Pandemi yang telah berlangsung sejak dua tahun lalu, semakin mempercepat perubahan sistem pendidikan global. Pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi menjadi kian lumrah di tengah restriksi dan pembatasan pergerakan manusia sebagai dampak pandemi Covid-19. Namun tak bisa dipungkiri akselerasi penggunaan teknologi digital masih belum maksimal.
Pemerataan pemanfaatan teknologi masih menjadi masalah global yang mengemuka antara negara maju dan berkembang. Di antaranya terkait masalah ketidaksiapan infrastruktur, keterbatasan sarana prasarana belajar yang berbasis teknologi digital, hingga isu literasi di sektor pendidikan yang perlu diakselerasi.
Percepatan disrupsi akibat digitalisasi dan otomatisasi akan mengubah pola pendidikan serta pola kerja masa depan. Hal tersebut menjadi fokus pengembangan isu policy paper recommendation dari gugus B20 (Business 20) atau forum dialog antara komunitas bisnis global. B20 dibentuk pada 2010 dan melibatkan banyak perusahaan serta organisasi bisnis di dalamnya.
Future of Work and Education Task Force memiliki fokus kerja untuk memberikan rekomendasi kebijakan bagi negara-negara G20, untuk mendorong kemampuan lembaga pendidikan dan sektor bisnis dalam berkolaborasi agar mampu beradaptasi dengan metode baru dunia pendidikan berbasis teknologi digital
Ketua B20 Future of Work and Education Task Force, Hamdhani D. Salim mengatakan, teknologi yang menjadi penggerak ekonomi digital, menjadi salah satu fokus yang perlu menjadi perhatian karena terkait permasalahan pendidikan.
Pendidikan adalah fondasi menciptakan tenaga kerja yang siap menghadapi era pekerjaan di masa akan datang. Apalagi pemerataan akses teknologi digital yang bersifat inklusif menjadi isu krusial Presidensi B20 Indonesia.
“Saat ini problemnya, ada pada ketimpangan infrastruktur digital antara negara maju dan berkembang, termasuk soal pembiayaan, kesiapan perusahaan, literasi digitalnya termasuk soal akses pengetahuan atau pendidikan,” ujarnya.
Menurut Hamdhani, pandemi dan perubahan iklim mendorong digitalisasi semakin cepat bergulir sehingga mengarahkan dunia kerja untuk mampu dan siap menerapkan teknologi. Alhasil dunia pendidikan harus secara cepat beradaptasi menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam menghadapi pola dan dunia kerja masa depan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan, kata dia, adalah melalui penciptaan pekerjaan dan pendidikan berkelanjutan dengan membangun sistem terintegrasi yang mampu menciptakan wirausahawan, meningkatkan kapasitas UMK, dan meningkatkan kualitas sistem pendidikan. “Terutama bidang vokasi dan pelatihan berbasis keahlian seperti pembelajaran digital untuk era pascapandemi,” jelas Hamdhani.
Pendidikan dan Pekerjaan
Sementara itu, pada Jumat (27/5/2022), KADIN Indonesia sebagai penyelenggara Presidensi B20 Indonesia menggelar forum diskusi virtual terkait masa depan pendidikan dan pekerjaan di era digitalisasi. Forum diskusi ini sebagai rangkaian side event B20. Diskusi mengundang sejumlah institusi dan organisasi untuk ikut memberikan sumbangan pemikiran bagaimana membangun peta jalan dunia pendidikan dan pekerjaan di era transisi digital.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang HI, Bernandino Vega Jr. mengatakan Indonesia yang memiliki bonus demografi angkatan muda, harus mampu mengoptimalkan potensi tersebut dengan mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam memanfaatkan teknologi di dunia pendidikan agar bisa matching dengan kebutuhan dunia bisnis dan industri masa depan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020, jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94% total populasi. Sedangkan generasi milenial mencapai 69,38 juta jiwa atau 25,87% dari total populasi.
Teknologi digital tidak hanya mengubah lanskap dunia pendidikan dan pola pekerjaan saja, tetapi juga ekonomi secara global. Karena ekonomi digital akan mengubah secara fundamental berbagai bentuk aktivitas ekonomi yang ditandai transisi pola kegiatan ekonomi konvensional ke pola yang memanfaatkan teknologi.
“Sehingga secara langsung juga akan berpengaruh pada kesiapan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dalam kegiatan ekonomi masa depan,” ujarnya.
Transformasi digital ini, kata dia, perlu dimanfaatkan negara-negara berkembang dalam mempercepat pembangunan ekonomi untuk menciptakan ekonomi inklusif karena ekonomi digital berpotensi menjadi medium akselerasi pembangunan.
Redaktur: Elvira Inda Sari