Indonesia.go.id - Mitigasi Bencana Seraya Ciptakan Lapangan Kerja

Mitigasi Bencana Seraya Ciptakan Lapangan Kerja

  • Administrator
  • Minggu, 27 Februari 2022 | 06:00 WIB
G20
  Sumber energi baru yang digunakan Swedia. Menggunakan laut menjadi sumber energi, dan menyerap tenaga kerja dalam perawatannya. OEDigital
Di forum working group meeting, Swedia berbagi agenda tentang tata kelola Laut Baltik. International Labour Organization (ILO) mencatat lebih banyak kesempatan kerja baru yang muncul ketimbang yang hilang.

Salah satu negara sahabat Indonesia dalam kerja sama perubahan iklim adalah Swedia. Indonesia telah mengikat kerja sama bilateral dalam format sustainability partnership, antara lain, dalam isu energi terbarukan, transportasi cerdas, dan pengembangan ekonomi biru, yakni pengelolaan laut secara berkelanjutan.

Atas kedekatan itu, tidak mengherankan bila Swedia mengirim utusan khusus Dr Jakob Jeremias Granit untuk hadir sebagai pembicara pada Working Group Meeting G20, dengan topik “Pengembangan Green dan Blue Economy”, yang dihelat Indonesia sebagai memegang Presidensi G20. Jakob Granit sendiri adalah Direktur Jenderal Swedish Agency for Marine and Water Management (SwaM), yang berkedudukan di Gothenburg, Swedia.

Dalam working group seminar yang dilakukan secara virtual, Rabu (23/2/2022), Jakob Granit tampil menarik lantaran membagikan pengalaman Swedia mengelola Laut Baltik, yang berbatasan dengan Jerman, Polandia, Lithuania, Latvia, Estonia, dan Fillandia, di kawasan dingin Eropa Utara. ‘’Perubahan iklim ini mempengaruhi seluruh permukaan di planet bumi, termasuk di Baltik,’’ ujar pakar manajemen sumber daya kelautan itu.

Meski tersembunyi di balik semenanjung besar Skandinavia, kata Jakob Granit, Laut Baltik pun tak lepas dari pegaruh antropogenik dan hasilnya ialah pencemaran, kerusakan fisik, biologis, dan kimia. Ada pencemaran sampah plastik dan limbah medis. ‘’Konsentrasi fosfor dan nitrogen. Kualitas air laut menurun dan makhluk laut terancam, apalagi kegiatan transportasi laut meningkat,’’ ujarnya.

Munculnya gelombang air panas di Baltik juga membuat kualitas perairan semakin buruk. Menghadapi situasi ini, Swedia tak bekerja sendirian melakukan penataan ulang pemanfaatan laut dengan konsep blue economy. Kekuatan Uni Eropa turun tangan, selain negara-negara sekawasan, semuanya terjun berkiprah.

Pemerintah Swedia pun menggelar agendanya sendiri melalui lembaga SwaM yang dipimpin Jacob Granit. Kini SwaM memegang otoritas untuk merestotasi dan menjaga kelestarian sumber air tawar dan laut, termasuk  manajemen perikanan. Pendekatannya berbasis ekosistem.

Visi Pemerintah Swedia sendiri adalah membangun perairan laut yang sehat, seimbang, produktif, dengan pantai-pantai yang menarik. Pemanfaatan sumber daya laut terus berlanjut, bisa memberi lapangan kerja, menunjang perekonomian, namun akan dikelola secara berkelanjutan. Termasuk dalam pengaturan lembaga SwaM itu adalah danau dan sungai yang  alirannya akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.

Untuk menjamin keberlanjutan itu, menurut Jakob Granit, strategi yang diterapkan ialah menjaga lingkungan maritim yang sehat dan aman; pengembangan dan inovasi pengelolaan laut; menyusun tata ruang laut (maritime spatial planning); mengembangkan bisnis dengan standar blue economy; regulasi dan perizinan yang praktis dan efisien; serta bersikap koperatif dengan konvensi-konvensi dan norma internasional dalam mitigasi perubahan iklim.

Sebagaimana anggota Uni Eropa lainnya, Swedia juga  berkhidmat kepada Convention in Biological Diversity (2011), The 2th UN Ocean Conference, Glasgow Climate Pact (2021), International Seabed Authority (ISA) Code untuk penambangan laut, dan The United Nation Decade of Ocean Science for Sustainable Development. Swedia sendiri memiliki UU tentang penataan peraitan dan rencana 20 tahun pemanfaatan energi air yang ramah lingkungan.

‘’Dalam hal pengelolaan sumber daya air, di darat maupun di laut, kami menyesuaikan diri dengan norma dan ketentuan yang berlaku secara internasional,’’ kata Jakob Granit, di depan lebih dari 200 peserta seminar yang datang dari berbagai kalangan dan stakeholder G20 itu. Selain para ahli dari berbagai kementerian dan lembaga dari Pemerintah RI, webinar itu  juga dihadiri oleh utusan dari berbagai para wakil-wakil badan dunia serta kelompok sayap G20, yakni kelompok perempuan (W20), kelompok bisnis (B20), kelompok pemuda (Y20), para pakar (S20), dan kelompok lainnya.

Dampak Tenaga Kerja

Tata kelola baru atas kawasan laut dan  daratan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang biasa disebut green scenario (gabungan dari blue economy dan green economy) akan berpengaruh kepada nasib tenaga kerja. Maka, tata kelola baru sumber daya alam, yang kini terus dikembangkan, diharapkan memenuhi asas harus memenuhi asas kesetaraan, keadilan, dan inklusif.

Prinsip itu yang ditekankan oleh Christina Martinez, senior spesialist Environment and Decenr Work, yang bekerja pada International Labour Organization (ILO). Christina Martinez yang oleh badan PBB itu ditempatkan di Bangkok turut berbagi pandangannya dalam Working Group Meeting G20, yang dihelat oleh Bappenas itu, mewakili kepentingan kaum pekerja.

Mewakili kaum pekerja, Christina Martines menekankan prinsip Adjust Transition, sebuah tindakan mitigasi perubahan iklim yang dapat menciptakan lapangan kerja, memajukan keadilan sosial, serta memberi hak dan ruang berkarya yang setara bagi kaum pekerja, para pengusaha serta komunitas.

Masing-masing negara boleh melakukan adjust transition secara berbeda sesuai kondisi yang ada.  Indonesia, misalnya merespons climate change itu dengan pembangunan energi terbarukan;  sistem tata kelola laut rendah karbon (blue economy), restorasi lahan hutan dan kawasan mangrove; dan sejumlah lainnya. Prinsip adjust transition meminta agar transformasi hijau itu membuka lapangan kerja dan bisa meningkatkan taraf hidup.

Saat ini climate change, kata Christina, tidak saja membuat kemerosotan pada lingkungan alam, pun juga mengakibatkan 1,2 juta pekerjaan hilang akibat kerusakan alam itu sendiri. Bila tak ada mitigasi yang memadai, pada 2030 nanti 80 juta lapangan kerja akan hilang. Namun jika dilakukan mitigasi secara baik, akan lahir 100 juta peluang kerja baru.

Mengutip panduan Direktur Jenderal ILO Guy Ryder, Christina Martinez mengatakan bahwa potensi  penciptaan lapangan dari skenario hijau itu bisa sangat besar. Kuncinya setiap pemerintahan negara menggunakan sistem recovery untuk membantu industri hijau, mendukung inovasi dan menerapkan regulasi yang memberi insentif untuk kegiatan yang mendukung sustainability

Bagi industri dan korporasi, dalam panduan ILO itu, diharapkan melakukan perubahan fundamental pada supply chain serta membuka kesempatan untuk kolaborasi. Adapun untuk pekerja diharapkan bisa memperbaiki sistem perlindungan hak termasuk menerima imbalan yang layak.

Untuk kawasan Asia Selatan dan Tenggara, ILO menyiapkan kerja sama terkait dampak transisi dari pemadaman secara bertahap pembangkit listrik batu bara. ILO juga menjalin bekerja sama transisi perkakas pada industri tektil dan garmen (di Bangladesh, Kamboja, Indonesia); transisi pada sektor energi (Filipina, Indonesia, Vietnam); transisi sektor kimia (Malaysia dan Vietnam), serta transisi di sektor pengolahan limbah di India.

Perlu kerja sama yang baik antarpihak agar transisi tersebut berhasil, berlangsung secara produktif, dan menciptakan lapangan kerja baru. Ancaman perubahan iklim itu bisa berubah menjadi peluang penyelamatan bumi, dengan skema green ekonomi, sekaligus menciptakan kesempatan kerja.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari