Bukan hanya wacana, tapi program nyata, di depan Working Group G20, Indonesia menunjukkan langkah-langkah kunci memangkas emisi karbon.
Laut biru dan hamparan tanah yang menghijau adalah ruang kehidupan yang harus terjaga kelestariannya. Tapi, tatanan kehidupan “manusia industri” telah membuat laut dan daratan mengalami tekanan hebat dan menyusut daya dukungnya. Bahkan, dari bumi yang tertekan itu kini muncul gejala anomali, yakni perubahan iklim, yang mendatangkan banyak masalah bagi penghuni bumi.
Maka, ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi biru (blue economy) pun telah disorongkan sebagai jalur baru bagi dunia industri guna menyelenggarakan kegiatan ekonominya. Bila green economy itu berkhidmat pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan diiringi dengan penurunan risiko kerusakan lingkungan, maka blue economy lebih bertakzim pada pembangunan ekonomi berkelanjutan di sektor kelautan.
Tentu tidak mudah meretas jalan baru itu. Berbagai tantangan menghadang, namun sejumlah peluang pun muncul memberi harapan. Gambaran itu yang bergulir dalam seminar bertajuk “Navigating Challenges and Optimizing Opportunities of Green Economy and Blue Economy Implementation in Developing Countries”, yang merupakan bagian dari First G20 Development Working Group Meeting.
Seminar yang dihelat Rabu (23/2/2022) itu terkait Presidensi Indonesia pada G20, dan dihadiri sekitar 200 orang yang mewakili stakeholder G20 dan pendukungnya. Mereka datang dari kalangan Pemerintahan RI, perwakilan badan dunia, LSM, serta sayap pemuda, perempuan, pengusaha, ilmuwan, dan sejumlah lainnya.
Secara global, green dan blue economy (keduanya sering disebut green scenario) ini dianggap menjanjikan. Green Scenario dipercaya mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru 6--16 persen (dari populasi tenaga kerja 2015) hanya di periode awal. Seterusnya ia diyakini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Industri berbasis skenario hijau itu diperhitungkan dapat menciptakan lebih dari 40 juta lowongan kerja. Berkat tata kelolanya yang lebih baik, ia dapat menghindarkan negara-negara dunia dari kerugian ekonomi senilau USD200 miliar per tahun akibat kerusakan lingkungan.
Toh, pelaksanaannya tidak mudah. Banyak tantangan. Salah satunya, banyak ekosistem darat serta laut yang telanjur terkikis, dan memerlukan rehabilitasi sebelum dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Tantangan lainnya adalah kurangnya otoritas kelembagaan serta kapasitas teknisnya. Ada pula masalah pemerataan intrastruktur rendah karbon, ada kesenjangan pada kemampuan pembiayaan perbaikan lingkungan. Di banyak negara, juga ada masalah keterbatasan ruang fiskal dan kemauan politik.
Program Indonesia
Direktur Pengelolaan Lingkungan Hidup Bappenas M Medrilzam, yang menjadi juru bicara Indonesia di forum Working Group G20 itu menggambarkan betapa climate change telah memberikan dampak nyata. Dari 4.8432 kejadian bencana pada 2020, kata Madrilzam, 98-99 persen adalah bencana hidrometeorologi.
‘’Bencana alam karena perubahan iklim itu mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar,’’ ujarnya.
Bila skenario hijau tak dijalankan, maka sejumlah kerusakan bakal berlanjut. Penyediaan energi terbarukan bagi Indonesia, kata Medrilzam, tak bisa ditunda-tunda, karena kebutuhan energi di tahun 2060 akan tiga kali lipat dari angka tahun 2022.
Tanpa skenario hijau, kawasan hutan Indonesia hanya akan tersisa 45 persen pada 2060, dibanding luasan 2020. Krisis air akan melanda di 9,6 persen wilayah di 2045, dan habitat satwa liar berkurang 50 persen. Di saat yang sama, berbagai bencana alam akan makin sering terjadi bahkan makin parah. Ada perubahan suhu ekstrem, badai, banjir, longsor, tsunami, kekeringan, dan kebakaran lahan.
Perubahan iklim, tutur Medrilzam, bukan melulu isu lingkungan, melainkan sudah melebar menjadi isu ekonomi. Bersama negara-negara dunia lainnya, Indonesia pun telah mencanangkan tekad membendung perubahan iklim ini. Strategi transformasi dengan green economy sebagai “game changer” yang sedang dan telah dijalankan.
Melalui implementasi yang sungguh-sungguh, ekonomi hijau menjadi penyedia alat yang untuk mengubah aktivitas ekonomi dengan cara yang lebih sustainable (ramah lingkungan). Prinsip-prinsip ekonomi hijau dan ekonomi biru, yang menyeimbangkan manfaat ekonomi dengan benefit bagi lingkungan dijalankan. Ekonomi sirkular yang menghargai industri proses daur ulang didorong, seraya mengupayakan agar segala aksi dalam memangkas emisi karbon bisa menciptakan nilai tambah ekonomi.
Pemerintah Indonesia tak akan melakukannya sendirian. Maka, dalam pelaksanaan skerio hijau tersebut, jajaran kementerian dan lembaga pemerintahan akan bekerja sama dengan para partner pembangunan, akademisi, lembaga filantropi, media, dan komunitas
Komitmen Indonesia dalam keikutsertaan di dalam gerakan global untuk menangkal perubahan iklim itu tidak sebatas ikut menandatangi Paris Agreement 2015, dengan segala konvensi turunannya. Indonesia telah memasukkan Program Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim itu ke dalam agenda kerja pemerintah, berikut target, lokasi, dan sektornya. Semuanya tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.
Mengacu pada RPJMN, maka disusunkan kerangka kerja low carbon development Indonesia (LCDI). Ada lima langkah kunci agar LCDI itu bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan seraya menekan emisi antara 27,3–31,5 persen di 2024.
Kelima jurus itu ialah pelaksanaan agenda manajemen limbah dan pengembangan ekonom sirkular; pengembangan industri hijau, pembangunan sistem energi ramah lingkungan (energi terbarukan); pengelolaan laut rendah karbon, antara lain, dengan kuota tangkap produk laut di bawah ambang lestari; serta restorasi lahan hutan dan kawasan mangrove.
Program aksi Indonesia itulah yang dibagi kepada masyarakat dunia melalui forum G20. Tentu, Indonesia mengajak dunia internasional terlibat dalam kerja sama, agar program-program yang ada bisa diakselerasikan.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari