Presidensi G20 jadi momentum Indonesia untuk mendorong partisipasi petani dan UMKM sektor pangan menuju pasar global.
Petani dan UMKM sektor pangan berperan penting dalam pemulihan ekonomi, namun saat ini, masih kalah bersaing dengan negara lain. Presidensi G20 jadi momentum Indonesia untuk mendorong partisipasi petani dan UMKM sektor pangan menuju pasar global.
“Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dapat digunakan untuk mendorong sistem perdagangan global yang adil dan inklusif, termasuk melalui pengurangan hambatan nontarif yang selama ini menjadi hambatan pasar bagi petani maupun UMKM, serta mendorong perbaikan system pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan melalui penguatan petani dan UMKM,” jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam webinar “Indonesia dalam G20: Mendukung Petani Lokal untuk Memasuki Pasar Global” pada Kamis, 17 Februari 2022.
Acara Task Force 4: Food Security and Sustainable Agriculture yang diinisiasi oleh Center for Indonesian Studies itu juga menghadirkan pembicara yakni Jarot Indarto dari Bappenas dan Ganesan Ampalavanar, Presiden Direktur PT Nestlé Indonesia.
Filippa mengatakan, kuantitas dan kualitas produksi petani lokal serta pengolahan pascapanen masih menjadi tantangan. Beberapa hal yang menjadi tantangan, antara lain, adalah keterbatasan lahan yang menyebabkan keterbatasan skala usaha, kesulitan mengakses input pertanian yang menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan akan benih atau pupuk yang terjangkau, serta produktivitas yang rendah.
Felippa juga menambahkan, budaya riset dan pengembangan juga masih kurang sehingga transfer inovasi, teknologi, dan pengetahuan masih terbilang minim. “Keberadaan sistem pendukung juga belum memadai, misalnya storage dan pengolahan, pengeringan, atau cold chain untuk perishable item seperti buah dan sayuran,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kata Filippa, keterbatasan-keterbatasan yang ada itu masih ditambah dengan kesulitan untuk memenuhi standar internasional terkait food safety, kualitas, dan sustainability, yang salah satunya dipersyaratkan oleh Uni Eropa. Di sisi lain, tantangan dari eksternal muncul dari bertambahnya hambatan nontarif perdagangan.
”Sebanyak 96 persen sektor pertanian, peternakan, dan perikanan adalah pelaku UMKM. Jadi salah satu kunci pemulihan ekonomi adalah dengan memulihkan UMKM,” tandasnya.
Ia menegaskan petani dan UMKM perlu diberikan akses lebih luas untuk terlibat dalam value chain supaya daya saingnya lebih kompetitif. Selain itu, mereka juga diharapkan bisa memasok bahan baku ke industri midstream, downstream, atau ekspor.
Selain mendorong kebijakan di tingkat global melalui G20, Felippa juga merekomendasikan beberapa hal bagi pemerintah Indonesia sendiri, yaitu memastikan ekosistem perdagangan yang inklusif dan adil. Dalam hal itu, sambung dia, pemerintah juga perlu mengurangi market access barriers dalam bentuk hambatan nontarif.
“Karena hal ini menambah biaya transaksi perdagangan yang lebih memberatkan UMKM dan membatasi akses ke input pertanian yang berkualitas,” katanya.
Felippa menegaskan pemerintah juga perlu melakukan beberapa reformasi kebijakan untuk memperkuat dukungan pada pertanian berkelanjutan, melalui realokasi subsidi pertanian ke kegiatan riset dan teknologi. Sementara itu, Ganesan Ampalavanar, Presiden Direktur PT Nestlé Indonesia, mengungkap adanya keselarasan ambisi Nestle Indonesia dengan presidensi G20, terutama dalam komitmen perubahan iklim, isu lingkungan, dan pertanian.
Ganesan mengatakan bahwa ada potensi besar dan peluang besar bidang pertanian. Perlunya kemitraan atau kolaborasi multipihak antara petani kecil, private sector, dan pemerintah.
Ia pun menceritakan tentang perkembangan pesat Vietnam dalam bidang pengolah kopi. Menurutnya, saat ini Vietnam menjadi negara kedua terbesar dunia dalam pengolahan kopi, setelah Brasil. “Tiga puluh tahun lalu, Vietnam tidak masuk top 10 penghasil kopi. Tapi dalam masa 20 tahun belakangan, Vietnam menjadi pengolah kopi terbesar kedua setelah Brasil,” paparnya.
Ganesan menuturkan, kebanyakan petani di Vietnam adalah petani kecil dan tidak ada perladangan besar. Tapi di Vietnam sekarang hasilnya 4 ton per ha. Sementara itu di Indonesia, hasil panennya baru 0.8 per ha. “Artinya pendapatan petani Vietnam lima kali untuk usaha yang mereka lakukan,” tegasnya.
Cerita Vietnam ini menjadi contoh kemitraan yang komprehensif, tepat memilih sektor-sektor pertanian yang punya kompetitive advantage. “Vietnam memilih kopi dan Nestle membantu dalam sharing atau siosialisasi teknik-teknik penanaman yang baru, dengan planted atau teknologi pengolahan yang baru,” tutur Ganesan.
Oleh karena itu, Ganesan berharap, Presidensi G20 ini dijadikan forum untuk menentukan kemitraan. “Peran swasta adalah menyediakan pasar. Perusahaan seperti Nestle bersedia membeli asal quantity bagus dan kualitas juga bagus. Indonesia hari ini mempunyai peluang untuk menjadi suplier to the world. Kalau kita melakukan sesuatu yang betul hari ini, maka dampaknya untuk masa yang datang,” tegasnya.
Di acara yang sama Analis Kebijakan Bappenas Jarot Indarto mengatakan bahwa UMKM termasuk UMKM Pertanian, mempunyai peran besar membantu masyarakat dalam menghadapi krisis-krisis yang sering terjadi. UMKM juga sekaligus menjadi sarana masyarakat untuk meningkatkan potensinya ke dalam akses aktivitas ekonomi yang lebih besar untuk pasar global maupun potensi yang lain.
Sehingga, kata Jarot, pengembangan UKM di sektor pertanian menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Selain itu, masih ada tantangan dari internal pertanian maupun ekstenal. Di internal, tantangan yang ada terkait skala usaha. Lalu, tantangan SDM di sektor pertanian dan nelayan, terkait dengan kualitas SDM petani dan nelayan yang terkait dengan struktur usia SDM. “Tantangan itu yang perlu disiapkan lebih baik. Tantangan itu menyebabkan akses terbatas, baik ases informasi, potensi pasar, dan sebagainya, termasuk akses pendanaan,” kata Jarot.
Jarot menyebutkan, data perkembangan kredit UMKM yang kurang lebih baru di angka 20 persen. Dari 20 persen itu, UMKM sektor pertanian yang memanfaatkan kredit hanya sekitar 12--13 persen.
“Untuk eksternal keterbatasan dan kendala infrastruktur (infrastuktur kendala jalan, energi, maupun komunikasi) sehingga menyebabkan produktivitas rendah dan ongkos produksi tinggi,” pungkasnya.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari