Indonesia.go.id - Peta Jalan NZE Sektor Energi Indonesia

Peta Jalan NZE Sektor Energi Indonesia

  • Administrator
  • Selasa, 27 September 2022 | 08:12 WIB
G20
  Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari 587 Gigawatt (GW) kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2060 nanti, sebesar 361 GW atau lebih dari 60% akan berasal dari energi surya. ANTARA FOTO/ Galih Pradipta
Peta jalan menuju net zero emission (NZE) sektor energi tahun 2060 berhasil mengidentifikasi aksi mitigasi pengembangan energi terbarukan secara masif dengan fokus pada solar, hidro, dan panas bumi.

Di tengah pertemuan tingkat tinggi menteri energi negara-negara G20 atau Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM) pada 2 September 2022, Pemerintah Indonesia mengambil inisiatif dan mengumumkan untuk tetap berada di jalur transisi energi menuju energi bersih. Menggandeng International Energy Agency (IEA), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan roadmap atau peta jalan menuju net zero emission (NZE) sektor energi tahun 2060.

Boleh dibilang, itu menjadi langkah yang cukup berani, mengingat kondisi krisis energi sudah di depan mata. Belum lagi, di tengah keputusan negara-negara maju menggunakan energi fosil untuk ketahanan energi mereka. Apalagi, biaya transisi energi dipastikan cukup besar.

Menteri ESDM Arifin Tasrif, saat peluncuran Peta Jalan NZE 2060 Sektor Energi Indonesia di hadapan peserta sidang ETMM di Grand Hyatt Bali, awal September 2022, mengapresiasi perumusan peta jalan tersebut. Hasil pemodelan Indonesia dan IEA, menurut Arifin, mengidentifikasi beberapa aksi mitigasi, di antaranya pengembangan energi terbarukan secara masif dengan fokus pada solar, hidro, dan panas bumi.

Tak hanya itu, juga dilakukan aksi penghentian bertahap (phase down) pembangkit listrik bertenaga batu bara, penggunaan teknologi rendah emisi seperti pengembangan super grid untuk meningkatkan konektivitas dan carbon, capture, utilization, and storage (CCS/CCUS), konversi kendaraan listrik dan penerapan peralatan efisiensi energi untuk sektor industri, serta transportasi dan bangunan serta penggunaan energi baru seperti nuklir, hidrogen, dan amonia.

Pemerintah menegaskan, tambahan pembangkit listrik setelah 2030 hanya berasal dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT). "Mulai 2035, akan didominasi oleh variable renewable energy (VRE), sedangkan pembangkit listrik tenaga nuklir akan masuk sistem pada 2049," jelasnya.

Teknologi dan inovasi adalah tantangan bersama dalam mewujudkan energi bersih yang lebih mudah diakses dan terjangkau. "Kerja sama dan solusi teknologi sangat penting untuk mendekarbonisasi sektor dan industri listrik. Kita perlu memprioritaskan penelitian, pengembangan, dan penerapan untuk teknologi generasi berikutnya," tegas Arifin.

Dukungan dan kerja sama dunia internasional sangat dibutuhkan. "Setiap orang memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi hijau. Untuk itu, ketersediaan dan akses teknologi dan pembiayaan harus terbuka lebar bagi semua negara," ungkapnya.

 

Reformasi Kebijakan

Sedangkan, Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengungkapkan, Indonesia perlu memastikan reformasi kebijakan untuk membuka jalan bagi transisi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada batu bara. Keberadaan peta NZE ini sebagai bagian dari tujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060.

Berdasarkan kajian IEA, Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi energi di 2030 dari tingkat saat ini. Dalam laporan terbaru IEA, The IEA's Energy Sector Roadmap to Net Zero Emission in Indonesia menyebutkan, ada tambahan investasi sebesar USD8 miliar per tahun.

"Indonesia memiliki kesempatan menunjukkan kepada dunia bahwa untuk negara yang sangat bergantung pada ekspor bahan bakar fosil, jalan menuju emisi nol bersih tidak hanya feasible tetapi juga memberikan manfaat," jelas Fatih.

Sedangkan memobilisasi pembiayaan tambahan itu bergantung pula pada dukungan keuangan internasional melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP). "Saya meminta mitra internasional Indonesia untuk memobilisasi pembiayaan energi bersih melalui JETP dan memastikan adanya transfer teknologi. Hasilnya akan membawa manfaat besar bagi Indonesia dan dunia," tegasnya.

Salah satu potensi sumber energi terbarukan yang menjadi perhatian IEA adalah tenaga surya. Energi surya memang disiapkan untuk berperan penting dalam penyediaan listrik nasional. Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari 587 Gigawatt (GW) kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2060 nanti, sebesar 361 GW atau lebih dari 60% akan berasal dari energi surya.

Pangsa pasar energi baru terbarukan (EBT) global diproyeksikan meningkat pesat hingga mencapai 50% pada 2035 dan mencapai 75% pada 2050. Laporan Global Energy Perspective dari McKinsey (2019) memprediksi, pembangkit listrik tenaga batu bara serta minyak bumi akan turun drastis digantikan oleh pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, dengan biaya yang lebih relatif rendah.

The International Renewable Energy Agency (IRENA) juga memperkirakan, pangsa energi global dilakukan melalui transforming energy scenario (TES), di mana pada 2030 konsumsi batu bara turun 41% dan berlanjut hingga 2050 berkurang hingga 87%. Sama halnya dengan konsumsi minyak bumi yang akan turun hingga 31% pada 2030 dan akan terus turun hingga 70% pada 2050. Hal ini memberikan peluang besar bagi pengembangan EBT ke depan.

 

Langkah Penyempurnaan

Sementara itu, Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menekankan keberadaan peta jalan NZE hasil kolaborasi Indonesia - IEA akan digunakan sebagai bahan masukan untuk menyempurnakan peta jalan NZE Indonesia pada COP26 di Glasgow. "Kita ingin memastikan bahwa roadmap kita ini bisa berjalan dengan baik, bisa dilaksanakan dari prinsip daya saing. Kami proses transisi ini tidak menurunkan daya saing Indonesia," pungkas Dadan.

Dadan Kusdiana menjelaskan, NZE dalam roadmap teranyar itu diharapkan bisa meningkatkan daya saing Indonesia saat melakukan transisi energi, maksudnya jangan sampai transisi energi yang dilakukan berdampak negatif terhadap berbagai indikator ekonomi nasional.

Beberapa hal yang direvisi, menurut Dadan, terkait dengan asumsi dasar yang digunakan dalam menyusun target. Misalnya, kebutuhan daya listrik yang sebelumnya diperkirakan mencapai lebih dari 600 Gigawatt kini di roadmap terbaru tidak sampai sebesar itu.

“Dulu kita sampaikan 608 Gigawatt (GW), IEA sampaikan 510 (GW) di 2060. Lalu emisi gas rumah kaca ada perbaikan. Komposisi pembangkit listrik EBT 2060 ada yang berbeda dengan apa yang kita susun satu tahun terakhir,” ungkap Dadan.

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari