Tidak ada satu negara pun yang bisa bangkit sendirian. Semua negara harus saling membantu agar tidak ada yang terisolasi.
Wabah Covid-19 telah meninggalkan luka, tidak hanya untuk satu negara, melainkan hampir menyentuh seluruh pelosok dunia. Dampak luka memar (scarring effect) itu salah satunya pada perekonomian, termasuk Indonesia
Ilustrasi itu dikemukakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pembukaan The1st Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) Meeting Presidensi G20 Indonesia 2022, Kamis (17/2/2022).
Menurut Kepala Negara, dalam keadaan seperti ini (derita berkepanjangan dari pandemi Covid-19), tidak ada satu negarapun yang bisa bangkit sendirian. Semua negara harus saling membantu agar tidak ada yang terisolasi.
"Kebangkitan satu kawasan akan membangkitkan kawasan yang lainnya. Sebaliknya, keruntuhan satu kawasan akan ikut meruntuhkan kawasan yang lainnya," ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi juga menambahkan bahwa belum meredanya musim dingin (winter), yang menerpa dunia, seharusnya tidak terjadi pertikaian dan membuat ketegangan baru yang mengganggu pemulihan dunia. Terutama yang membahayakan keselamatan dunia, seperti yang terjadi di Ukraina saat ini.
"Saat ini semua pihak harus menghentikan rivalitas dan ketegangan. Kita harus fokus untuk bersinergi, untuk berkolaborsi menyelamatkan dan membangkitkan dunia tempat kita hidup, untuk segera bangkit kembali, pulih kembali," tambahnya.
Istilah winter is coming pernah dilontarkan Presiden Jokowi saat menghadiri pertemuan IMF-World Bank 2018. Pada saat itu, Presiden Jokowi melontarkan pernyataan itu sebagai peringatan akan potensi guncangan ekonomi dunia di masa datang. Winter is coming betul-betul terjadi.
"Sebagaimana saya katakan pada IMF WB annual meeting pada tahun 2018, the winter is coming yang berat saat ini benar-benar datang," katanya.
Presiden Jokowi menambahkan, negara-negara dunia juga harus bekerja sama dalam mengendalikan inflasi yang masih menghantui, caranya dengan mengantisipasi kelangkaan dan kenaikan harga pangan.
Selain itu, mengatasi kelangkaan kontainer dan rantai logistik, serta mencegah terjadinya kelaparan. “Kita harus mempercepat proses transisi menuju ekonomi baru. Kita harus mempercepat transformasi digital yang merata dan terjangkau dan kita harus mendukung kebangkitan UMKM," pungkasnya.
Sangat Menantang
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi Presidensi G20 di saat yang sangat menantang. Kendati demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat Indonesia untuk memfasilitasi isu-isu penting yang akan dibicarakan di dalam pertemuan G20 tahun ini.
Tidak hanya menangani dampak Covid-19, dunia juga harus sigap menangani risiko baru di kemudian hari. Oleh karena itu, Sri Mulyani menilai, G20 dapat berperan untuk mendorong pemulihan global yang merata dan kuat.
"Menangani dampak ekonomi dan pemerataan akses vaksin menjadi prioritas," papar Sri Mulyani, yang bersama Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, membuka pertemuan pertama menteri keuangan dan gubernur bank sentral tersebut.
Sri Mulyani juga mengingatkan adanya risiko-risiko pemulihan ekonomi, antara lain, kenaikan harga makanan dan energi, normalisasi suku bunga, varian baru Covid-19, bencana alam, hingga masalah geopolitik.
Dalam kesempatan pembukaan itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengingatkan pula ada enam agenda prioritas di finance track dalam Presidensi G20 Indonesia. Keenam agenda itu, di antaranya, exit strategy untuk mendukung pemulihan ekonomi, menangani efek luka memar untuk mengamankan pertumbuhan, sistem pembayaran di era digital, keuangan berkelanjutan, inklusi keuangan, dan perpajakan internasional.
Pernyataan Perry di pembukaan itu dilanjutkannya di seminar dengan tema Exit Strategy and Scarring Effects Post Covid-19 pada hari yang sama. Dia mengemukakan, perlu kebijakan yang dikalibrasi, direncanakan, dan dikomunikasikan dengan baik (well calibrated, well planned, well communicated) oleh setiap negara.
Caranya bagaimana? Perry juga memberikan resepnya. Dia menyebutkan, setiap negara perlu mendorong produktivitas dan investasi, bersama dengan strategi di bidang ketenagakerjaan dan realokasi modal untuk memulihkan luka tersebut.
Lebih lanjut, Gubernur Bank Indonesia itu juga menyampaikan strategi untuk mengantisipasi kebijakan normalisasi dan efek luka memar. Untuk dampak normalisasi, negara berkembang perlu memperkuat daya tahan (resilience) dalam menghadapi dampak proses normalisasi sehingga pemulihan ekonomi dan stabilitas tetap terjaga.
Selain itu, kerja sama antarnegara juga perlu diperkuat melalui Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) dan penggunaan Local Currency Settlement (LCS) secara lebih luas demi mendukung promosi perdagangan dan investasi.
Strategi terkait scarring effect mendorong adanya langkah-langkah yang sinergis dan kolaboratif peran seluruh pihak. Dari sisi korporasi, kontribusi peran dilakukan melalui penguatan strategi bisnis dan perbankan melalui partisipasi kredit/pembiayaan ke sektor riil.
Sementara itu, peran lembaga-lembaga yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ditempuh melalui kebijakan yang mendorong kredit pembiayaan untuk sektor prioritas.
Perry mengingatkan juga peran dari sisi pemerintah melalui program reformasi struktural dalam menyediakan iklim investasi yang kondusif, tata niaga, perpajakan, infrastruktur, digitalisasi keuangan, dan implementasi UU Cipta Kerja.
Terkait ini, Gubernur Bank Indonesia itu menjelaskan pihaknya telah melakukan reformasi struktural di pasar keuangan, pendalaman pasar keuangan, digitalisasi sistem pembayaran, dan mendukung upaya pembiayaan bagi ekonomi untuk meredam scarring effect tersebut.
Senada dengan hal tersebut, Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menambahkan, ketidakpastian global seperti inflasi yang tinggi di sejumlah negara memengaruhi normalisasi yang dilakukan negara maju.
Dengan demikian, diperlukan kebijakan untuk menjaga persepsi pasar. Kemudian terkait scaring effect, hal terpenting bagi ekonomi global dan domestik, adalah penanganan pandemi Covid-19 agar luka ekonomi tidak semakin dalam.
“Pandemi berimplikasi pada kesadaran baru pada isu digitalisasi dan perubahan iklim, dan Bank Indonesia telah melakukan langkah untuk mendukung hal tersebut,” ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan, terdapat tiga prioritas agenda Presiden RI terkait Presidensi G20 Indonesia, yaitu arsitektur kesehatan global, digital ekonomi, dan transisi energi yang seluruhnya memerlukan koordinasi kebijakan antarnegara.
Sementara itu, Pengajar Cornell University dan Research Sholar BI Institute Iwan Jaya Azis memaparkan bahwa scarring effect dapat memiliki efek permanen terhadap produktivitas. “Dengan demikian, antisipasi terhadap dampak jangka panjang scarring effect memerlukan dorongan terhadap sektor manufaktur, dengan meningkatkan keterampilan tenaga kerja,” ujarnya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari