hadir pembicara lain dalam seminar itu Ilhyock Shim dari Bank for International Settlement (BIS), sebuah bank yang memiliki misi untuk mendukung bank sentral untuk mencapai stabilitas moneter dan finansial melalui kerja sama internasional dan melakukan aksi sebagai bank bagi bank sentral tersebut. Shim memaparkan tentang kekuatan ekonomi negara-negara emerging market.

Bersama Shim, pembicara lainnya adalah Andre de Silva dari HSBC yang memberikan pemaparan soal pandangan pelaku pasar terhadap kesiapan negara-negara emerging market dalam menghadapi normalisasi kebijakan. Ketiga pembicara itu berbicara dalam seminar internasional sebagai side event Presidensi G20 Indonesia 2022 yang menjadi rangkaian acara Bank Indonesia Annual Investment Forum 2022 dengan topik Anticipating the Impact of Global Central Bank Exit Strategy on Emerging Market's Capital Flows, Sabtu (29/1/2022).

Selain pembahasan soal sistem keuangan internasional, pertemuan G20 IFAWG, seperti disampaikan Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, juga membahas dinamika aliran modal beserta respons kebijakan yang diperlukan khususnya di negara berkembang di hari pertama.

 

Keuangan Global

Pada pertemuan itu juga muncul bahasan soal penguatan jaring pengaman keuangan global, dan upaya memperkuat ketahanan sistem keuangan dari berbagai sumber kerentanan. Menurut Erwin, berbagai risiko terhadap sistem keuangan internasional, termasuk potensi pengetatan kebijakan moneter akibat meningkatnya tekanan inflasi, menyempitnya ruang kebijakan, tinggi dan terus meningkatnya level utang di berbagai negara, serta peningkatan volatilitas di pasar keuangan, mewarnai diskusi tersebut.

Pasalnya, berbagai risiko itu berpotensi menghambat proses pemulihan ekonomi dunia. Untuk itu, negara G20 berkomitmen untuk mendorong pemulihan ekonomi global.

Tidak itu saja, G20 juga berkomitmen untuk terus mendukung negara miskin yang menghadapi kerentanan perekonomian dan membutuhkan pendanaan dalam upaya mengatasi dampak pandemi melalui penyaluran IMF Special Drawing Rights (SDR) secara sukarela oleh negara-negara yang memiliki posisi keuangan eksternal yang kuat.

Pertanyaanya, apa itu SDR? Secara sederhana, artinya adalah satu negara memiliki hak untuk melakukan penarikan khusus terhadap asset cadangan mata uang asing pelengkap yang ditetapkan dan dikelola IMF. Sebagai bentuk merespons terhadap tantangan ekonomi yang muncul akibat pandemi Covid-19, hingga Agustus 2021 IMF telah mengalokasikan dana USD650 miliar untuk kepentingan SDR bagi anggotanya untuk mendorong likuiditas global.

Semua itu merupakan bagian dari kelanjutan ambisi global yang telah dicanangkan para pemimpin negara G20 dalam KTT G20 Roma pada 2021. Dalam pertemuan tersebut, negara G20 juga menyambut baik rencana pembentukan Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh International Monetary Fund (IMF), sebagai opsi penyaluran SDR guna menanggulangi permasalahan pendanaan jangka panjang.

RST dalam bentuk SDR itu diperuntukkan bagi negara miskin dan negara berkembang yang memiliki kerentanan, khususnya untuk mengatasi pandemi dan perubahan iklim. Selain itu, Erwin menjelaskan, negara G20 memandang pentingnya mendorong koordinasi internasional dalam memperkuat jaring pengaman keuangan global.

Negara G20 juga mendiskusikan upaya mendorong aliran modal yang berkelanjutan, antara lain, melalui asesmen manfaat dan risiko atas diversifikasi mata uang dalam transaksi perdagangan dan keuangan internasional. Di hari kedua, Erwin mengemukakan, IFAWG membahas upaya memperkuat dukungan pendanaan dan pengelolaan utang bagi negara miskin.

Sehubungan dengan telah berakhirnya perpanjangan program penundaan pembayaran utang (debt service suspension initiatives/DSSI) kepada negara miskin di akhir 2021, negara G20 mendiskusikan arah penguatan kebijakan pengelolaan utang bagi negara miskin melalui Common Framework for debt treatment beyond the DSSI.

Selain itu, negara G20 juga mendiskusikan ihwal komitmen untuk terus meningkatkan transparansi dan keberlanjutan dalam memberikan bantuan pendanaan bagi negara miskin dan berkembang, terutama dalam semangat untuk recover together, recover stronger.  “Indonesia juga menegaskan dukungan bagi upaya membantu negara miskin dalam mengatasi pandemi,” imbuh Erwin.

Erwin Haryono juga menambahkan, hasil dari pertemuan IFAWG itu juga menunjukkan penguatan upaya kolektif G20 dalam meningkatkan stabilitas dan ketahanan sistem keuangan internasional selama 2022. Selain itu, pelbagai bahasan itu akan menjadi bagian dari topik yang akan dilaporkan dan mendapatkan arahan lebih lanjut dari menteri dan Gubernur Bank Sentral negara G20 pada pertemuan Februari 2022.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari