Transisi energi merupakan strategi panjang dunia dalam menekan emisi gas rumah kaca mencapai net zero emission. Dibutuhkan teknologi yang reliable dan kompetitif untuk dikembangkan, serta dukungan pendanaan.
Sidang hari pertama energy transitions working group (ETWG) Presidensi G20 Indonesia, di Yogyakarta, pada Kamis, 24 Maret 2022 diwarnai dengan acara penandatanganan empat kerja sama strategis menuju karbon netral 2060, antara PLN dan pemangku kepentingan terkait. Keempat kesepakatan kerja sama strategis itu adalah, pertama, MoU Pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dengan Himpunan Bank Milik Negara atau Himbara, yang terdiri atas Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN.
Kedua, PLN melakukan power purchase agreement (PPA) dua proyek, yaitu pengembangan PLTS di Bali bersama Medco Power dan juga pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro (PLTM) Kukusan-2 5,4 MW di Lampung dengan Arkora Energi Baru. PLN juga melakukan financial close PLTM Sukarame dengan kapasitas 7 MW di Lampung oleh Lampung Hydroenergy.
Ketiga, renewable energy certificate dari PLN ke enam perusahaan sebesar lebih dari 500 MW per tahun dari pembangkit EBT milik PLN. Keempat, PLN juga melakukan MoU dengan Yayasan World Wide Fund (WWF) tentang asistensi teknis dalam meningkatkan kualitas standar lingkungan sosial dan proyek infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, kesepakatan kerja sama strategis untuk mengurangi emisi global merupakan simbol bahwa pengembangan EBT saat ini menjadi fokus utama PLN. Dalam mengembangkan EBT dan menjalankan agenda transisi energi PLN terbuka peluang kerja sama dengan semua pihak.
“Ke depan pengembangan EBT dan upaya pengurangan emisi menjadi fokus semua pihak dalam mengurangi emisi global. Kerja sama ini sebagai komitmen nyata dari hasil pertemuan ETWG pertama ini,” ujar Darmawan.
Sidang Pertama ETWG yang dibuka Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tersebut menandai dimulainya pembahasan mengenai tiga isu utama transisi energi, yaitu aksesibilitas, teknologi, dan pendanaan.
"Kita harus memberikan akses ke masyarakat untuk menikmati energi, makanya diperlukan infrastruktur yang mendukung. Dibutuhkan pula teknologi yang reliable dan kompetitif untuk dikembangkan serta dukungan pendanaan," kata Arifin dalam Konferensi Pers ETWG-1.
Transisi energi merupakan strategi panjang dunia dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK), mencapai net zero emission (NZE), hingga meminimalisir perubahan iklim. Dia berharap, keterlibatan negara-negara G20 menjadi stimulus buat akselerasi proses transisi energi. Terlebih, G20 telah memberikan kontribusi 80% perekonomian dunia.
"Saya yakin, negara-negara G20 telah menerapkan transisi energi untuk mencapai NZE sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara situasi ekonomi, sosial, dan energi serta kemampuan teknologi, mulai dari 2050 hingga 2070," ungkap Arifin saat membuka sidang ETWG.
Kehadiran forum ETWG diharapkan mampu menemukan terobosan-teroban inovatif dalam hal teknologi dan pembiayaan. "Kita perlu mendiskusikan model terbaik untuk memobilisasi pembiayaan publik dan swasta untuk energi terbarukan," urai Arifin.
Bahkan di hadapan para delegasi G20 dan undangan, Arifin menegaskan, transisi energi merupakan tanggung jawab bersama, termasuk dukungan dari negara-negara maju. Perlu kerja dalam upaya bersama di antara 20 negara untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Dengan bekerja sama, maka dapat berinovasi lebih cepat, menciptakan skala ekonomi, dan memperkuat insentif untuk investasi.
International Renewable Energy Agency (IRENA) sendiri telah memperkirakan pencapaian NZE pada 2050, secara global membutuhkan tiga kali lipat investasi menjadi USD4,4 triliun per tahun untuk membangun energi bersih. Oleh karena itu, perlu memperkuat dan mengumpulkan komitmen dari negara maju untuk menopang pendanaan USD100 miliar per tahun untuk menangani perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia berkomitmen memastikan terpilihnya Indonesia sebagai Presidensi G20 akan memberikan dampak signifikan bagi perkembangan percepatan EBT. Indonesia harus bisa membuat program transisi energi ini jadi bermanfaat, bukan sebaliknya jadi beban, memberikan potensi pembukaan ekonomi baru berdampak pada masyarakat luas, mitigasi terhadap biaya, pertumbuhan tenaga kerja, hingga industri lokal.
Arifin menyoroti bagaimana pemanfaatan EBT melalui pembangunan masif Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap serta teknologi efisiensinya. Di samping itu, terdapat pula konversi motor listrik hingga pemanfaatan bioenergi. "Dengan B30 semua produk-produk sawit kita termanfaatkan. Ke depannya kita akan melakukan bioavtur, biogasoline yang sedang dalam proses scale up," ungkapnya.
Dampak percepatan EBT ini diharapkan juga mampu membantu mempercepat pencapaian target bauran EBT 23% di 2025. Hal ini sesuai yang disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan kusdiana.
"Kita tunjukkan kepada negara G20 kita telah siap dari sisi regulasi. Apalagi potensi yang besar di kita dari sisi sumber daya EBT maupuan (permintaan) demand. Kita siap memberikan sistem atau mekanisme untuk investasi yang kondusif. Sehingga nanti kita siap tunjukkan kepada tamu G20, kita bisa memastikan capaian (bauran EBT) 23% di 2025 dan 29% penurunan emisi di 2030 melalui kerja sama dengan negara G20 atau mitra negara lainnya," ungkap Dadan.
Apabila proses transisi energi berjalan lancar, diharapkan mampu memudahkan seluruh negara termasuk Indonesia mencapai NZE sekaligus mencapai target pemulihan ekonomi global. "Ini akan menjadi konsensus bersama jika semua negara terlibat. Apalagi peran Indonesia sangat penting mengingat tiga tahun ke depan yang menjadi tuan rumah G20 adalah negara-negara berkembang," jelas Co-Chair ETWG Prahoro Yulijanto.
Sebagai informasi, pada ETWG kali ini dihadiri oleh anggota G20 baik hadir secara fisik maupun virtual, lima negara undangan, serta lima organisasi internasional. Sementara itu, pada 3rd Palm Biodiesel Conference yang termasuk dalam rangkaian acara ETWG 1 Presidensi G20 Indonesia, 24 Maret 2022, Menteri ESDM mengatakan, pengembangan biodiesel di Indonesia memiliki peran strategis dan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek.
Implementasi biodiesel di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pemanfaatan biodiesel, dengan implementasi biodiesel 30% (B30) pada 2020. Sementara itu, pada dunia aviasi, uji terbang dengan menggunakan bioavtur 2,4% juga berhasil dilakukan dengan baik.
Pada 2021, nilai ekonomi dari implementasi B30 mencapai lebih dari USD4 miliar dan berhasil menurunkan emisi GRK hingga 25 juta CO2e. Pengembangan biodiesel tidak akan berhenti pada B30, karena Kementerian ESDM berencana untuk meningkatkan tingkat pencampuran lebih tinggi lagi dengan menerapkan bahan bakar hijau.
Saat ini kajian komprehensif sedang dilakukan, antara lain, menyiapkan kajian tekno ekonomi, kerangka regulasi, fasilitas insentif, infrastruktur, penetapan standar kualitas produk, serta pengembangan industri pendukung. Pemerintah juga telah berhasil melakukan uji terbang dengan menggunakan bioavtur 2,4% sebagai upaya pengurangan emisi di sektor penerbangan.
Terkait dengan kepedulian The International Civil Aviation Organization (ICAO) dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk mengurangi emisi di sektor penerbangan internasional, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait telah berhasil melakukan uji terbang dengan menggunakan bioavtur 2,4%. “Keberhasilan ini menambah kepercayaan dan semangat kami untuk mendorong komersialisasi bioavtur,” tambah Arifin.
Ke depan, Kementerian ESDM akan menerapkan indikator keberlanjutan, yakni indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk tahun 2022, Kementerian ESDM akan memulai implementasi indikator keberlanjutan biodiesel secara sukarela di sisi hilir.
Biodiesel sebagai alternatif bahan bakar fosil yang dapat diandalkan telah menjadi peran strategis karena memiliki pengaruh positif dalam berbagai aspek. Biofuel yang dihasilkan dari sumber terbarukan, memberikan nilai tambah melalui hilirisasi industri pertanian dalam negeri, menstabilkan harga Crude Palm Oil (CPO), meningkatkan kesejahteraan petani kecil, menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil, mengurangi bahan bakar impor, menghemat devisa negara dan neraca perdagangan, menyediakan kesempatan kerja, serta untuk menjaga ketahanan energi.
Kebijakan Energi Nasional Indonesia menetapkan ambisi untuk mengubah bauran energi dengan memprioritaskan sumber daya energi baru dan terbarukan. Kebijakan tersebut menargetkan sumber energi baru dan terbarukan berkontribusi sekitar 23% dari total bauran energi primer pada tahun 2025. Pada 2021, pangsa energi terbarukan telah mencapai 11,7% dari total bauran energi dan biodiesel berkontribusi sekitar 35%.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari