Ranu Darungan menjadi rumah bagi 198 jenis anggrek alam dan habitat dari 200-an jenis burung. Sebuah pusat konservasi anggrek di kawasan berketinggian 830 mdpl.
Gunung Semeru dengan puncak setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) seolah melengkapi keindahan luar biasa dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) seluas 50.276,3 hektare meliputi tiga kabupaten, Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Puncak tertinggi di Pulau Jawa itu seolah menjadi magnet kuat bagi para naturalis dunia untuk menaklukkannya.
Bapak Kina Indonesia Franz Wilhelm Junghuhn dan Thomas Stamford Raffles pernah mencoba menaklukkan Mahameru yang menurut kitab Tantu Pagelaran merupakan puncak jelmaan para dewa. Sayangnya mereka gagal. Perjalanan menuju Semeru sempat dikisahkan kembali oleh Raffles dalam bukunya The History of Java. GF Clignett menuntaskannya sebagai orang pertama yang menaklukkan Semeru pada 18 Oktober 1838, atau dua tahun setelah erupsi.
Seperti umumnya dataran tinggi di Indonesia, vegetasi alam Semeru diwarnai aneka tumbuhan tinggi berdaun serupa jarum seperti pinus, akasia, cemara, dan jamuju. Beragam perdu ikut tumbuh seperti alang-alang, harendong, dan edelweis yang merupakan tanaman khas pegunungan. Begitu pula fauna seperti macan kumbang, luwak, kijang, kancil, owa jawa, serta aneka burung.
Terdapat pula empat danau kecil atau ranu melengkapi keindahan Semeru. Keempatnya adalah Ranu Pani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, dan Ranu Linggo Rekisi. Keempat ranu memiliki keunikannya masing-masing, namun Ranu Linggo Rekisi memiliki keistimewaan yang tak dimiliki oleh lainnya. Ranu ini dikelilingi oleh tebing hijau dan hutan lebat yang menjadi rumah bagi aneka satwa liar.
Rekisi diambil dari nama tanaman yang mengelilingi perairan danau seluas 2.500 meter persegi. Sedangkan linggo diambil dari bentuk ranu yang berbelok-belok. Sesungguhnya Ranu Linggo Rekisi terletak di kaki selatan Semeru, tepatnya di Dusun Darungan, Desa Pronojiwo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Dusun ini letaknya di ketinggian 830 mdpl.
Air danaunya menjadi sumber air bersih bagi lima dusun di sekitarnya seperti Dusun Ranu, Dusun Tulungagungan, Dusun Kalibening, Dusun Mulyoarjo, dan tentu saja Dusun Darungan. Masyarakat setempat lebih sering menyebut Ranu Linggo Rekisi sebagai Ranu Darungan dan terus melekat hingga hari ini.
Ranu Darungan masuk ke dalam wilayah pemanfaatan lahan Balai Besar TNBTS. Artinya, masyarakat setempat diperbolehkan memanfaatkan sumber daya alam tanpa merusak ekosistem yang ada. Selanjutnya pengelolaan Resor Ranu Darungan di bawah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah IV Pronojiwo. Kawasan seluas sekitar 3.557,41 hektare ini terdapat 53 spesies dari 22 marga anggrek epifit.
Belakangan, berdasarkan hasil penelitian Reza Khoiron Nisa dan kawan-kawan dari Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya yang dipublikasikan pada 31 Januari 2021 diketahui bahwa ada 48 spesies anggrek dari 28 marga. Terdiri dari anggrek epifit, terestrial, dan saprofit.
Spesies yang ditemui didominasi oleh Appendiculla sp., Eria monostachya, Eria multiflora, Eria sp., Calanthe triplicata, Corybas pictus, Corymborkis veratifolia, dan Cystorchis aphylla. Beragamnya anggrek yang tumbuh di Ranu Darungan membuat Kelompok Tani Konservasi Ranu Linggo Rekisi menjadikan kawasan bersuhu 10-15 derajat Celcius tersebut sebagai lokasi budi daya tanaman anggrek.
Wisata Minat Khusus
Pada 26 Maret 2022 lalu, sebuah pusat konservasi anggrek seluas 2.800 meter persegi bernama Orchidarium Ranu Darungan atau Taman Anggrek Darungan diresmikan oleh Wiratno selaku Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mengutip dari website Wonderful Indonesia, Kepala Resor SPTN Ranu Darungan Toni Artaka menjelaskan, pihaknya telah mengumpulkan 198 dari sekitar 255 jenis anggrek alam yang terdapat di TNBTS untuk dikembangkan di pusat konservasi anggrek pertama di Indonesia yang dibangun di pegunungan.
Bukan itu saja, sebab sejak mulai dibangun pada 2018, Orchidarium Ranu Darungan ini juga didesain sebagai destinasi wisata minat khusus bagi penelitian anggrek dan pemantauan burung (bird watching). Avichidtourism menjadi tema baru wisata minat khusus di Ranu Darungan. Wisata sesungguhnya berupa paket trekking ke jalur pengamatan anggrek dan burung.
Ada tiga jalur yang sudah dipetakan untuk pengunjung sepanjang 3-4 kilometer dengan medan datar. Trek bagi pengamatan burung sama dengan jalur pengamatan anggrek. Tetapi mereka akan bersembunyi di hide, ruang penyamaran yang dibangun pihak taman nasional, Bentuknya adalah sebuah gubuk berukuran 3 kali 4 meter ditutupi dedaunan dan jaring kamuflase warna gelap.
Rupanya keragaman burung di Ranu Darungan masih cukup tinggi karena terdata ada sekitar 200-an jenis. Salah satunya adalah ciung batu siul (Myophanus caeruleus) yang populasinya cukup banyak serta mudah ditemui di dekat sungai, di antara bebatuan hutan lebat Ranu Darungan. Makanannya berupa siput, cacing, serangga kecil, dan kadang-kadang memakan buah-buahan.
Menariknya, pihak PTN Ranu Darungan mempekerjakan sejumlah relawan yang dulunya adalah pemburu anggrek dan burung liar di sekitar kawasan hijau ini. Hasil buruan kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Minimnya informasi dan pengetahuan terhadap flora dan fauna yang dilindungi menjadi penyebab utama warga sekitar menjadi pemburu. Apalagi, tindakan mereka telah merusak lingkungan yang menjadi habitat tumbuhan dan hewan.
Kesadaran yang muncul dari warga berdampak luas bagi ekosistem sekitar. Sejak saat itu, kicau burung makin sering terdengar dan keindahan kelopak anggrek tak lagi sulit dijumpai seperti sebuah surga kecil di kerimbunan Ranu Darungan. Kini, mereka telah menjadi garda terdepan guna mencegah terjadinya perburuan di lingkungan Ranu Darungan. Agar kawasan eksotik ini masih bisa menyediakan ruang berbagi antara manusia, tumbuhan, dan satwa.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari