Pertemuan pertama HWG G20 merupakan momentum untuk memperjuangkan keadilan ketersediaan vaksin maupun alat kesehatan bagi negara berkembang dan miskin.
Pertemuan pertama Kelompok Kerja Kesehatan (Health Working Group/HWG) G20 merupakan momentum untuk memperjuangkan keadilan ketersediaan vaksin maupun alat kesehatan bagi negara berkembang dan miskin.
Menurut rencana pertemuan HWG G20 pertama akan berlangsung di Yogyakarta pada 28--30 Maret 2022. Adapun pembahasan khusus menyangkut pemberantasan penyakit menular tuberkulosis (TBC) digelar dalam side event pada 29-30 Maret 2022 di kota yang sama.
Kementerian Kesehatan RI sebagai pengampu HWG G20 mendorong agenda memperkuat arsitektur kesehatan global dengan tiga sub isu prioritas yang terdiri dari pembangunan sistem ketahanan kesehatan global, harmonisasi standar protokol kesehatan global, dan pengembangan pusat studi serta manufaktur untuk pencegahan, persiapan, dan respons terhadap krisis kesehatan yang akan datang.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Presidensi G20 Indonesia 2022 sangat strategis mengingat forum ini akan memberikan suatu percontohan yang nyata dan komprehensif untuk pemulihan global pasca -Covid-19.
Isu ketimpangan suplai vaksin Covid-19 menjadi perhatian serius dari Indonesia dan negara-negara berkembang. Oleh karena itu, Indonesia mengajak anggota G20 untuk mengembangkan pusat studi serta manufaktur untuk pencegahan persiapan dalam merespons potensi krisis kesehatan di masa datang.
Menurut Siti Nadia, adanya pertemuan G20 memungkinkan pengembangan yang lebih cepat terhadap penemuan vaksin platform mRNA. Sekaligus peluang mengembangkan vaksin yang lebih murah dan aman, untuk merespons suatu kondisi pandemi. Mengingat pengadaan vaksin mRNA saat ini masih dikuasai produsen negara-negara maju.
Idealnya untuk menghadapi pandemi berikutnya, lanjut Siti Nadia, masing-masing negara harus memiliki akses yang setara terhadap vaksin, terapeutik, dan diagnostik. HWG G20 diharapkan untuk memperkuat jaringan kolaborasi dan jejaring antarpara ahli, dan antarilmuwan kesehatan masyarakat.
Hal itu menjadi sangat penting untuk menetapkan suatu perusahaan manufaktur regional dan pusat sebagai kolaborasi riset pengembangan
vaksin. "Tanpa ada komitmen politik yang kuat untuk membangun sistem kesehatan global yang lebih kuat, maka negara akan mengalami kesulitan untuk keluar dari situasi sulit sebagai dampak pandemi Covid-19,” tutur Siti Nadia, yang juga juru bicara penanganan Covid-19, Selasa (23/3/2022).
Data C20 Working Group Vaccine Access and Global Health menyebutkan, negara-negara maju memiliki capaian vaksinasi yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang. Bahkan, kawasan Eropa dan Amerika Utara memiliki tingkat vaksinasi yang jauh dari kawasan Afrika.
Uni Eropa memiliki lebih banyak vaksin daripada yang sebenarnya mereka butuhkan. Total stok vaksin Covid-19 di kawasan itu setara dengan 3,5 dosis vaksin bagi setiap orang.
Sementara itu, Amerika Serikat memiliki stok vaksin setara dengan 3,7 dosis vaksin per orang, lalu Inggris Raya memiliki stok setara 5,5 dosis vaksin per orang.
Sedangkan kurang lebih 45 negara cakupan vaksin dosis pertamanya masih di bawah 30 persen, beberapa negara bahkan masih di bawah 10 persen. Kondisi demikian terjadi di sejumlah negara di Afrika.
Satu hal, pertemuan HWG G20 itu sekaligus memperkuat kembali komitmen internasional untuk mengeliminasi TBC pada 2030 khususnya pascapandemi Covid-19.
“Inisiatif itu tentunya sejalan dengan konferensi tingkat tinggi dunia untuk TBC, yang menjadikan isu ini jadi tanggung jawab bersama dan harus kembali pada target yang telah disepakati sebelum pandemi Covid-19,” kata Siti Nadia.
Mengacu Global TBC Report 2021, jumlah kasus TBC mencapai 9,9 juta. Kasus di Indonesia sebanyak 824 ribu, nomor tiga terbanyak di dunia setelah India dan Tiongkok.
Di Indonesia sendiri diperkirakan ada 24 ribu kasus TBC resisten terhadap obat TBC. Adapun, estimasi korban kematian akibat TBC diperkirakan 93 ribu jiwa per tahun.
Penyakit TBC bukan hanya berdampak terhadap masalah kesehatan, melainkan terhadap permasalahan ekonomi yang cukup besar bagi negara.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari